Mengukur
Deradikalisasi
Said Aqil Siroj ; Ketua Umum PBNU
|
KOMPAS, 23 Juni 2017
Kasus teror di Kampung Melayu yang terjadi dua hari
sebelum Ramadhan menambah hiruk pikuk teror di negeri kita dan di belahan
bumi lain, seperti bom di Manchester, London; bom di Iran; dan juga
penyerbuan oleh kelompok Maute di Marawi, Filipina.
Teror yang merangsek di negeri kita agaknya makin menjadi
pemicu untuk menengok kembali program deradikalisasi.
Saat ini, berderet penelitian mutakhir mengungkap tumbuh kembangnya radikalisme di masyarakat
yang seolah kian menjadi "samsak" menghujamnya pukulan bertubi
terhadap deradikalisasi. Sampai-sampai, muncul anggapan "deradikalisasi
gagal" karena memandang deradikalisasi berjalan secara tidak konsisten
dan berkesinambungan.
Otokritik perlu dilayangkan, terkait efektivitas
deradikalisasi.
Benarkah deradikalisasi mengalami
"kegagalan"? Tentunya, masih
perlu "uji kelayakan". Rasanya, tak bisa serta-merta untuk
"mengukur" deradikalisasi dengan penampakan yang hanya sejauh
pandang.
Menetapkan ukuran
Ukuran boleh ada, tetapi hasil bisa beda. Santoso dulu
pernah mengikuti program deradikalisasi, tetapi kemudian lebih memilih
menjadi teroris hingga akhir hayatnya. Abu Tholut yang juga mengikuti program
deradikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan (lapas) akhirnya sekarang ikut
terlibat aktif dalam program deradikalisasi melalui ceramah dan tulisan yang
men-counter pikiran radikal terutama Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Hal serupa juga terjadi pada Sufyan Tsauri, Iqbal Husaini,
dan Khairul Ghazali yang kini ikut berkiprah dalam deradikalisasi.
Sudah cukup banyak peneliti yang menetapkan
"ukuran" terhadap keberhasilan deradikalisasi. Kemudian, para peneliti
ini menyodorkan timbangan yang dipandang memiliki tingkat akurasi memadai.
Misalnya saja, ukuran sukses deradikalisasi yang dipaparkan Elaine Pressman
(2009), yaitu para napi teroris dan mantan napi teroris terlihat sudah mulai
menolak ideologi yang kaku, penolakan terhadap kekerasan, ada bukti mereka
melakukan perubahan ke tujuan-tujuan non-kekerasan, mereka mempunyai motivasi
untuk melakukan deradikalisasi, dan ada
dukungan komunitas dalam proses deradikalisasi.
Akan tetapi, ukuran yang ditawarkan ini tidaklah baku. Ini
sifatnya hanya sebagai indikator umum. Ada kesepakatan bahwa ukuran
keberhasilan deradikalisasi tak bisa tunggal (one size fits all). Keberhasilannya sangat bergantung pada
konteks dan latar belakang individu masing-masing, kendati bisa ditarik
indikator-indikator umum.
Mafhum bahwa deradikalisasi bertujuan untuk menurunkan
"tensi" paham-paham kekerasan yang sudah melekat dan merasuk dalam
pikiran. Secara karakter, kelompok radikal selama ini menjadikan kekerasan
sebagai cara dan solusi yang niscaya.
Dengan adanya deradikalisasi, diharapkan bukan lagi
kekerasan yang menjadi titik pijak dan solusi, tetapi kesadaran dan tindakan
untuk mengistimewakan musyawarah dan toleransi tanpa ada unsur kebencian dan
kekerasan. Sebab musababnya bisa karena pemahaman agama yang tidak utuh
(syamil), yang kemudian membuat seseorang bertindak kalap (syiddah
al-tanathu'). Cara pandang yang sempit dalam mencerna setiap kejadian menjadi
pangkal tindakan ngawur.
Dalam program deradikalisasi yang ditekankan adalah
kesadaran bersedia berdialog. Mereka diperlakukan layaknya manusia,
penghormatan, kesantunan, penuh persaudaraan, serta tidak merendahkan. Dengan
begitu, deradikalisasi menjadi manhaj (metode) untuk mengubah seseorang
menjadi lebih toleran, yang dimulai sejak dalam pikiran. Karena itu, yang
diharapkan adalah tidak akan ada lagi kebencian, dendam kesumat dan
kesalahpahaman. Tidak akan ada lagi sikap dan tindakan mudah mengafirkan
orang lain, hanya karena perbedaan pandangan.
Deradikalisasi memang menempuh jalan berliku. Ia tidak
simsalabim. Tamsilnya, kita menapaki jalan terjal penuh kelok, maka untuk
mencapai jalan yang lempang kita juga harus siap kembali menapaki jalan
terjal. Dalam menjalankan deradikalisasi, agar bisa mencapai jalan lempang,
kita harus siap untuk terus melakukan terobosan-terobosan dan kreasi dalam
hal pendekatan, sejalan dengan dinamika yang ada, baik menyangkut penilaian
terhadap kondisi yang membuat seseorang menjadi radikal, hingga menyesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Deradikalisasi yang dilakukan selama ini juga hendak
menjawab kekhawatiran para mantan teroris, ketika sudah terjun ke masyarakat.
Intinya, deradikalisasi mencakup aspek kemanusiaan, pendidikan (mengajarkan
moderasi), kepedulian sosial dan pemberdayaan secara ekonomi.
Secara operasional, dalam deradikalisasi ada identifikasi
yang merupakan rangkaian awal dari empat tahapan yang akan dilaksanakan,
yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi dan resosialisasi. Proses
identifikasi memiliki makna yang penting bagi warga binaan yang akan
mengikuti tahapan program deradikalisasi yang berkelanjutan, bersambung dan
memberdayakan kehidupan, baik bagi mereka yang sedang berada di dalam lapas
maupun yang telah berada di tengah masyarakat.
Bekerja senyap
Menangani deradikalisasi butuh kecermatan dalam menelisik
varian dan tipologi mereka. Oleh karena itu, "tim kombatan"
deradikalisasi perlu berbekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai. Mereka
harus mampu menaksir, menakar, dan menilai seraya memiliki keterampilan
komunikasi yang baik.
Setiap pertemuan dengan sasaran, mereka harus senantiasa
berlaku sabar, santun dan lembut. Mereka menjadi pendengar setia segala keluh
kesah para napi teroris. Dalam bekerja, tim harus memastikan kesinambungan,
baik dalam hal dukungan kebijakan maupun merespons panggilan pribadi para
napi teroris. Sehingga, tak mengherankan terjalin hubungan yang baik antara
anggota tim dan para mantan napi teroris, keluarga, serta jaringannya.
Bukankah keberadaan teroris bagaikan "hantu"?
Mereka bisa bergentayangan di mana-mana. Aksinya pun tak bisa ditebak,
tiba-tiba menggelegar dan membuat publik gemetar. Apalagi yang dilakukan oleh
apa yang disebut lone wolf. Tipe ini sulit dideteksi seperti dalam kasus
penyerangan di Paris dan London. Sungguh, ini fakta yang dilakukan oleh
kalangan "teroris aktif".
Untuk para mantan teroris yang sudah bebas dari penjara,
keberadaannya memang sudah terdeteksi karena lazimnya sudah terdata di lapas.
Hanya saja, mereka tak jarang pindah alamat sehingga langkah menemui kadang
tidak mudah. Sementara untuk jaringan yang sering kali sulit dideteksi, untuk
mengungkapnya perlu berbagai pendekatan kepada para "narasumber",
yaitu mantan napi teroris.
Di sinilah peran tim deradikalisasi yang melakukan
perburuan terhadap jaringan radikal secara senyap. Mereka ibaratnya
Ghostbuster, tetapi bukan untuk "menghabisi", melainkan melalui
"jalan damai" mendekati dan merangkul para anggota jaringan, dengan
tujuan menetaskan kesadaran kebangsaan dan keagamaan moderat.
Jika aksi teroris membuat galau masyarakat, aksi tim
deradikalisasi ini berperan melempangkan jalan menuju rasa aman kepada
masyarakat. Pasokan data yang dihasilkan dapat menjadi rujukan untuk melihat
peta terorisme berikut jaringannya.
Kesimpulannya, deradikalisasi tetap harus berjalan, bukan
sekadar basa-basi. Program ini perlu dilakukan secara lebih baik dan terukur
seiring dengan dinamika terorisme yang kian mengganas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar