Ini
Tantangan Sektor Energi di Ibu Kota
Sunarsip ; Chief Economist PT Bank Bukopin Tbk
|
REPUBLIKA, 19 Juni 2017
Sektor energi merupakan isu yang strategis, sekaligus
kritikal bagi keberlanjutan pembangunan dan kehidupan di Ibu Kota, Jakarta.
Ketersediaan energi menjadi vital karena kebutuhan energi yang semakin
meningkat. Di samping itu, transformasi Jakarta menjadi perekonomian berbasis
jasa (services) yang kini berlangsung tentunya membutuhkan pasokan energi
yang cukup sekaligus ramah bagi perkembangan ekonomi berbasis jasa. Di sisi
lain, sebagai daerah yang tidak memiliki sumber daya energi (resources)
sendiri, posisi DKI Jakarta termasuk rawan bila pasokan energi dari daerah lain
terganggu. Untuk melihat seberapa strategisnya isu energi di Jakarta ini,
mari kita lihat beberapa fakta berikut.
Pertama, pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta relatif stabil
dalam 5 tahun terakhir di kisaran 5 persen per tahun. Namun, bila ditelusuri
sumber pertumbuhannya, terlihat bahwa investasi tidak memperlihatkan
pertumbuhan yang mengesankan. Dalam 6 tahun terakhir, pertumbuhan investasi
di DKI Jakarta rata-rata kurang dari 3 persen per tahun. Rendahnya
pertumbuhan investasi ini diperkirakan antara lain disebabkan oleh
pertambahan investasi di sektor jasa-jasa tidak mampu mengimbangi menurunnya
investasi di sektor industri pengolahan (manufaktur) akibat tingginya biaya
produksi, baik biaya tenaga kerja dan biaya energi.
Kedua, DKI Jakarta merupakan pengguna energi terbesar di
Indonesia. Konsumsi BBM di Jakarta mencapai sekitar 20 persen dari konsumsi
BBM secara nasional. Tidak hanya BBM, kebutuhan energi gas di Jakarta juga
cukup tinggi. Kebutuhan gas Jawa bagian Barat (termasuk DKI) mencapai sekitar
37 persen dari total kebutuhan gas nasional. Dan perlu diketahui, hampir
seluruh kebutuhan gas DKI Jakarta dipasok dari luar Jakarta, seperti dari
Jawa Tengah, Jawa Barat dan Sumatera bagian selatan. Kebutuhan gas tersebut
terutama untuk memenuhi kebutuhan gas rumah tangga, industri, dan listrik.
Namun, studi MacKenzei (2013) memperlihatkan bahwa wilayah
ini diperkirakan akan mengalami defisit gas dalam beberapa tahun ke depan.
Ini mengingat, pasokan gas dari daerah penghasil gas sudah mulai berkurang
akibat produksi yang menurun (declining). Selanjutnya, kebutuhan gas di DKI
diperkirakan akan dipenuhi melalui impor gas alam cair (liquid natural gas,
LNG) dengan harga yang jauh lebih mahal. Konsekuensinya, biaya energi dan
tentunya biaya produksi pun akan meningkat.
Ketiga, Jakarta merupakan salah satu kota dengan tingkat
polusi yang tinggi. Sumber utama polusi udara antara lain berasal dari sektor
energi, baik itu dari sektor transportasi dan industri. Tingkat polusi
tertinggi ada di Jakarta Utara terutama karena aktivitas transportasi bongkar
muat di pelabuhan Tanjung Priok dan di perbatasan Jakarta Utara dan Jakarta
Barat. Kualitas udara yang buruk tersebut tentunya akan menjadi hambatan
serius bagi upaya pemerintah DKI Jakarta untuk mengembangkan perekonomian
Jakarta berbasis jasa. Kota Jakarta seharusnya menjadi kota ramah lingkungan
dan berkelanjutan sehingga dapat menjadi daya tarik bagi berkembangnya
ekonomi berbasis jasa-jasa.
Sehubungan dengan kondisi di atas, dalam rangka menjawab
isu energi di Jakarta maka dibutuhkan langkah-langkah yang kuat, berani
mengambil keputusan sulit, dan investasi yang besar. Saya mengidentifikasi
setidaknya terdapat tiga kebijakan yang diperlukan untuk memperkuat sektor
energi di DKI Jakarta.
Pertama, perlu dipahami bahwa isu energi di Jakarta
merupakan isu yang bersifat nasional, bukan isu lokal. Karenanya,
penanganannya pun harus terpadu dengan melibatkan pemerintah pusat,
pemerintah DKI Jakarta dan daerah sekitarnya, dan stakeholders lainnya
seperti BUMN penyedia energi (Pertamina, PGN, dan PLN) termasuk swasta.
Sebagai contoh, rencana pemerintah untuk mengurangi konsumsi BBM perlu
ditempuh bersama oleh pemerintah pusat dan otoritas di tingkat lokal, dalam
hal ini pemerintah provinsi DKI Jakarta.
Seperti disebut di atas, Jakarta adalah pengguna BBM
terbesar di Indonesia. Konsekuensinya, Jakarta juga memakan subsidi BBM
paling banyak. Di sisi lain, konsumsi BBM yang berlebihan juga telah menjadi
penyebab kualitas udara di Jakarta buruk dan beban infrastruktur makin berat
seiring dengan bertambahnya kendaraan bermotor pengguna BBM.
Saya mengusulkan agar kebijakan pengurangan konsumsi BBM
dilakukan secara sinergi antara pemerintah pusat dan DKI Jakarta. Pemerintah
pusat, misalnya, mengeluarkan kebijakan penghapusan subsidi BBM yang berlaku
khusus di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sedangkan dana hasil penghapusan
subsidi BBM tersebut dialihkan untuk membangun infrastruktur energi yang
ramah lingkungan (seperti gas, compressed natural gas/CNG) serta memperbanyak
infrastruktur dan alat transportasi massal non-BBM. Untuk mendorong
efektivitas kebijakan pengurangan konsumsi BBM, pemerintah DKI Jakarta
memberlakukan kebijakan pajak kendaraan bermotor dan tarif parkir yang tinggi
agar masyarakat beralih ke transportasi umum.
Penggunaan CNG bagi kendaraan bermotor merupakan pilihan
yang atraktif, selain dapat mengurangi subsidi juga meningkatkan kualitas
udara. Penggunaan CNG telah sukses dipraktekkan di sejumlah kota di Asia
seperti New Delhi, Mumbai, dan Bangkok. Namun demikian, penggunaan CNG
memerlukan pendekatan yang terintegrasi seperti: (i) adanya insentif bagi
konsumen, produsen, dan penjual serta harga yang optimal sebagai kompensasi
bagi konsumen atas biaya investasi yang dikeluarkannya untuk mengubah
komponen kendaraannya; (ii) tingkat pengembalian yang cukup atas investasi
yang dilakukan oleh produsen dan supplier; (iii) margin keuntungan yang cukup
bagi penjual; (iv) dukungan regulasi yang mewajibkan (mandatory) beralih
(swicth) ke CNG; dan (v) menyiapkan infrastruktur yang memungkinkan kegiatan
pemasangan converter kits dapat dilakukan serta pembangunan SPBG pada lokasi
yang mudah dijangkau.
Kedua, perlu segera
merehabilitasi pasokan gas untuk Jawa bagian Barat (termasuk DKI Jakarta).
Tujuannya, untuk mengatasi ancaman defisit gas akibat produksi gas dari
daerah penghasil gas konvensional yang mulai menurun. Secara nasional,
Indonesia masih surplus gas. Namun, surplus gas tersebut berada di
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua yang tidak dapat memasok kebutuhan gas Jawa karena
keterbatasan infrastruktur transmisi. Untuk menyalurkan gas dari luar Jawa,
maka DKI Jakarta dan daerah sekitar membutuhkan infrastruktur regasifikasi
LNG serta piga gas. Dan pastinya, ini membutuhkan investasi yang tidak
sedikit dan partisipasi bersama pemerintah pusat dan daerah.
Ketiga, mendorong pengembangan mobil listrik untuk
pemakaian di ibu kota. Mobil listrik dapat menjadi opsi yang baik sebagai
alat transportasi darat. Penggunaan mobil listrik memiliki dampak efisiensi
energi paling tinggi, kualitas udara dan lingkungan yang positif. Penggunaan
mobil listrik cocok untuk perjalanan dalam wilayah yang terbatas, misalnya
dalam kota atau satu kawasan tertentu. Kota Jakarta dengan konsentrasi polusi
yang tinggi dan proporsi jalan tempuh pendek yang besar sangat tepat
menggunakan mobil listrik. Dengan perkembangan teknologi baterai terbaru,
maka kinerja, keamanan dan biaya baterai menjadi lebih manageable. Saat ini
terdapat sekitar 6 juta mobil di Jakarta (belum termasuk sepeda motor),
sebuah potensi yang besar untuk menghemat biaya transportasi dan subsidi
energi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar