Pancawarsa
DKPP
Ikhsan Darmawan ; Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
KOMPAS, 23 Juni 2017
Tanggal 12 Juni 2017, Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu genap berusia lima tahun. Dalam kurun waktu satu pancawarsa tersebut,
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) diberikan harapan yang besar
oleh UU sebagai lembaga yang hadir untuk menegakkan etika penyelenggara
pemilu. Menurut Pasal 109 Ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu, DKPP dibentuk untuk memeriksa dan memutuskan pengaduan
dan atau laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu beserta
jajarannya sampai level terendah).
Tugas tersebut tidaklah mudah. DKPP berjalan tanpa contoh
praktik dari negara manapun sembari pada saat yang sama dituntut untuk
bekerja sesempurna mungkin. Ditambah lagi, DKPP eksis, tetapi belum didukung
oleh sumber daya birokrasi yang jumlahnya sejalan dengan tugas beratnya.
Tak sekadar menghukum
Meski demikian, DKPP telah berbuat banyak. Banyak jejak
langkah yang ditinggalkan para komisioner DKPP periode pertama itu. Pada
acara "Forum Penyampaian Laporan 5 Tahun Kinerja DKPP Periode 2012-2017",
Ketua DKPP 2012-2017 Jimly Asshiddiqie menyebutkan, selama kurun waktu lima
tahun DKPP telah menerima 2.578 aduan. Jika dirata-rata, jumlahnya sama
dengan 515 aduan per tahun, atau 42 aduan per bulan, atau 1,4 aduan per hari.
Jumlah yang tentu saja tidak sedikit. Dari jumlah aduan itu, telah ada
ratusan putusan yang dihasilkan.
Tak hanya itu, di samping tugas utamanya menangani aduan,
DKPP juga telah menghasilkan 35 buku dan melakukan kajian tentang etika. Tak
hanya etika penyelenggara yang didiskusikan, tetapi juga menyasar etika
penyelenggaraan pemilu.
DKPP bersama KPU dan Bawaslu juga telah membangun fondasi
dasar hukum berupa peraturan bersama
KPU, Bawaslu dan DKPP tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum. Meski
belum sempurna, adanya produk hukum itu sangat berguna bagi ketua dan anggota
DKPP periode berikutnya.
Karena itu, di balik capaian itu semua, masih ada catatan
penting yang perlu digarisbawahi. Pertama, DKPP bekerja sepenuhnya
mengandalkan aduan. Ibarat seseorang berdiri di pinggir sungai, DKPP saat ini
seperti seseorang yang berdiri di hilir sungai. Padahal, sebetulnya DKPP bisa
lebih progresif dari itu. DKPP bisa saja seperti lembaga lain, yaitu Komisi
Pemberantasan Korupsi dan Bawaslu, yang tak hanya menindak, tetapi juga melakukan
pencegahan. Paralel dengan itu, DKPP seharusnya bisa saja tak sekadar memutus
aduan yang masuk, tetapi juga mencegah terjadinya perbuatan yang berujung
pada aduan.
Ada setidaknya dua sebab mengapa DKPP perlu lebih dari
sekadar menghukum. Yakni: (1) DKPP dengan personel yang minim tak akan
sanggup kalau jumlah aduan makin lama makin banyak. Seperti halnya Bawaslu
ketika membuat indeks kerawanan pemilu (IKP), mereka tak akan sanggup kalau
terus-terusan sekadar menindak pelanggaran pemilu saja.
Kemudian, (2) dalam sebuah diskusi, pihak internal DKPP
pernah merefleksikan diri mereka sendiri apakah banyaknya putusan yang telah
dibuat DKPP dapat dimaknai telah ada kontribusi sebenarnya dari DKPP terhadap
penyelenggaraan pemilu. Dalam bahasa penulis, jika DKPP diibaratkan polisi,
apa yang sudah dilakukan DKPP selama ini hanya seperti polisi yang telah
banyak menilang, tetapi belum berkontribusi terhadap tujuan sebenarnya, yakni
penurunan jumlah pelanggaran lalu lintas, karena kedisiplinan pengendara di
jalanan yang telah berubah.
Lantas, bagaimana cara mewujudkannya? Seperti Bawaslu yang
membuat IKP sebagai strategi pencegahan pelanggaran pemilu, DKPP bisa saja
membuat peta kerawanan etika penyelenggara pemilu di Indonesia. Peta itu
berguna untuk dijadikan dasar oleh DKPP dalam membuat strategi pencegahan di
daerah yang penyelenggaranya menjadi langganan terbanyak mendapatkan aduan
dan juga diputuskan bersalah karena melanggar etika.
Berdasarkan hasil riset Pusat Kajian Politik FISIP UI
2017, selama kurun waktu 2013-2017, ada tiga provinsi yang penyelenggaranya
banyak diputuskan melanggar oleh DKPP, yakni Papua (132 teradu), Sumatera
Utara (89 teradu), dan Aceh (61 teradu). Jika sulit langsung di seluruh
wilayah Indonesia, DKPP bisa mulai dari tiga provinsi itu terlebih dahulu.
DKPP bisa menggali informasi kenapa tiga provinsi itu penyelenggaranya banyak
melanggar dan apa sebab dan motivasi para teradu itu melanggar.
Kenapa itu perlu dilakukan? Jawabannya, supaya DKPP tak
sekadar bekerja menindak pelanggaran saja (walaupun memang UU-nya hanya
menyebutkan demikian). DKPP bisa jauh lebih daripada itu, yakni mencari tahu
sekaligus menekan sumber masalahnya, yakni mengapa pelanggaran terjadi. Jika
DKPP berhasil menekan pelanggaran etika penyelenggara dengan cara mengedukasi
penyelenggara atau mengubah aturan yang sudah ada agar lebih baik dari
sebelumnya itu baru prestasi dalam arti sebenarnya karena beyond tugas utama
DKPP.
Alasan diberhentikan tetap
Kedua, terkait dengan belum jelasnya indikator dari derajat
sanksi yang dikeluarkan DKPP. Seperti diketahui, berdasarkan Laporan DKPP
2016, ada enam jenis sanksi yang selama ini diberikan DKPP: pemberhentian
tetap, pemberhentian sementara, peringatan keras, peringatan, tak memenuhi
syarat untuk menjadi penyelenggara di kemudian hari, dan rehabilitasi.
Permasalahan selama ini adalah apa ukuran dari seorang teradu lantas
diputuskan diberhentikan tetap? Kenapa dalam satu kasus diputuskan diberi
sanksi peringatan keras dan bukan peringatan saja?
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh, soal itu masih
menjadi domain dari kolektivitas ketua dan anggota DKPP ketika berembuk
bersama. Kenapa tak dijadikan hukum tertulis saja agar menjadi pegangan
bersama semua pihak supaya tak menjadi wilayah yang terkesan abu-abu dan
lebih terasa kesan subyektifnya? Dua catatan substansial di atas setidaknya
perlu dipertimbangkan oleh ketujuh komisioner DKPP yang "baru".
Harapannya, DKPP periode lima tahun ke depan lebih baik lagi dalam mendorong
terwujudnya penyelenggara pemilu berintegritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar