Sabtu, 08 Juli 2017

Clash of The Transportations

Clash of The Transportations
Alek Karci Kurniawan  ;   Peneliti Hukum Bisnis Univeristas Andalas
                                                     DETIKNEWS, 21 Juni 2017



                                                           
Kehadiran transportasi berbasis aplikasi online di sejumlah daerah di Indonesia tak luput dari konflik. Meski kehadirannya itu membawa manfaat bagi masyarakat pengguna jasa transportasi; dengan harga yang lebih jelas dan murah, kemudahan dalam aksesnya, juga kelebihan lain yang tidak sekedar mengantar penumpang. Di samping itu, transportasi online juga meluluhlantahkan bisnis yang sudah lama dibangun oleh transportasi konvensional.

Kita dapat melihat ketidakpiawaian pemerintah mengakomodasi gejala baru dalam dunia bisnis digital ini. Benturan antarpelaku transportasi online versus transportasi konvensional marak terjadi di mana-mana.

Mutakhir, kurang lebih tiga pekan yang lalu di Pekanbaru, saat sedang bekerja, pengemudi Uber dan Gojek dihajar pengemudi taksi konvensional. Tak terima diperlakukan seperti itu, persatuan pengemudi transportasi online melakukan pembalasan. Bentrok tak terelakkan.

Peristiwa yang serupa juga terjadi sebelumnya di Jakarta, Tanggerang, Solo, hingga Medan dan kota besar lainnya. Di Padang, di mana transportasi online baru-baru ini bermunculan, akan bernasib sama apabila pemerintah kurang responsif menanggapi persoalan tersebut.

Konflik nir-produktif antarmasyarakat dalam berbisnis ini harusnya mendapat perhatian dan tanggapan cepat dari para pemangku kepentingan, agar persoalan serupa tidak menular ke daerah lain yang baru berkembang. Menurut penulis, ada tiga agenda yang musti dieksekusi.

Pertama, pemerintah lokal harus cepat tanggap dalam memprevensi konflik. Lakukan pendekatan terhadap perhimpunan-perhimpunan pelaku usaha transportasi, baik yang online maupun yang konvensional. Tegaskan bahwa penggunaan kekerasan antarpelaku transportasi dalam penyelesaian persoalan adalah tindak kriminal.

Kedua, perlu diberikan sudut pandang yang benar kepada masyarakat dalam melihat permasalahan transportasi online. Siapa yang memberikan? Ya, siapa saja, baik pemerintah maupun masyarakat yang paham. Ini penting. Sebab ada yang harus dibedakan secara jelas antara ojek online (seperti Go-Jek, GrabBike, Pro-jek, Green-jek dan lainnya) dengan taksi online (seperti Grab maupun Uber).

Kehadiran Uber maupun Grab taksi dapat dikatakan telah secara ilegal merebut pasar taksi konvensional. Menurut UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, taksi konvensional dalam pengoperasiannya harus mendapatkan izin penyelenggaraan angkutan orang tidak dalam trayek. Sementara Uber dan Grab taksi tidak mengantongi izin usaha transportasi.

Sedangkan, kehadiran ojek online tidak bisa dikatakan merebut pangsa pasar ojek pangkalan. Secara yuridis, ojek online dan ojek pangkalan sama-sama tidak mengantongi izin. Dalam melakukan kegiatan usaha, jika mau, ojek pangkalan dapat bertansformasi ataupun bergabung menjadi ojek online.

Dengan kata lain, pada kasus taksi konvensional versus taksi online ada persoalan legalitas, sehingga pemerintah dapat berpihak secara jelas. Namun, pada kasus ojek pangkalan versus ojek online, kedudukannya sama.

Para pengusaha taksi konvensional berhak melakukan protes terhadap kehadiran taksi Uber dan Grab, yang dinilai telah mengambil alih pelanggan mereka. Sedangkan ojek pangkalan (secara hukum) tidak punya dasar untuk protes terhadap kehadiran ojek online. Karena sama-sama tak mengantongi izin, ojek pangkalan maupun ojek online memiliki hak hidup yang sama (Sunariyah, 2016).

Ketiga, diterbitkannya Permenhub 26 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek, pada 31 Maret 2017 lalu, telah memperjelas status transportasi online. Yaitu, sebagai angkutan sewa khusus [lihat Pasal 19 ayat (1)].

Ada beberapa persyaratan baru untuk kendaraan yang melayani angkutan sewa khusus. Antara lain, untuk kapasitas silinder mesin kendaraan minimal 1.000 CC; kendaraan mesti menggunakan tanda nomor kendaraan bermotor dengan warna dasar hitam dan berkode khusus, yang nantinya ditetapkan oleh kepolisian.

Pengemudi angkutan sewa khusus, diharuskan memiliki dokumen perjalanan yang sah dan dilengkapi nomor pengaduan masyarakat di dalam kendaraan yang mudah terbaca oleh pengguna jasa.

Dengan kehadiran Permenhub 26 Tahun 2017 pemerintah mendudukkan legalitas angkutan sewa khusus agar dapat meminimalisasi konflik yang terjadi di lapangan transportasi, khususnya taksi online dan konvensional. Secara hukum, beberapa hal yang awalnya bermasalah sudah dapat dipertanggungjawabkan.

Namun, secara bisnis masih tersisa sekelumit masalah. Yaitu, penerapan ketentuan biaya tarif bawah [lihat Pasal 19 ayat (2) huruf f] dan kuota jumlah angkutan taksi konvensional dan online [lihat Pasal 29 ayat (1) huruf b angka 4] yang terdapat dalam Permenhub 26 Tahun 2017. Ketentuan ini bakal membawa dampak yang kurang baik untuk konsumen atau pengguna jasa transportasi.

Sebagaimana prediksi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ketentuan tarif tersebut akan berimbas pada makin mahalnya biaya transportasi. Tarif batas bawah bakal merugikan konsumen, karena tidak lagi dapat menikmati harga yang kompetitif (terjangkau), dan hal ini sama saja dengan membiarkan konsumen menanggung in-efisiensi operator jasa transportasi.

Sedangkan, penetapan batasan kuota angkutan dapat berujung pada ketidakmampuan perusahaan transportasi online menyediakan armada yang sesuai dengan permintaan pasar. Dikhawatirkan, konsumen menjadi semakin kesulitan mengakses layanan alternatif ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar