Pribumi,
Muslim, dan Kesenjangan
Hasanudin Abdurakhman ; Cendekiawan; Penulis;
Kini menjadi seorang
profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
|
DETIKNEWS, 19 Juni 2017
Ada satu ungkapan yang cenderung diyakini banyak orang
sebagai kebenaran dalam soal kesenjangan. Yaitu, bahwa ekonomi Indonesia
dikuasai oleh sekelompok minoritas. Sementara itu orang-orang pribumi tidak
kebagian, dan hidup miskin. Itulah potret kesenjangan ekonomi yang kita
lihat. Kesenjangan adalah salah satu pangkal kecemburuan sosial, yang
menyimpan potensi konflik yang sangat besar. Untuk mencegah konflik,
kesenjangan harus dihilangkan.
Kita semua sepakat bahwa kesenjangan itu ada. Tapi menurut
saya, ada beberapa detail yang harus diluruskan. Misalnya soal siapa yang
kita maksud dengan pribumi, dan minoritas. Kita sering membuat penyederhanaan
bahwa yang dimaksud minoritas itu adalah Tionghoa, dan pribumi itu adalah
yang selain itu. Lebih khusus lagi, pribumi itu adalah muslim. Maka
kecemburuan sosial karena kesenjangan ekonomi sering bercampur aduk dengan
soal etnis dan agama.
Sebenarnya masalahnya tidak sesederhana itu. Nonpribumi
itu tidak selalu Tionghoa. Bagi orang Dayak di Kalimantan, Madura itu adalah
nonpribumi. Mereka pendatang. Mereka juga cukup dominan menguasai beberapa
sektor ekonomi lokal. Demikian pula di berbagai wilayah Indonesia Timur
seperti Maluku dan Papua, orang-orang Sulawesi Selatan yang terkenal aktif
berniaga, menguasai banyak sektor ekonomi. Bagi penduduk setempat, mereka
adalah pendatang.
Ada apa sebenarnya dengan kaum pendatang, sehingga mereka
bisa menguasai ekonomi? Ini soal pola pikir. Saya lebih suka melihatnya
dengan cara itu ketimbang melihat etnisnya. Para pendatang umumnya adalah
orang yang mau pergi meninggalkan kampung halaman, untuk suatu tujuan.
Umumnya tujuannya adalah untuk mengubah penghidupan ekonomi.
Cendekiawan Iran Ali Syariati ketika menggambarkan hijrah
Nabi menjelaskan bahwa orang punya keterikatan yang sangat kuat dengan tempat
asalnya. Diperlukan energi yang sangat besar untuk melepas ikatan itu. Energi
itu berupa tekad kuat untuk mengubah nasib tadi. Artinya, para perantau atau
pendatang itu adalah orang-orang yang punya energi besar untuk bertarung. Itu
yang membentuk etos kerja, yang kelak mereka wariskan kepada anak cucuk.
Ekonomi memang dikuasai oleh sekelompok minoritas. Itulah
hakikat kesenjangan ekonomi. Ada sekelompok kecil orang yang menguasai begitu
banyak kekayaan, sementara sekelompok besar lainnya hanya kebagian sedikit
saja. Masalahnya, banyak orang yang serta merta mengidentifikasi minoritas
itu sebagai Tionghoa, dan nonmuslim. Padahal tidak demikian.
Memang betul, ada banyak konglomerat kita yang berasal
dari etnis Tionghoa. Tapi, tidak sedikit pula yang bukan. Chairul Tanjung,
Bakrie, dan sebagainya itu bukan orang Tionghoa. Mereka juga bisa kaya raya.
Di sisi lain, etnis Tionghoa yang tidak kebagian juga banyak. Ada puluhan
juta orang Tionghoa yang bukan konglomerat, hidup sebagai warga biasa.
Yang hendak saya sampaikan adalah, mari lihat ekonomi
dengan kaca mata ekonomi, bukan dengan kaca mata lain yang tidak relevan,
seperti etnis dan agama. Mengapa orang-orang itu jadi konglomerat? Karena
mereka berbisnis. Itu poin terpentingnya. Siapapun, dari etnis apapun, bisa
jadi kaya raya kalau mereka berbisnis.
Siapa yang tumbuh besar, atau siapa yang kalah dalam
berbisnis, ditentukan oleh banyak faktor, termasuk di antaranya atmosfer
politik. Bisnis anak-anak Soeharto di masa lalu, misalnya, menjadi besar dan
menggurita tentu bukan karena mereka piawai berbisnis. Mereka mendapat
berbagai keistimewaan. Sejumlah konglomerat lain pun begitu. Tak peduli
mereka Tionghoa atau bukan.
Ketimbang meributkan suku dan agama, lebih penting bagi
kita untuk meributkan soal keadilan. Iklim bisnis yang tak adil itu merugikan
banyak orang, tak peduli apa agama atau suku dia. Maka sikap kritis kita
lebih tepat bila kita arahkan untuk memantau ketidakadilan regulasi, atau
praktik kolusi, ketimbang menyuburkan kecemburuan berbasis etnis atau agama.
Kesenjangan harus dihilangkan. Celah yang menganga antara
orang kaya dan orang miskin harus kita perkecil. Porsi terbesar untuk
mengatasinya ada di tangan pemerintah. Tapi sebagai warga negara kita harus
berperan. Bagaimana caranya? Pertama, berhenti melihat kesenjangan dalam
perspektif lain di luar soal ekonomi.
Sederhananya, lihatlah kesenjangan sebagai soal
kesenjangan ekonomi, tidak dengan kebencian pada etnis atau agama orang lain.
Kedua, arahkan "energi iri" kita untuk membangun, bukan merusak.
Kalau kita iri melihat orang lain kaya, maka berusahalah agar diri kita bisa
kaya juga. Gunakan energi kita untuk membuat diri kita kaya, bukan untuk
membenci orang kaya.
Demikian pula, manfaatkan kekuatan ikatan primordial
seperti suku dan agama untuk membangun, bukan untuk membenci. Orang-orang
Minang punya gerakan Gebu Minang yang bertujuan memperkuat ikatan untuk
bersinergi menjadi lebih kuat lagi, tanpa perlu membenci pihak lain. Orang
Sulawesi Selatan punya Pertemuan Saudagar Bugis Makassar (PSBM) yang punya
semangat yang sama.
Dalam konteks agama, khususnya Islam, gunakan semangat
persaudaraan untuk membantu kaum yang lemah. Sekali lagi, bukan untuk
mengobarkan cemburu kepada umat lain.. Ormas-ormas besar seperti NU dan
Muhammadiyah sudah bekerja untuk ini. Tapi kerja ini mesti terus dijaga agar
tetap di jalurnya. Tentu saja intensitasnya harus terus ditingkatkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar