Ramadhan
Pancasilais
Radhar Panca Dahana ; Budayawan
|
KOMPAS, 22 Juni 2017
Sungguh menyejukkan Ramadhan. Belum lagi ia tiba, api yang
menjalar di bumi Indonesia belakangan hari-karena panasnya hati dan
membaranya kepala-seakan redup menyisakan hanya serpihan lelatu yang bisa
justru menjadi hiasan seperti taburan bintang di gelap malam.
Kesucian Ramadhan bagi umat Islam Indonesia adalah
sakralitas kolektif yang terjaga baik ratusan tahun di negeri ini, yang
tampak kebal dari gangguan dan godaan gaya hidup global-modern. Kita
mendapatkan momen reflektif untuk mengendapkan, membaca ulang atau memeriksa
diri lagi yang selama ini terlibat dalam keriuhan dan kericuhan politik yang
dicampur aduk dengan kepentingan agama. Wajah dan hati agama (Islam) negeri
ini, memperlihatkan jati dirinya yang mampu membungkam hampir tak
terkendalikannya amarah, syahwat atau libido pikiran, mental dan badan kita
selama beberapa waktu belakangan.
Dalam shalat-shalat yang (coba) dikhusyukan, doa-doa
setelahnya, masa i'tikaf yang sunyi, dan kolektivitas yang penuh kebinekaan
dalam jemaah-jemaah tiap harinya seperti menguliti sisik-sisik yang busuk dan
buruk dari ribuan kata, istilah, frasa hingga tuduhan dan makian yang tak
hanya merusak bahasa, tetapi juga menghina diri dan bangsa sendiri selama
ini. Apa sebenarnya yang ada di balik retorika-retorika penuh muslihat,
manipulasi serta menyesatkan hati dan pikiran itu?
Apa pula, bahkan, slogan-slogan "kebaikan" yang
kita anggap menjadi lawan dari retorika-retorika negatif itu? Apa makna di
balik semua ekspresi linguistik itu? Bentuk komunikasi apa yang terjadi
sebenarnya? Benarkah Pancasila sebenarnya, sebagai bagian dari kebaikan dan
selalu kita rayakan hari lahirnya itu, secara nyata (real) dan substantif,
mampu dan telah menjadi peredam gerak-gerak negatif dalam diri bangsa kita?
Benarkah nilai-nilai-yang kita anggap menjadi karakter
dasar bangsa-seperti toleran, gotong royong, egaliter, dan sebagainya telah
menjadi praksis dari kehidupan kita selama ini? Setidaknya, benarkah kita
memahami dengan adekuat makna dan hikmah dari sila-sila atau istilah-istilah
di atas?
Lima watak dasar
Dalam beberapa riset kecil (personal) dan informal yang
saya lakukan, dibantu mahasiswa-mahasiswa saya di pascasarjana sebuah
universitas, untuk menemukan realitas sesungguhnya mulai dari masa lalu
hingga masa kini (dalam penjelasan historis, arkeologis hingga sosiologis),
berhasil diidentifikasi 40 (hingga hari ini) ciri khas masyarakat Indonesia
dalam jati dirinya sebagai manusia dan kebudayaan bahari. Ciri yang juga
menjadi sifat dan menjadi dasar nilai hingga moralitas pembentuk
kepribadian/karakter/integritas bangsa Indonesia itu, dibuktikan menjadi
esensi juga acuan praksis hidup masyarakat kita, dulu hingga kini.
Hanya, menjadi kenyataan yang ada di lapangan, ternyata
ciri, sifat atau karakter dasar masyarakat kita itu mendapat implementasi
yang paling adekuat atau mendalam justru di kalangan rakyat kecil (grass
root). Kemudian ia melunak atau luntur, dalam arti praksisnya kian berkurang
kualitasnya, pada kelas-kelas di atasnya. Lalu memuncak justru pada
pengingkaran atau pengkhianatan (negasi dari ciri-ciri itu) di kelas paling
atasnya (elite). Ada beberapa penyebab situasi tersebut.
Namun, ketimbang mengurai sebab-sebab yang membutuhkan
cukup banyak halaman, saya coba meringkas beberapa hasil riset di atas,
tentang akar tumbuhnya ciri atau nilai-nilai keutamaan bangsa kita itu,
hingga terhindar dari jebakan slogan, ilusi, dan kebuntuan implementasinya.
Semua bermula dari realitas kebaharian masyarakat, negeri,
budaya, hingga adab dari negeri Nusantara/kepulauan Indonesia. Sebuah
realitas natural yang purba, di mana lebih 70 persen atau sepertiga luas
wilayahnya adalah air (lautan), belum termasuk sungai, danau, bendungan,
empang, dan sebagainya. Sebuah kenyataan alamiah yang juga ada pada bumi ini,
pun tubuh manusia, yang sepertiga diisi oleh air.
Dari realitas itu, terciptalah sebuah masyarakat-sebagai
akibat logisnya-yang lebih berorientasi perairan, laut, ketimbang darat.
Mereka lebih "hidup" dalam kedekatannya dengan laut, membuatnya
ahli mengarungi laut, matang dalam teknologi yang dibutuhkan (dalam pembuatan
kapal, antara lain), hingga penjelajahan dan diasporanya ke berbagai wilayah
dunia. Tak mengherankan jika data arkeologis mengidentifikasi bekas-bekas
peninggalan rakyat (budaya) Nusantara dari ujung barat (pantai Timur Afrika)
hingga timur (pulau Paskah hingga Tahiti) dunia.
Semua itu terjadi sejak 3.500-4.000 BCE (Before Common Era
atau Sebelum Masehi dalam istilah lama), masa di mana orang-orang daratan
(kontinental) sebagai counterpart dari adab bahari, menengok laut pun masih
dengan rasa takut berlebihan. Karena menurut catatan sejarah, bahkan hingga masa
tahun 300-an atau Pra-Copernican, bangsa kontinental Eropa melihat horizon
atau cakrawala adalah batas dunia, di mana di seberangnya terbentang jurang
yang tak terukur dalamnya, jurang neraka (inferno).
Sementara di adab bahari kita, garis horizon itu malah
menjadi simbol utama kebudayaan, dari hidup sosial hingga spiritual. Itulah
garis lurus dan datar yang menghubungkan langit dan bumi, garis yang harus
diterabas atau dijalani, untuk mencapai maqam spiritual hingga
kemungkinan-kemungkinan hidup sosial-kulturalnya. Itulah dimensi dasar
kejiwaan dan kebatinan (spiritual) masyarakat bahari, manusia yang hidup di
ratusan bandar di sekujur negeri kepulauan ini sejak dulu kala.
Dari dasar mental-spiritual itulah manusia dan kebudayaan
bahari yang berbasis kota bandar itu mengembangkan prinsip-prinsip hidupnya.
Garis lurus horizon misalnya menjadi penanda atau simbol dari hidup rakyat
bandar yang terbuka terhadap orang "lain" atau liyan (the other).
Para pelaut dan pedagang dari mancanegara berdatangan, untuk melakukan
transaksi (perdagangan) dengan rakyat setempat yang sangat terbuka dengan
kehadiran mereka. Rakyat yang open, baik masyarakatnya (society), begitu pula
secara konsekuen, hati (heart), dan pikirannya (mind).
Lebamnya persatuan bangsa
Ini penjelasan mendasar mengapa bangsa Indonesia
sebenarnya memiliki watak atau ciri atau dasar nilai hidup open-mind,
open-society, open-heart. Watak awal atau pertama itu memberi konsekuensi
lahirnya masyarakat plural, sebagai ciri/watak kedua, sekaligus multikutural
sebagai watak ketiga. Sebuah kenyataan yang tak selalu kongruen di tempat
lain. Di banyak negara Eropa, misalnya, mereka tak bisa menghindar dari
kenyataan modernnya di mana arus migrasi yang mengeras karena kemajuan
teknologi, membuat pluralisme tercipta begitu saja. Namun, apakah mereka juga
multikultural? Bahkan, Kanselir Jerman Angela Merkel, atau pemimpin Eropa
lain menyatakan, multikulturalisme sudah gagal.
Sementara multikultural dalam pengertian hidup yang saling
mengisi, bertukar adat secara simbolik dan praktis, memperkaya dan
mendewasakan (adab-budaya) itu, sudah menjadi keniscayaan bangsa bahari sejak
awal mulanya. Maka jika, ada masalah kemudian terjadi di negeri ini dalam
paham dan praksis nilai itu (sebagaimana Eropa), jelas itu bukan merupakan
ekspresi atau manifestasi dari watak/karakter atau kenyataan primordial dan
tradisi kita. Bisa dipastikan ada variabel atau vektor baru/asing yang
bermain, memanfaatkan, atau mengganggu realitas orisinal atau watak ketiga
dari bangsa kita itu.
Begitu pun pada identitas berikutnya, di mana keniscayaan
kenyataan di atas membentuk sebuah nilai yang tertanam kuat dalam diri
manusia dan masyarakat bahari, yakni egaliter (kesetaraan). Realitas natural
karakter kita yang open, plural dan multikultural di atas secara konsekuen
dan alamiah mesti didukung oleh sebuah sikap, baik secara individual maupun
komunal, yang menempatkan orang lain (liyan) dalam posisi dan kedudukan yang
sejajar atau sama dengan kita. Karena jika sebaliknya yang terjadi, hubungan
itu bersifat struktural atau dominatif, tak akan terjadi bauran bangsa yang
bahkan hingga hari ini masih terasa di banyak tempat di Indonesia. Akan
tercipta rasa enggan, rasa sungkan, bahkan konflik dalam kehidupan bandar
yang tak akan pernah sudah, seabadi konflik yang terjadi pada kota atau
negara di daratan.
Empat ciri atau watak yang turut menyusun karakter
(integritas) bangsa Indonesia di atas, sekali lagi, baru sebagian dari 40
watak yang sudah saya identifikasi dalam riset informal di atas. Dari empat
watak yang kemudian menjadi nilai bahkan norma dalam hidup-budaya kita itu,
terciptalah kemudian, secara beriringan atau sebagai konsekuensi natural dan
nurturalnya, satu watak lain yang menyatakan: "Aku tak bisa mengatakan
lain, hidupku membutuhkan (hidup)-mu". Secara fundamental, sebagai basis
praksis maupun idealistis, aku hidup karena aku diisi oleh hidup orang lain
(liyan).
Keterbukaan, pluralisme, multikulturalisme hingga nilai
kesetaraan, secara wajar membuat kita memahami diri kita bisa tegak, utuh dan
berguna karena juga diisi oleh diri orang lain. Ada kamu dalam diriku, begitu
pun sebaliknya. Tat twam asi, frasa Sanskrit, yang oleh orang Bali-Hindu
dimaknai dengan cara persis sama, dengan nilai dasar yang sama, "aku
adalah kau". Berarti, tidak mungkin ada "aku" tanpa
"kau", begitu pun sebaliknya.
Inilah nilai paling fundamental dalam program eksistensi
manusia bahari, yang bertolak belakang dengan eksistensialisme kontinental,
di mana "kamu" adalah negasiku, sainganku, musuhku, atau nerakaku
bagi pencetus filsafat Eksistensialisme, Jean Paul Sartre. Inilah juga nilai
eksistensial paling fundamental dari terciptanya dan (tetap) utuhnya bangsa
Indonesia yang terbentuk kemudian. Indonesia takkan pernah sirna, jika
manusia atau masyarakat yang memilikinya tetap mengembangkan hubungan
eksistensial semacam itu. Di mana "aku" bisa dalam bentuk individu,
tetapi juga bisa komunitas, etnik atau bangsa sekalipun.
Di titik itu, persatuan Indonesia yang sesungguhnya lebam
(dalam pengertian positifnya, seperti hukum fisika Newton misalnya), bukanlah
sebuah mukjizat, kata seorang ahli politik/agama. Persatuan yang tidak mudah
goyah atau retak (seperti "Poci" dalam puisi Goenawan Mohamad)
adalah merupakan kenyataan yang sangat historis. Kenyataan integritas
karakter bangsa (Indonesia) bahari yang sebenarnya kuat, dalam, berakar kuat
dan memiliki kebertahanan yang liat.
Dengan lima watak atau nilai dasar kebangsaan ini saja,
kita bisa mengacu hingga mengukur secara praktis bagaimana cara hidup kita
selama ini, sebagai pribadi, anggota sebuah komunitas atau anak bangsa.
Apakah lima nilai dasar itu sudah jadi bagian dari integritas diri kita,
dalam kesejukan, kearifan, dan ketenangan Ramadhan, dapat kita uji mulai dari
diri sendiri, sebelum kita menilai (judging) orang/pihak lain. Manakah dari
lima nilai dasar itu merupakan implementasi atau pengejawantahan sila-sila
Pancasila
Maka, akan tidak hanya sejuk dan indah, jika Ramadhan ini
kita isi bersama dengan refleksi dan renungan, berisi terutama otokritik
(laku yang makin langka kita lakukan, walau sebenarnya juga bagian dari 40
watak di atas), terhadap cara-cara hidup kita selama ini. Cara-cara kita
memahami atau mempraktikkan Pancasila, yang konon, menjadi ideologi atau
"harga (yang kita) mati(kan)" itu. Ramadhan (yang) Pancasilais
adalah bentuk integrasi (bukan simbiosa) dari agama dan negara yang (juga)
oleh para ahli banyak diributkan bahkan dipertentangkan. Kewargaan dan
kebatinan adalah soal biasa, lumrah, alamiah, dan niscaya dalam hidup bangsa
kita. Sejak zaman dulu, zaman nenek moyangku, "orang pelaut". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar