Air
Mata Lebaran
Indra Tranggono ; Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
|
KOMPAS, 24 Juni 2017
Jarak manusia dengan kebahagiaan, kadang terasa jauh.
Begitu juga ketika Lebaran tiba. Ia menyapa kita dengan keindahan dan
kedamaian. Namun, kuasa modal mencegat dan membentangkan jarak dengan
harga-harga.
Mahalnya biaya jasa transportasi membuat jutaan orang
berjibaku naik sepeda motor untuk mudik. Berbagai barang bergelantungan di
badan sepeda motor yang kadang dinaiki lima orang: ayah, ibu, dua bocah, dan
anak balita. Betapa mahalnya ongkos merayakan Lebaran. Tak hanya uang, tetapi
juga jiwa.
Negara mestinya menangis dan menyesali. Cara negara
menebus "dosa" sosial mestinya melalui pelayanan transportasi layak
dan terjangkau serta infrastruktur yang baik. Namun, tampaknya hal itu jauh
dari harapan. Problem transportasi dan infrastruktur tetap saja muncul setiap
Lebaran tiba.
Lebaran mahal
Sambil membayangkan wajah orangtua, sanak-saudara dan
handai taulan, jutaan manusia urban harus menempuh ratusan bahkan ribuan
kilometer untuk pulang. Kembali ke asal, ke sarang primordial penuh
kehangatan. Air mata kebahagiaan pun tumpah, mungkin saja disertai air mata
kesedihan karena "siksaan" yang dirasakan selama menempuh
perjalanan.
Lebaran jadi terasa mahal dan mewah bagi orang- orang
lemah. Banyak syarat yang harus dijawab dari soal fisik, psikologis sampai
ekonomis-finansial.
Kagak ada matinye, kata orang Betawi. Mereka mirip
tokoh-tokoh kartun, selalu terbanting-banting tetapi tetap hidup, selalu
tertawa dan tetap eksis. Perbedaan nasib baik dan buruk jadi sangat tipis.
Kesialan dan kebuntungan luluh dalam jiwa, menjadi energi sintasan (daya
tahan hidup) yang tiada tara. Karena itu, perjalanan menggapai kebahagiaan
Lebaran yang sarat ujian, bagi mereka terlalu kecil.
Namun, Lebaran tak hanya bicara soal kekayaan hati,
ketangguhan mental, dan kekuatan spiritual, tetapi juga pemenuhan syarat
ekonomis-finansial. Nah, inilah masalahnya. Tidak semua pemudik, orang urban
memiliki privilese bernama tunjangan hari raya (THR).
Para pegawai negeri bisa menatap Lebaran dengan mata
terang: ada gaji ke-13 yang jadi logistik cadangan. Para karyawan swasta bisa
menebar senyum lebar karena perusahaan tempat mereka kerja memberikan uang
tunjangan. Namun, jutaan orang urban yang hidup di luar struktur dan lembaga,
mau minta THR kepada siapa?
Minta THR kepada wakil rakyat? Itu tak ada regulasi dan
mekanismenya, bung. Dan, sejak kapan wakil rakyat bermurah hati kepada
pihak-pihak yang mereka wakili? Bukankah mereka sendiri masih merasa kurang
sejahtera di tengah limpahan uang gaji dan pelbagai tunjangan jabatan lain.
Bukankah mereka kini "sedang berjuang" untuk semakin menunjukkan
eksistensinya, antara lain dengan hak angket untuk "mengoreksi"
KPK? Mereka sibuk, bahkan sangat sibuk untuk mengamankan kekuasaan dan
kepentingannya.
Absurditas
Sudah sangat lama rakyat menjadi yatim-piatu negara. Tak
punya pengayem (penjamin kesejahteraan optimal) dan pengayom (protektor).
Rakyat selalu dibiarkan bertarung dengan kekuatan modal yang mendominasi
wilayah ekonomi. Tak sedikit pun tersedia ceruk untuk hidup wajar, lumrahe
menungsa.
Rakyat miskin papa hanya bisa mengais-ais limbah pesta.
Dengan penghasilan yang luar biasa kecilnya, rakyat miskin papa dipaksa
bertahan dalam hidup berbiaya tinggi. Negara selalu menguji ketabahan rakyat
untuk bisa hidup dalam absurditas yang diciptakannya. Konstruksi absurditas
itu jauh lebih absurd daripada lakon-lakon Samuel Bechett dan Ionesco.
Namun, rakyat miskin papa selalu memiliki kebesaran jiwa.
Tak pernah merengek dan mengemis fasilitas pada negara. Rakyat menjadi sangat
tangguh justru karena kedalaman penderitaannya. Mereka jauh lebih kuat
daripada kelas sosial menengah yang manja, serba menuntut dan kalau perlu
korupsi.
Rakyat miskin-papa telah melupakan mitos-mitos tentang
perubahan. Termasuk melupakan "ratu adil" baik yang diasumsikan
dengan sistem sosial yang adil atau himpunan penyelenggara negara yang
berhati baik serta para pelaku filantropi.
Rakyat semakin meyakini, nilai-nilai "ratu adil"
itu semakin tergerus pragmatisme sempit sehingga potensi-potensi kebaikan pun
terabsorsi. Ini terjadi pada hampir semua lini kehidupan, terutama politik
dan ekonomi. Politik tidak lagi menjadi wahana pendorong perubahan yang
berpihak pada rakyat. Partai politik nyaris menjadi "kendaraan
rental" bagi para pemburu kekuasaan atau menjadi "perusahaan"
yang berideologi keuntungan.
Demi kepentingan itu, parpol bahkan tega melukai rakyat,
sang ibu kandung yang melahirkannya. Keadaan ini diperparah dengan dunia
ekonomi neo-liberal yang hanya memproduksi kerakusan dan kekejaman pada
rakyat. Ironisnya, berbagai dekadensi itu terjadi seiring riuhnya retorika
nilai-nilai Pancasila. Bagaimana mungkin nilai-nilai Pancasila yang
pro-kemanusiaan menyatu dengan neo-liberalisme yang anti-kemanusiaan?
Lebaran adalah oase spiritual dan sosial bagi rakyat
secara lintas batas (agama, suku, golongan dan ras). Dalam oase itu rakyat
menemukan kembali kemanusiaannya melalui penguatan komitmen atas nilai-nilai
kebersamaan. Negara selayaknya terpanggil menjadi regulator dan fasilitator
yang baik. Begitu juga dengan kalangan pengusaha.
Mereka semestinya bisa menempuh tindakan etis filantropis,
dengan membagi keuntungan besarnya kepada rakyat, yang selama ini menjadi
pasar potensial bagi produk-produk mereka. Jika gagasan penting itu bisa
diwujudkan, air mata rakyat tidak akan terlalu banyak tumpah di jalan-jalan.
Rakyat pun membalas negara dan budi baik pengusaha itu dengan kepercayaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar