Menemukan
Mentor
AS Laksana ; Cerpenis; Lahir di Semarang dan tinggal di
Jakarta
|
JAWA
POS, 19
Juni 2017
DI dalam cerita-cerita yang kita nikmati, baik melalui
film maupun novel, sering ada figur yang sangat penting perannya bagi tokoh
utama. Sosok penting itu ialah tokoh di dalam cerita yang menjalankan fungsi
mentor. Ia hadir untuk mendewasakan tokoh utama, menjadikannya cukup tangguh
untuk menghadapi hambatan terbesarnya nanti, membuatnya mampu mewujudkan
mimpi atau membuat perubahan atau meraih apa yang ia inginkan.
Pendekar pada film kungfu menemukan mentor, mungkin dalam
wujud orang tua sinting atau pendekar yang bertabiat angin-anginan, saat ia
mengalami kesulitan untuk mengalahkan pendekar paling jahat yang harus ia
berantas. Tanpa pertemuan dengan mentor semacam itu, ia tidak akan menjadi
sosok baru yang mampu menundukkan lawan paling tangguh.
Pemain sepak bola, pemain bulu tangkis, dan para
olahragawan memiliki pelatih, mentor pertama mereka, yang membekali
calon-calon juara itu dengan kecakapan yang memadai untuk bertarung dalam
setiap kompetisi, untuk mendapatkan tempat terbaik di lapangan yang mereka
geluti. Selanjutnya, mungkin mereka akan menemukan mentor-mentor baru –yang
memberi mereka inspirasi untuk menjadi yang terbaik atau yang mendorong
mereka melangkah jauh melampaui zona nyaman.
Setiap mentor yang baik selalu akan mendorong Anda keluar
dari zona nyaman, menikmati pengalaman baru, dan mendapatkan kecakapan baru
untuk mengatasi situasi yang lebih rumit. Ia akan menempa Anda, seperti
seorang pandai besi menempa besi-besi batangan menjadi kapak atau pedang atau
sabit. Ia bisa menjadikan Anda lebih tajam dan siap menjalankan fungsi dalam
cara yang mungkin tidak pernah Anda pikirkan saat Anda terus berkubang di
zona nyaman Anda.
Aleksander Agung memiliki mentor bernama Aristoteles.
Aristoteles memiliki mentor Plato. Plato memiliki mentor Sokrates. Oprah
Winfrey menemukan mentor yang hingga sekarang selalu ia junjung dengan rasa
hormat, ialah penyair Maya Angelou. ”Ia menemani dan membimbing saya
menjalani masa-masa yang sangat penting dalam hidup,” katanya.
Mark Zuckerberg menjadikan Steve Jobs sebagai salah
seorang mentornya. Ketika Steve meninggal pada 2011, Mark menulis di halaman
Facebook-nya: ’’Steve, terima kasih sudah menjadi mentor dan sahabat saya.
Terima kasih sudah menunjukkan bahwa apa yang kau bangun bisa mengubah
dunia.’’
Hemingway memiliki banyak mentor yang membimbingnya
menjadi penulis besar. Pulang dari Italia setelah menyelesaikan urusannya
sebagai sopir ambulans pada Perang Dunia I, Hemingway kembali menjalankan
pekerjaannya sebagai wartawan. Namun, itu bukan pekerjaan yang ia ingin
jalani seumur hidup; ia kemudian memutuskan menjadi penulis. Yang ia pikirkan
kali pertama adalah mencari penulis yang bisa ia jadikan mentor. Maka, ia
pergi ke Chicago mengunjungi Sherwood Anderson, penulis paling populer di
Amerika pada masa itu, dan menanyakan apa yang harus ia lakukan untuk menjadi
penulis.
”Pergilah ke Paris,” kata Anderson. ’’Orang-orang paling
menarik di dunia ini berkumpul di sana.’’
Ia berangkat ke Paris menuruti saran tersebut, berguru
kepada ’’orang-orang paling menarik” yang ia temui di sana, dan selanjutnya
mengubah diri dari seorang wartawan muda menjadi ”Papa” –salah satu penulis
paling berpengaruh di abad ke-20.
Semasa SMA, saya terpukau pada semua cerpen dalam kumpulan
cerita Orang-Orang Bloomington dan ingin sekali berjumpa dengan penulisnya
(Budi Darma), membungkukkan badan serendah-rendahnya, dan jika perlu menangis
sesenggukan agar diangkat sebagai muridnya. Hal serupa saya ingin lakukan
terhadap Umar Kayam setelah saya membaca Sri Sumarah dan Bawuk.
Kadang-kadang saya melamun tengah malam dan membayangkan
bercakap-cakap dengan Budi Darma, kadang-kadang membayangkan bercakap-cakap
dengan Umar Kayam. Setiap kali menemukan tulisan mereka di koran atau
majalah, saya sangat bahagia, seperti berjumpa dengan kakek pencerita yang
saya tunggu-tunggu.
Saya tidak memiliki keberanian seperti Hemingway terhadap
Anderson untuk menemui kedua penulis yang saya kagumi dan menanyakan apa yang
harus saya lakukan agar bisa menjadi penulis yang bagus. Saya hanya pernah
menanyakan sekali kepada Pramudya Ananta Toer ketika bertemu dengannya untuk melakukan
wawancara dan ia menjawab, ”Ya, menulis saja.” Itu jawaban yang nantinya
kerap saya dengar dari orang-orang lain, ’’Kalau mau jadi penulis, ya menulis
saja.’’
Saya yakin saran itu, jika dituruti, akan menghasilkan
penulis yang rajin menulis, dengan karya yang kurang lebih begitu-begitu
saja, tetapi memiliki kepercayaan diri yang menjulang. Dan, para penulis yang
biasa-biasa saja akan menularkan ajaran ”ya menulis saja” itu kepada
orang-orang di bawahnya yang ingin menjadi penulis.
Sekarang, dengan beberapa helai rambut yang sudah berubah
menjadi uban, saya merasakan dorongan tak terkendali untuk memiliki mentor.
Saya ingin berguru kepada semua penulis yang saya kagumi karya-karyanya. Saya
ingin berguru kepada Kafka, kepada Borges, Hemingway, Tolstoy, Anton Chekhov,
Gabriel Garcia Marquez, Jaroslav Hasek, Dostoevsky, Charles Dickens, John
Steinbeck. Namun, semua sudah meninggal. Orang-orang yang saya inginkan
sebagai mentor semuanya sudah tidak lagi menjadi penduduk bumi.
Untung, mereka meninggalkan karya-karya bagus. Jika kangen
kepada mereka, saya bisa membaca buku-buku mereka dan membayangkan sedang
mendengar mereka mendongeng. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar