Hak
atas Air dan Penyediaannya
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan
Konsumen
|
KOMPAS, 23 Juni 2017
Keseluruhan pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang
Sumber Daya Air telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 18 Februari
2015. Putusan tersebut, ditambah dengan realitas bahwa Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1974 tentang Pengairan yang dinilai tidak memadai, menjadikan DPR
berinisiatif untuk memajukan Rancangan Undang-Undang tentang Sumber Daya Air.
Rancangan UU tersebut didasari pertimbangan pokok untuk
mewujudkan hak rakyat atas air sekaligus merupakan pengaturan atas
permasalahan air dewasa ini. Sudah selayaknya negara memberikan fasilitasi agar
kebutuhan rakyat atas air sebagai bagian dari hak asasi manusia tersebut
dapat dipenuhi, tidak hanya sekadar memenuhi hak rakyat melalui perizinan
yang hanya diberikan kepada badan usaha milik negara atau daerah dan entitas
pemerintahan lainnya.
Kebutuhan rakyat akan air bukan hanya air yang berasal
dari alam, tetapi juga air bersih atau air minum yang sudah menjadi kebutuhan
pokok sehari-hari. Permasalahan lain yang harus dihadapi di antaranya adalah
ekstensifnya eksplorasi air tanah serta ketersediaan air baku untuk sistem
penyediaan air minum (SPAM) dengan kualitas buruk dan alokasi yang tidak
mencukupi.
Kelemahan
Akan tetapi, naskah RUU tersebut masih mengandung beberapa
kelemahan. Dari sisi judul, pemilihan judul Sumber Daya Air menjadikannya
lebih mengarah pada sektor hulu. Dengan menamakannya sebagai UU Air, cakupan
pengaturan bisa lebih luas, yaitu dari hulu ke hilir. Dengan judul UU Air,
akan dapat dipilah-pilah bagian dari air mulai hulu sampai ke hilir. Hak
rakyat lebih pada sisi hulu sebagai sumber dari alam.
Judul pengaturan tersebut juga akan sejalan dengan amar
putusan Mahkamah Konstitusi yang juga menyebut air, bukan sumber daya air.
Pada Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 tentang Pengusahaan Sumber
Daya Air, bahkan dibedakan antara sumber daya air dan air tanah terkait
pemberian izinnya.
Yang terbaca dari naskah RUU ini adalah upaya melarang
swasta memperoleh izin untuk pengusahaan air sebagai bahan baku produksinya.
Akan tetapi, rumusan pengaturan tersebut kurang mempertimbangkan kondisi
bahwa kebutuhan rakyat atas air bersih dipenuhi oleh Perusahaan Air Minum
(PAM), sementara kebutuhan air minum sehari-hari terutama dipenuhi dengan air
minum dalam kemasan (AMDK) produksi perusahaan swasta.
Tidak bisa diabaikan juga realitas bahwa negara ataupun
perusahaan negara (BUMN) belum mampu menyediakan air minum dan bahkan belum
dapat sepenuhnya menyediakan air bersih. Padahal, rakyat berhak mendapatkan
air bersih atau air minum. Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 tentang
SPAM menyatakan, antara lain, "SPAM diselenggarakan untuk memberikan
pelayanan air minum kepada masyarakat terkait dengan pemenuhan hak rakyat
atas air minum".
Kebutuhan masyarakat atas air yang layak diminum
seharusnya dipenuhi oleh SPAM. Pengaturan atas hal ini selayaknya diperkuat
dengan pasal-pasal yang dapat mempercepat pemenuhan produksi dan perlu
diperhatikan bahwa sebagian besar penggunaan air untuk SPAM adalah dari air
permukaan yang pengendaliannya lebih mudah. Dengan demikian, semestinya
pengaturannya pun tidak terlampau sulit manakala izin pengambilan air
diberikan kepada BUMN/BUMD atau unit pemerintah lainnya.
Bahkan, negara wajib ikut membiayai investasinya melalui
APBN/APBD, sementara pihak swasta dapat diikutsertakan sepanjang tidak
mengurangi hak rakyat atas sumber daya air dan mempercepat pemenuhan air
minum untuk masyarakat dengan adil dan terjangkau.
Pada umumnya di dunia, pengusahaan SPAM untuk pelayanan
ini diselenggarakan oleh negara, sebagian lain diselenggarakan melalui kerja
sama negara dan swasta, dan hanya sebagian kecil diselenggarakan oleh swasta.
Jika negara wajib menyediakan SPAM yang cukup untuk kebutuhan air bersih atau
air minum untuk publik; pengalaman di negara-negara lain pengusahaan AMDK dan
air yang diproses dengan berbagai tambahan pada umumnya sepenuhnya
diselenggarakan oleh swasta.
Akan tetapi, hal tersebut justru tidak terlihat pada
struktur RUU SDA yang dirancang oleh DPR. Padahal, hal tersebut sangat
penting karena akan menjadi jelas pula perbedaan pengaturan keduanya, antara
lain karena negara belum dapat menyediakan air yang layak minum, baik air
sebagai tap water (SPAM), maupun air sebagai bottled water (AMDK).
Jika dibandingkan dengan penggunaan air untuk irigasi
ataupun sarana atau bahan baku produksi di pabrik tekstil, misalnya,
penggunaan air untuk air bersih maupun air minum terhitung sangat kecil.
Merujuk kondisi itu, pengaturan larangan swasta untuk mendapat izin terlalu
berlebihan, ditambah lagi amar putusan MK tidak melarang pihak swasta
mengusahakan air.
Kesetaraan
Air tidak sepenuhnya public goods seperti udara karena ada
bagian yang dapat disebut sebagai economy goods. Bagian economy goods ini
sepenuhnya juga akan dikuasai oleh negara melalui BUMN/BUMD. Peran swasta di
dalam pengusahaan air dibatasi hanya pada kerja sama dengan BUMN/BUMD/BUMDes
ataupun koperasi atau kelompok masyarakat karena izin pengusahaan air hanya
diberikan kepada pihak-pihak tersebut.
Hal ini hanya akan bersifat administratif saja apabila
pihak tersebut tidak mempunyai kemampuan mengusahakan air, tetapi hanya dapat
sekadar "memperdagangkan" izin. Karena itu, RUU ini juga memantik
ketidakharmonisan dengan undang-undang lain, misalnya Undang-Undang tentang
Perindustrian dan Penanaman Modal yang mengedepankan pengembangan industri
dan penanaman modal oleh swasta.
RUU yang disiapkan DPR ini juga luput mengklasifikasikan
sumber daya air, di mana hal tersebut terkait erat dengan perizinan,
pengusahaan dan kewenangan. Air permukaan dan air tanah sebagai awal
pengklasifikasian dipandang sangat perlu diatur terpisah karena berbeda di
dalam penggunaannya, eksplorasinya, dan dampaknya pada lingkungan hidup.
Demikian halnya pengklasifikasian air tanah untuk kebutuhan pokok
sehari-hari, untuk bahan pendukung industri, dan juga air tanah sebagai bahan
baku industri.
Bahkan, penggunaan air tanah sebagai bahan baku industri
minuman pun tidak jelas; apakah hanya untuk AMDK atau juga air dalam kemasan
dengan mengisi sesuatu seperti rasa, aroma, karbonasi, ataupun vitamin.
Keduanya menggunakan bahan baku air dan besar kemungkinan kebutuhannya sama
banyak.
Pembatasan bahwa izin pengambilan air hanya untuk AMDK,
sebagaimana termuat pada Pasal 45, 46, dan 47 RUU SDA jelas sangat
diskriminatif dan mengarah pada tujuan tertentu, terkecuali apabila
pengertian air minum yang dimaksud adalah semua jenis air yang dapat diminum,
baik tanpa rasa maupun dengan penambahan rasa karbonasi atau vitamin.
Pengaturan tersebut berpotensi tidak adil dan tidak
transparan atas beberapa pengusahaan air saat ini, yaitu air bersih atau air
minum dengan pipa (SPAM), AMDK, dan perusahaan minuman dengan bahan baku air
yang menghasilkan produk seperti Coca Cola, Pocari, Mizone, Berry Juice,
ataupun Kratingdaeng.
Terkait perizinan, semestinya ketentuan yang baru tidak
malahan memperpanjang rantai perizinan dan menumbuhkan bisnis makelar yang
koruptif di dalam institusi pemberi izin. Jika rezim pengaturan pengambilan
air tanah sebagai bahan baku utama semua jenis minuman, hanya diberikan
kepada BUMN/ BUMD/unit pemerintah, hal tersebut sulit dipahami karena
kebutuhannya yang sangat bervariasi, tersebar, dan tergantung pasar yang
relatif tidak besar. Dalam praktik sebelum pembatalan UU No 7 Tahun 2004, hal
terkait air permukaan menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan
Perumahan Rakyat, sementara air tanah menjadi tanggung jawab Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Akhirnya, niatan untuk mewujudkan hak rakyat atas air dan
mengatur permasalahan air dengan menetapkan hak rakyat atas bagian dari air
tentu layak diapresiasi. Hanya saja, RUU tentunya harus mampu memperkuat hak
rakyat atas air, sekaligus memecahkan persoalan bahwa negara belum dapat
menyediakan air bersih atau air minum untuk masyarakat dan juga tidak
mengesampingkan realitas bahwa ada industri yang menghasilkan air minum dan
sangat dibutuhkan masyarakat.
Oleh karena itu, pengaturan tersebut tentunya tidak harus
dengan melarang swasta untuk mengusahakan air yang juga menjadi bagian upaya
pemenuhan hak rakyat atas air bersih atau air minum, walaupun hal itu menjadi
prioritas terakhir setelah air memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk
irigasi. Ketentuan yang baru juga harus mampu mengembangkan badan usaha
swasta secara harmonis dengan perkembangan industri, perekonomian, termasuk
dalam hal peningkatan pendapatan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar