Beragama
dalam Konteks Indonesia
Kamaruddin Amin ; Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian
Agama RI
|
KOMPAS, 22 Juni 2017
Fakta bahwa Indonesia terdiri dari beragam budaya,
berbagai suku dan bahasa, berbilang agama dan keyakinan adalah ketetapan
takdir dari Tuhan yang tak bisa diubah. Segala upaya setulus dan sekeras apa
pun, baik secara individu maupun kelompok, untuk melawan takdir ini tidak
hanya akan membuahkan kegagalan, tetapi dapat menciptakan musibah sosial
politik yang akibatnya akan ditanggung berjemaah.
Agar takdir ini bisa jadi rahmat dan anugerah, keragaman
ini harus dikapitalisasi menjadi aset sosial berharga. Bagaimana caranya?
Pertanyaan ini relevan dengan pertanyaan bagaimana beragama dan berbangsa
dalam konteks Indonesia yang majemuk. Dalam sumber otoritaritas Islam
ditemukan sejumlah narasi otentik yang mengonfirmasi realitas kebinekaan
sebagai ketetapan Tuhan sekaligus keharusan memelihara dan menjaganya.
Beragama di Indonesia
Demikian pula dalam pengalaman empiris perjalanan sejarah
umat Islam, masyarakat ideal Islam yang dicontohkan Nabi di Madina dan
sejumlah pemerintahan Islam setelahnya sudah menjadi model komunitas beragama
dalam kebinekaan.
Sebaliknya, kelompok kontrakebinekaan sering mengutip
narasi keagamaan normatif untuk menjustifikasi penafsiran politik
kontemporernya atas agama untuk membangun komunitas imajiner dari
pemerintahan ilahi yang sulit ditemukan dalam pengalaman empiris sejarah Islam.
Beragama tanpa berbangsa dan bernegara tidak hanya
ahistoris, tetapi juga bertentangan dengan agama dan tujuan beragama itu
sendiri. Tujuan agama adalah menciptakan kemaslahatan manusia sebagai
khalifah Tuhan di muka bumi. Hanya dengan berbangsa bernegara amanah itu
dapat diwujudkan. Dengan kata lain, menjadi Muslim, Kristen, Hindu, Buddha,
dan Konghucu yang baik harus menjadi warga negara bangsa yang baik. Tidak
boleh atas nama agama negara dengan segala aturannya diabaikan. Beragama yang
baik adalah patuh pada negara dan seluruh instrumennya. Demikian pula,
berbangsa bernegara yang baik adalah menjadikan agama sebagai inspirasi yang
mengilhami seluruh refleksi kebangsaan kita. Inilah takdir Indonesia, negara
bangsa yang religius.
Bapak Pendiri Bangsa kita telah berhasil menggali local
genius Indonesia yang berisikan sejumlah agama dan beragam budaya dan
akhirnya dengan genius mendiagnosis DNA Indonesia yang bernama Pancasila.
Mereka dengan sangat tepat dan tulus sepakat menjadikan Pancasila sebagai dasar
negara, pandangan hidup (Weltanshauung), dan jalan hidup bersama (modus
vivendi) kita. Kesepakatan ini merupakan ilham dan "mukjizat" yang
luar biasa karena secara genuin merepresentasi dan mengakomodasi hakikat dan
denyut nadi semua komponen bangsa ini. Tak ada pilihan lain bagi semua warga
bangsa yang beragama, kecuali merefleksikan keagamaannya yang menghargai
realitas hakikat Indonesia, yakni kebinekaan.
Demikian pula dalam berbangsa bernegara di Indonesia,
agama tidak mungkin dikerangkeng dalam ruang personal yang sunyi. Agama
secara alamiah akan hadir di ruang sosial politik sebagai inspirasi
produktif. Segala upaya menafikan, memarjinalkan peran agama dalam ruang
sosial dan politik tak akan bisa berhasil karena identitas hakiki orang
Indonesia adalah beragama.
Dalam konteks ini pemahaman agama yang sahih menjadi
keharusan. Sebab itu, penguatan pemahaman kebangsaan harus berbarengan dengan
penguatan (pengarusutamaan) pemahaman keagamaan moderat. Jika dilaksanakan
secara tidak seimbang, akan lahir kontestasi antarkelompok yang
kontraproduktif dan melelahkan. Radikalisasi agama yang terjadi di berbagai
lapisan masyarakat tidak bisa dihentikan hanya dengan penguatan pemahaman
kebangsaan, tetapi juga dengan pengarusutamaan pemahaman keagamaan moderat. Pemahaman
agama yang sahih harus menginspirasi proses dialektika kita berbangsa
bernegara sebagaimana nilai agama mengilhami semua pasal dalam Pancasila.
Dengan demikian beragama berarti berpancasila, berpancasila berarti beragama.
Islam universal dan Islam
partikular
Berbicara tentang Islam, ada tiga domain diskursus yang
harus dibedakan. Pertama, sumber otoritas Islam (Quran dan sunna). Sumber ini
universal dibaca dan dirujuk kapan di mana pun oleh umat Islam sebanyak 1,7
miliar orang di dunia tanpa ada perbedaan.
Kedua, refleksi personal para penstudi sumber ini dengan
segala keterbatasannya; keterbatasan wawasan, pengalaman, dan kemanusiaannya
sebagai makhluk sejarah yang rasional untuk memahami pesan atau wahyu yang
berasal dari yang mahatransenden. Yang pertama absolut dan yang kedua
relatif. Mengidentikkan yang kedua dengan yang pertama sama dengan mereduksi
universalitas Islam. Oleh karena itu, ulama besar tidak pernah mengabsolutkan
pendapatnya dengan selalu mengatakan Allah a'lam bisshowab (Allah yang lebih
mengetahui yang benar).
Ketiga, implementasi Islam dalam pelataran sejarah dunia
Islam. Bagaimana Islam diterjemahkan dalam hidup sosial politik di Timur
Tengah berbeda dengan di Amerika, Eropa, atau Asia. Perbedaan ini menunjukkan
fleksibilitas dan universalitas Islam yang kompatibel dengan semua tempat dan
waktu. Perbedaan itu menunjukkan kekayaan varian Islam sebagai respons dari
varian dan partikularitas masalah yang dihadapi, sebagai produk dari
dialektika Islam dengan realitas dan tuntutan zamannya. Tidaklah tepat bahwa
artikulasi Islam di Saudi atau tempat lain diimpor sepenuhnya ke Indonesia
tanpa memperhatikan beda karakter masalah dan kondisi sosial ekonomi politik
Indonesia.
Oleh karena itu, beragama dalam konteks Indonesia tidak
boleh terisolasi dari realitas kemajemukan Indonesia dan sekaligus
menginspirasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar