Pelajaran
dari Kontroversi "Full Day School"
Abdul Kadir Karding ; Sekjen DPP PKB; Ketua Fraksi PKB MPR RI
|
DETIKNEWS, 20 Juni 2017
Ide kontoversial dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Muhadjir Effendi yang ingin menerapkan kebijakan full day school
(FDS). Pelajar SD dan SMP, baik negeri maupun swasta, diwajibkan berada dalam
sekolah 8 jam sehari, selama 5 hari dalam seminggu.
Mantan Rektor Universitas Muhamadiyah Malang itu,
sebagaimana dikutip beberapa media, berharap dengan FDS pendidikan karakter
siswa dapat lebih baik, kualitas meningkat, dan anak didik tidak menjadi liar
di luar sekolah. Gagasan itu dilemparnya sejak 2016.
Namun, bisa jadi soal FDS tak hanya soal agar anak didik
tak jadi liar. Ditengarai, FDS juga untuk menunjang sertifikasi guru sehingga
jam mengajar guru-guru tersertifikasi, bisa memenuhi 24 jam pelajaran setiap
minggunya, sebagai pemenuhan syarat mendapatkan tunjangan profesi.
Mendikbud jauh-jauh hari telah menyatakan bahwa pada 2017,
guru PNS dan swasta dengan tunjangan profesi wajib ada di sekolah selama 8
jam sehari. Termasuk, guru-guru yang ada di pedalaman. Padahal, Undang-Undang
No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 35 ayat 2 memberikan rentang
waktu kerja guru cukup fleksibel dengan hanya menyatakan minimal 24 jam tatap
muka, dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam 1 minggu. Bukan, minimal
40 jam dalam 5 hari.
Gagasan FDS belum mendapatkan dukungan bulat. Bahkan Nahdlatul
Ulama (NU), organisasi terbesar umat Islam Indonesia, menyampaikan protes
melalui beberapa pengurus, kiai dan lembaga ma'arif yang menaungi
institusi-instusi pendidikan di bawah NU. Dan, belakangan, Presiden Joko
Widodo menyatakan akan mengkaji ulang rencana tersebut.
Bukan Anti Pendidikan
Penolakan terhadap FDS bisa dipastikan bukan karena anti
pendidikan atau sekolah. Bersama dengan para pakar dan praktisi yang telah
berkecimpung dalam dunia pendidikan berpuluh-puluh tahun, saya termasuk yang
menilai FDS tak layak dipaksakan pelaksanaannya dalam waktu dekat ini, karena
beberapa hal.
Pertama, kebijakan yang baik seharusnya dapat diterapkan
oleh semua pihak dan di semua wilayah. Apalagi terkait dengan pendidikan yang
berimplikasi serius mempengaruhi masa depan peserta didik. Gagasan FDS adalah
kota sentris yang menganggap orangtua bekerja 8 jam dan fasilitas sekolah
memadai, nyaman bagi anak didik sepanjang hari. Faktanya, ribuan sekolah
kurang layak untuk proses belajar mengajar; fasilitas minim dan bangunan
reyot.
Kedua, menyangkut soal kompetensi guru. Rata-rata skor 5,
dari total 10. Padahal uji kompetensi masih teoritis. Pekerjaan rumah
terbesar pendidikan adalah kualifikasi guru yang menurut pakar pendidikan
Haidar Bagir lemah di soal motivasi dan passion. Padahal panggilan hati
menjadi tulang punggung sistem FDS bila diterapkan.
Dukungan fasilitas belajar mengajar dan tunjangan yang
belum ideal bagi guru yang berdampak pada motivasi pengajar, bisa-bisa murid
bukannya jadi senang dengan sekolah, sebaliknya jadi bosan.
Ketiga, argumentasi yang dibangun Mendikbud dengan FDS
agar anak didik tidak liar dan karakternya terbangun melalui pemanjangan jam
berada sekolah, mencerminkan cara pandang defisit based dan negatif. Hal itu
bertentangan dengan semangat pendidikan yang memposisikan anak didik sebagai
subjek, yang karenanya Bahasa Indonesia menyerap kata Arab 'murid' untuk kata
lain siswa, yang bermakna orang yang berdaulat, memiliki kehendak. Dari kata
dasar 'arada', kehendak.
Keempat, FDS mengabaikan situasi sosiologis dan
undang-undang yang mengamanatkan bahwa pendidikan juga tanggung jawab
masyarakat. Penerapan FDS dapat menyebabkan rontoknya partisipasi masyarakat
yang telah lama dibangun, bahkan jauh sebelum sekolah negeri/umum muncul,
melalui sekolah sore, madrasah diniyah, yang nyata berkontribusi membangunan
karakter dan menahan radikalisme beragama.
LP Ma'arif NU mencatat ada 12.780 madrasah diniyah dan
berbagai TPQ yang kebanyakan muridnya adalah siswa SD dan SMP, akan rontok
bila FDS diterapkan.
Kelima, perpanjangan waktu di sekolah akan meningkatkan
beban biaya, uang saku dan perlengkapan yang harus ditanggung para orangtua
siswa SD dan SMP. Pada sisi lain, risiko sosial bisa jadi meningkat, akibat
waktu anak berinteraksi dalam keluarga dan bermain di lingkungannya yang
sangat penting dalam proses pendidikan hidup akan berkurang drastis.
Kedekatan sosial di lingkungan berpotensi mengendur sehingga mekanisme
kontrol dan solidaritas sosial juga akan melemah.
Belajar Seumur Hidup
Belajar tidak hanya untuk siswa SD dan SMP. Para kiai di
pesantren sering mengulang-ulang perintah belajar dengan mengatakan
"utlubal 'ilma minal mahdi, ilal lahdi". Tuntutlah ilmu, sejak dari
buaian hingga menuju liang kuburan.
Long life education, belajar seumur hidup, jadi
kewajiban bagi orang-orang dewasa. Mereka bisa kembali menuntut ilmu melalui
jalur pendidikan formal maupun nonformal dengan mengumpulkan informasi,
pengetahuan baru, dan menganalisisnya. Bagian dari orang-orang dewasa itu
adalah para pemimpin, pembuat kebijakan.
Tentunya, termasuk belajar soal sistem pendidikan yang
baik bagi para murid. Untuk itu, rasanya perlu belajar tentang sistem
pendidikan ke negara yang peringkat pendidikannya terbaik di dunia yaitu
Finlandia. Siswa SD-SMP di sana hanya sekolah 45 jam per hari; tidak ada PR;
cara belajar hanya 45 menit dan 15 menit istirahat; anak-anak baru boleh
bersekolah setelah berusia 7 tahun.
Selain itu, di Finlandia, guru menerima gaji rata-rata
3400 euro per bulan atau setara Rp 42 juta. Kualitas guru terbaik dengan
pelatihan terbaik pula. Semua guru dibiayai pemerintah untuk meraih gelar
master (S2). Guru dianggap paling tahu cara evaluasi murid-muridnya sehingga
tak perlu ujian nasional. Tidak ada sistem ranking, dan sekolah swasta pun
diatur secara ketat agar tetap terjangkau.
Bila memang pengembangan karakter, dan membangun pemahaman
anti radikalisme dalam beragama yang menjadi bagian dari tujuan utama FDS,
maka tak ada salahnya Kemendikbud mengembangkan sistem jejaring dukungan
belajar penuh hari, tanpa harus terkungkung pada satu kompleks sekolah.
Caranya dengan melakukan pemetaan lembaga pendidikan
tradisional seperti madrasah diniyah, sore hari, yang ada di kampung sang
siswa, yang diikuti dengan mengembangkan jaring kerja sama pendidikan yang
tak terputus, sebagai pendidikan yang terintegrasi yang tidak saling
menegasikan. Melainkan, saling menguatkan demi mewujudkan pendidikan yang
memberdayakan.
Khazanah sistem pendidikan di Indonesia seperti pesantren
dan surau perlu terus dikaji, dan diintegrasikan dalam satu sistem pendidikan
sepanjang waktu. Kementrian pendidikan harus mendengarkan seruan banyak
pihak, khusunya NU, yang telah teruji dan terbukti sebagai jam'iyyah
diniyyah, ormas umat Islam terbesar di Indonesia yang berhasil menyelanggarakan
pendidikan karakter bertumpu pada pendekatan khas Nusantara, dan agama
seperti pesantren.
Selain itu, NU juga terbukti massif menyelanggarakan
pendikan-pendikan madrasah diniyah yang bersahaja secara mandiri dengan
partisipasi penuh masyarakat yang jumlahnya mendekati angka 13 ribu, pada
siang atau sore hari bagi para anak didik usia SD dan SMP, yang sesungguhnya
adalah pendidikan sepanjang hari. Diampu guru-guru yang tak pernah meributkan
tunjangan profesi, yang ironisnya terancam dirontokkan oleh gagasan FDS.
FDS sepatutnya memang ditimbang ulang. Bahkan, sebaiknya
dibatalkan karena berbahaya membunuh partisipasi dan kemandirian masyarakat
dalam menyelanggarakan pendidikan karakter yang ratusan tahun telah teruji,
seperti madrasah diniyah.
Sebagai sebuah kebijakan, tak ada salahnya Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Prof Muhadjir menyimak kaidah fiqih: "dar'ul
mafasid muqoddamun 'ala jalibil mashalih; menghindari atau mencegah kerusakan
hendaknya didahulukan dibanding melakukan inovasi yang tak teruji. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar