Clash
of The Transportations
Alek Karci Kurniawan ; Peneliti Hukum Bisnis Univeristas Andalas
|
DETIKNEWS, 21 Juni 2017
Kehadiran transportasi berbasis aplikasi online di
sejumlah daerah di Indonesia tak luput dari konflik. Meski kehadirannya itu
membawa manfaat bagi masyarakat pengguna jasa transportasi; dengan harga yang
lebih jelas dan murah, kemudahan dalam aksesnya, juga kelebihan lain yang
tidak sekedar mengantar penumpang. Di samping itu, transportasi online juga
meluluhlantahkan bisnis yang sudah lama dibangun oleh transportasi
konvensional.
Kita dapat melihat ketidakpiawaian pemerintah
mengakomodasi gejala baru dalam dunia bisnis digital ini. Benturan
antarpelaku transportasi online versus transportasi konvensional marak
terjadi di mana-mana.
Mutakhir, kurang lebih tiga pekan yang lalu di Pekanbaru,
saat sedang bekerja, pengemudi Uber dan Gojek dihajar pengemudi taksi
konvensional. Tak terima diperlakukan seperti itu, persatuan pengemudi
transportasi online melakukan pembalasan. Bentrok tak terelakkan.
Peristiwa yang serupa juga terjadi sebelumnya di Jakarta,
Tanggerang, Solo, hingga Medan dan kota besar lainnya. Di Padang, di mana
transportasi online baru-baru ini bermunculan, akan bernasib sama apabila
pemerintah kurang responsif menanggapi persoalan tersebut.
Konflik nir-produktif antarmasyarakat dalam berbisnis ini
harusnya mendapat perhatian dan tanggapan cepat dari para pemangku
kepentingan, agar persoalan serupa tidak menular ke daerah lain yang baru
berkembang. Menurut penulis, ada tiga agenda yang musti dieksekusi.
Pertama, pemerintah lokal harus cepat tanggap dalam
memprevensi konflik. Lakukan pendekatan terhadap perhimpunan-perhimpunan
pelaku usaha transportasi, baik yang online maupun yang konvensional.
Tegaskan bahwa penggunaan kekerasan antarpelaku transportasi dalam
penyelesaian persoalan adalah tindak kriminal.
Kedua, perlu diberikan sudut pandang yang benar kepada
masyarakat dalam melihat permasalahan transportasi online. Siapa yang
memberikan? Ya, siapa saja, baik pemerintah maupun masyarakat yang paham. Ini
penting. Sebab ada yang harus dibedakan secara jelas antara ojek online
(seperti Go-Jek, GrabBike, Pro-jek, Green-jek dan lainnya) dengan taksi online
(seperti Grab maupun Uber).
Kehadiran Uber maupun Grab taksi dapat dikatakan telah
secara ilegal merebut pasar taksi konvensional. Menurut UU 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, taksi konvensional dalam
pengoperasiannya harus mendapatkan izin penyelenggaraan angkutan orang tidak
dalam trayek. Sementara Uber dan Grab taksi tidak mengantongi izin usaha
transportasi.
Sedangkan, kehadiran ojek online tidak bisa dikatakan
merebut pangsa pasar ojek pangkalan. Secara yuridis, ojek online dan ojek
pangkalan sama-sama tidak mengantongi izin. Dalam melakukan kegiatan usaha,
jika mau, ojek pangkalan dapat bertansformasi ataupun bergabung menjadi ojek
online.
Dengan kata lain, pada kasus taksi konvensional versus
taksi online ada persoalan legalitas, sehingga pemerintah dapat berpihak
secara jelas. Namun, pada kasus ojek pangkalan versus ojek online,
kedudukannya sama.
Para pengusaha taksi konvensional berhak melakukan protes
terhadap kehadiran taksi Uber dan Grab, yang dinilai telah mengambil alih
pelanggan mereka. Sedangkan ojek pangkalan (secara hukum) tidak punya dasar
untuk protes terhadap kehadiran ojek online. Karena sama-sama tak mengantongi
izin, ojek pangkalan maupun ojek online memiliki hak hidup yang sama
(Sunariyah, 2016).
Ketiga, diterbitkannya Permenhub 26 Tahun 2017 tentang
penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam
trayek, pada 31 Maret 2017 lalu, telah memperjelas status transportasi
online. Yaitu, sebagai angkutan sewa khusus [lihat Pasal 19 ayat (1)].
Ada beberapa persyaratan baru untuk kendaraan yang
melayani angkutan sewa khusus. Antara lain, untuk kapasitas silinder mesin kendaraan
minimal 1.000 CC; kendaraan mesti menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor
dengan warna dasar hitam dan berkode khusus, yang nantinya ditetapkan oleh
kepolisian.
Pengemudi angkutan sewa khusus, diharuskan memiliki
dokumen perjalanan yang sah dan dilengkapi nomor pengaduan masyarakat di
dalam kendaraan yang mudah terbaca oleh pengguna jasa.
Dengan kehadiran Permenhub 26 Tahun 2017 pemerintah
mendudukkan legalitas angkutan sewa khusus agar dapat meminimalisasi konflik
yang terjadi di lapangan transportasi, khususnya taksi online dan
konvensional. Secara hukum, beberapa hal yang awalnya bermasalah sudah dapat
dipertanggungjawabkan.
Namun, secara bisnis masih tersisa sekelumit masalah.
Yaitu, penerapan ketentuan biaya tarif bawah [lihat Pasal 19 ayat (2) huruf
f] dan kuota jumlah angkutan taksi konvensional dan online [lihat Pasal 29
ayat (1) huruf b angka 4] yang terdapat dalam Permenhub 26 Tahun 2017.
Ketentuan ini bakal membawa dampak yang kurang baik untuk konsumen atau
pengguna jasa transportasi.
Sebagaimana prediksi Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU), ketentuan tarif tersebut akan berimbas pada makin mahalnya biaya
transportasi. Tarif batas bawah bakal merugikan konsumen, karena tidak lagi
dapat menikmati harga yang kompetitif (terjangkau), dan hal ini sama saja
dengan membiarkan konsumen menanggung in-efisiensi operator jasa
transportasi.
Sedangkan, penetapan batasan kuota angkutan dapat berujung
pada ketidakmampuan perusahaan transportasi online menyediakan armada yang
sesuai dengan permintaan pasar. Dikhawatirkan, konsumen menjadi semakin
kesulitan mengakses layanan alternatif ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar