Perseteruan
Arab Saudi Vs Qatar
Zuhairi Misrawi ; Peneliti Pusat Pemikiran dan Politik Timur
Tengah,
The Middle East
Institute
|
KOMPAS, 21 Juni 2017
Tidak salah bila ada yang menyatakan Timur Tengah sebagai
teater konflik. Sederetan masalah berjibun tak kunjung selesai: konflik
Israel-Palestina, Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), Yaman, dan Bahrain.
Kini, Arab Saudi berseteru dengan Qatar, yang melibatkan beberapa negara
tetangga, seperti Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir.
Perseteruan itu menambah runyam situasi kawasan.
Stabilitas politik Timur Tengah akan semakin terganggu, terutama agenda
memerangi NIIS dan menyelesaikan masalah Palestina.
Sikap yang diambil Arab Saudi dalam memutus hubungan
diplomatik dengan Qatar sangat mengejutkan. Apalagi langkah itu disertai
dengan penutupan jalur perbatasan darat, laut, dan udara dengan Qatar. Tidak
hanya itu, Arab Saudi bersama sekutunya di Teluk memerintahkan warga Qatar
untuk keluar dari wilayahnya dalam jangka waktu 14 hari.
Bahkan, saluran televisi Al Jazeera resmi diputus dan ada
larangan keras bagi warga Arab Saudi dan sekutunya untuk bersimpati pada
Qatar. Warga mereka yang bersimpati pada Qatar akan dikenai denda yang
lumayan besar. Konon jersey Barcelona yang ada logo Qatar juga dilarang
beredar di Arab Saudi.
Langkah ini sekali lagi mengejutkan. Saya yakin,
orang-orang Teluk dan warga Arab umumnya pun tidak bisa menalar apa yang
terjadi saat ini karena mereka selama ini ibarat sebuah keluarga besar di bawah
payung Dewan Kerja Sama Teluk (GCC).
Akar penyebab
Sejatinya Arab Saudi bisa menempuh jalur duduk bersama dan
melakukan dialog dengan Qatar. Namun, hal tersebut tidak dilakukan, dan
sekarang dampak terberat yang harus dibayar dari keputusan tersebut, yaitu
bubarnya lembaga GCC yang selama ini paling solid di Timur Tengah. Kuwait
yang sedang menempuh jalur mediasi pun mengalami kebuntuan.
Jika ditelisik lebih dalam lagi, sebenarnya perseteruan
Arab Saudi dan Qatar bukan hal yang baru. Ibarat sebuah bom, hubungan
panas-dingin antara kedua negara bisa meledak sewaktu-waktu, karena kedua
negara mempunyai perbedaan yang mendasar dalam menyikapi perubahan besar
Musim Semi Arab dan pergeseran geopolitik di Timur Tengah.
Yang paling mencolok adalah konflik politik di Yaman dan
Bahrain. Arab Saudi mengerahkan segala kekuatannya untuk mendukung penuh
rezim yang berkuasa di Yaman dan Bahrain di tengah guncangan politik yang
sangat dahsyat. Selain kedua rezim negara tersebut dianggap sebagai loyalis
terhadap Arab Saudi, keduanya secara geografis juga berbatasan langsung
dengan Arab Saudi. Jika salah satu negara lepas ke tangan rezim yang loyal
terhadap negara lain, khususnya Iran, maka akan memberikan dampak yang serius
bagi masa depan rezim Arab Saudi saat ini.
Posisi Qatar terhadap kedua negara yang sedang bergejolak
sebenarnya netral. Hal tersebut bisa dilihat dari pemberitaan Al Jazeera yang
memberikan porsi yang sama terhadap rezim dan pihak oposisi. Setidak-tidaknya
Qatar memandang bahwa warga Yaman dan Bahrain bisa menentukan masa depan
negara mereka sendiri tanpa intervensi terhadap pihak lain. Karena itu, Al
Jazeera berusaha obyektif melihat gelanggang perseteruan politik di Yaman dan
Bahrain.
Saat ini, jujur saja, posisi Yaman dan Bahrain sama sekali
tidak menguntungkan Arab Saudi. Setelah bertahun-tahun konflik meledak, pihak
oposisi di Yaman dan Bahrain masih belum bisa ditaklukkan oleh rezim yang
loyal terhadap Arab Saudi. Bahkan, posisi kelompok oposisi makin menguat.
Qatar melalui televisi Al Jazeera selalu membuat framing, bahwa Iran adalah
pihak yang dituduh sebagai otak di balik kukuhnya perlawanan oposisi, baik di
Yaman maupun Bahrain.
Dalam hal ini harus diakui, bahwa Qatar sekali lagi
berusaha obyektif tidak memihak pada Iran. Bahkan, jika dilihat dari
pemberitaan di Al Jazeera, Iran sendiri menganggap Qatar cenderung berpihak
kepada Arab Saudi, karena memberikan porsi pemberitaan yang lebih besar bagi
pihak rezim yang berkuasa daripada pihak oposisi.
Namun, sepertinya Arab Saudi menganggap sikap Qatar
tersebut bermain di atas dua kaki. Di satu sisi, Qatar tidak ingin kehilangan
kakinya di GCC, tetapi di sisi lain tidak ingin kehilangan perannya dalam
perubahan besar pasca-Musim Semi Arab. Karena fakta yang terakhir ini pula,
Qatar harus bersitegang dengan Mesir karena cenderung menolak kudeta yang
akhirnya memenangi militer sebagai penguasa saat ini. Qatar memandang
Ikhwanul Muslimin adalah pemenang secara demokratis, karenanya tidak layak
dikudeta dengan cara-cara yang tidak demokratis.
Di samping itu, Qatar juga mulai melihat perubahan peta
geopolitik di Timur Tengah. Iran menjadi pemain utama yang benar-benar hadir
dan mempunyai pengaruh riil. Iran semakin menancapkan kekuatan di Irak,
Suriah, Lebanon, Yaman, dan Bahrain. Bahkan Iran mendapat sokongan penuh dari
Rusia sebagai mitra strategisnya di kawasan.
Begitu pula Turki yang mulai memandang Amerika Serikat
sebagai pihak yang tidak bisa diajak bekerja sama setelah menolak menyerahkan
Fethullah Gulen yang dianggap mereka sebagai otak kudeta. Turki akhirnya
mulai merapat ke Rusia dan Iran.
Fakta-fakta itu menjadi perhatian Qatar untuk tidak tunduk
pada kepentingan Arab Saudi di kawasan. Bagaimanapun Timur Tengah sekarang,
bukanlah Timur Tengah lama, yang selalu tunduk pada kepentingan AS melalui
kaki tangannya, Arab Saudi.
Timur Tengah saat ini sudah berubah karena negara-negara
di kawasan sendiri juga mengalami pertumbuhan yang cepat, baik secara
ekonomi, media, maupun militer. Meskipun Qatar tidak mempunyai kekuatan
militer, tetapi harus diakui Qatar saat ini mempunyai kekuatan ekonomi dan
media sehingga mempunyai pengaruh yang tidak bisa dianggap sepele di kawasan.
Karena itu, isu soal keterlibatan Qatar dalam jaringan
terorisme adalah isapan jempol. Arab Saudi sengaja membungkus isu ini untuk
menutupi masalah utama yang sedang dihadapi, yaitu Yaman dan Bahrain, dan
membesarnya pengaruh Qatar di Timur Tengah.
Tanpa solusi
Semua tahu, kalau para teroris di Timur Tengah sebenarnya
lebih dekat secara ideologis dan politis dengan Arab Saudi. Narasi-narasi
ideologis yang dimainkan Al Qaeda dan NIIS sebenarnya lebih dekat dengan Arab
Saudi daripada Qatar. Mereka adalah kaum takfiri yang mendapatkan inspirasi
dari ideologi yang dianut rezim Arab Saudi.
Memang Qatar melindungi Hamas dan Ikhwanul Muslimin.
Namun, kedua kelompok tersebut masih diperdebatkan untuk disebut teroris.
Karena itu, keduanya adalah kelompok perlawanan politik yang selama ini
diperlakukan tidak adil, baik di Palestina maupun di Mesir. Lagi pula kedua
kelompok tersebut tidak mengancam Arab Saudi.
Bagaimanapun sikap yang diambil Arab Saudi dengan
memboikot Qatar sangat berlebih-lebihan, bahkan dianggap memaksakan kehendak
dan tidak menghormati kedaulatan negara lain. Karena itu, langkah yang
diambil Arab Saudi semakin tidak menguntungkan pihaknya.
Saat ini Qatar sudah mendapatkan sokongan penuh dari Turki
dan Iran. Itu artinya, pihak oposisi Yaman dan Bahrain juga mendapatkan
dukungan moral untuk melakukan perlawanan terhadap rezim yang selama ini
disokong Arab Saudi. Dan, akhirnya, Timur Tengah akan terus bergejolak tanpa
ada solusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar