DPR
Mereksaminasi KPK
Siti Marwiyah ; Wakil Rektor I Universitas dr Soetomo Surabaya
|
JAWA
POS, 23
Juni 2017
SETELAH agak reda, kembali DPR membuat suhu perpolitikan
dan dunia hukum menjadi panas. DPR kini justru menampakkan sikap politiknya
yang makin keras terhadap KPK. DPR akan memaksa jika KPK tidak mau diatur.
Opsi hak angket terhadap KPK digunakan DPR. Kalau semula
hanya beberapa pimpinan yang menyetujui, belakangan mulai ada kecenderungan
kompromi dengan sejumlah anggota untuk bersama-sama ’’mengadili” KPK.
Sudah banyak penilaian yang ditujukan pada sikap politik
DPR itu. Pengamat hukum tata negara Denny Indrayana menilai, penggunaan hak
angket oleh DPR merupakan modus baru untuk melemahkan KPK.
Apa yang dilakukan DPR terhadap KPK memang bisa melemahkan
lembaga antirasuah tersebut. Pasalnya, DPR mempunyai kekuatan politik untuk
mengubah aspek-aspek strategis di negeri ini. Katakanlah jika DPR memaksakan
mengubah beberapa pasal yang mengatur atau menghilangkan beberapa kewenangan
strategis KPK, KPK bisa kehilangan peran istimewanya.
Menyikapi ancaman serius terhadap peta politik
pemberantasan korupsi itu, pertama, DPR semestinya memahami histori
didirikannya KPK. KPK didirikan atas inisiatif DPR sendiri guna memenuhi
agenda reformasi di bidang ’’tata kelola” penegakan hukum di Indonesia,
khususnya di ranah pemberantasan korupsi.
Konsideran UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan, dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasar Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan
tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan
secara optimal. Karena itu, pemberantasan tindak pidana korupsi perlu
ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena
korupsi telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat
pembangunan nasional.
Pertimbangan itu menunjukkan bahwa berdirinya KPK
disebabkan institusi yudisial lain di luar KPK yang menangani perkara tindak
pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien. KPK dibentuk untuk
menjadi semacam ’’pembakar semangat” kinerja aparat penegak hukum lainnya supaya
’’menusantarakan” pemberantasan korupsi.
Kedua, KPK harus diproteksi kinerjanya supaya menjadi
lembaga peradilan yang benar-benar independen dan merdeka dari kekuasaan atau
pengaruh apa pun, termasuk pengaruh DPR. Itu artinya, DPR terlarang memasuki
ranah kinerja KPK karena KPK menjalankan amanat yudisial.
DPR memang pembentuk hukum (badan legislatif). Akan
tetapi, yang dilakukan KPK adalah menjalankan peran yudisial yang
berkedudukan sebagai mitra eksekutif dan legislatif, yang masing-masing pihak
dituntut saling menghormati independensi kinerjanya.
Dalam pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002, secara tidak
langsung DPR diingatkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga
negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas
dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Ketiga, DPR selaku pilar negara seharusnya memahami bahwa
ancaman yang berpola menghancurkan atau memberangus Indonesia sebagai negara
hukum jelas salah satunya datang dari koruptor. Tidak ada koruptor yang
menginginkan Indonesia ini menjadi negara yang kuat.
Mereka mestilah selalu menginginkan Indonesia ini lemah di
sana-sini supaya bisa dikorupsi sumber daya fundamentalnya dengan cara-cara
yang gampang. Koruptor tidak hanya ahli memanfaatkan kelemahan bangsa, tetapi
juga menciptakan banyak kelemahan, khususnya di lini birokrasi atau
struktural, agar bisa digunakan sebagai sumber melancarkan dan melestarikan
pola-pola penyalahgunaan amanat.
Semestinya DPR dapat membaca dengan gamblang bahwa
ekspektasi publik terhadap KPK yang sangat besar membuat para koruptor tidak
bisa menerima. Koruptor tentu saja tidak menginginkan ada lembaga pemberantas
korupsi yang tangguh. Yang diinginkannya (koruptor) adalah lembaga
pemberantas yang lembek atau tidak mempunyai daya untuk menghancurkan
dirinya.
Itulah yang membuat koruptor akan terus berupaya membuat
KPK menjadi lemah. Segala bentuk pelemahan harus dilakukannya supaya KPK
tidak bernyali dan gagal memasuki zona-zona korupsi.
’’Kalau masih ingin melihat negara ini selamat dan
menghidupkan keadaban, serta keadilan, jangan khianati prinsip kejujuran dan
independensi dalam dunia peradilan’’ (Monash, 2013) adalah kritik radikal
terhadap setiap pilar negara, khususnya DPR, supaya tetap menjaga komitmennya
dalam melawan atau menghadapi siapa yang bermasalah dengan korupsi, dan bukan
sebaliknya, memberi jalan bagi korupsi untuk menghancurkan negeri ini
Keempat, KPK mestilah sudah paham bahwa kinerja KPK yang
berimplikasi pada penyelamatan kekayaan negara sangat besar. Sampai 2015 saja,
sudah Rp 294 triliun uang negara yang bisa diselamatkan KPK dari koruptor.
Penyelamatan yang dilakukan KPK itu menunjukkan bahwa
kehadiran KPK telah memberikan manfaat riil terhadap proteksi sumber daya
ekonomi bangsa. Kalau uang begitu banyak tidak bisa dikembalikan lagi menjadi
kekayaan negara, kerugian besarlah yang mengancam masa depan bangsa.
Uang yang diselamatkan KPK itu bisa digunakan untuk
pembiayaan kepentingan fundamental rakyat di berbagai sektor strategis
seperti peningkatan layanan kesehatan, kualitas pendidikan ’’wong cilik”, dan
pembebasan sebagian tenaga kerja dari ancaman pengangguran.
Kelima, jati diri atau konstruksi konstitusionalitas
Indonesia sebagai negara hukum jelas terancam. Potret negara hukum itu
terbaca melalui institusi yang menjalankan norma-normanya. Ketika institusi
ini gagal menjalankan, kesalahan utama jelas ditanggung negaranya.
DPR itu identik dengan negara hukum. DPR punya kewenangan
memproduk atau membentuk hukum, termasuk dalam mengarsiteki secara yuridis
lahirnya KPK. Kalau kemudian DPR sampai mempreteli kewenangan KPK, apa yang
dilakukannya tidak ubahnya dengan memberangus kesejatian Indonesia sebagai
negara hukum.
DPR seharusnya bangga kalau ’’ciptaannya” bernama KPK
telah atau berupaya keras menunjukkan kinerja terbaiknya. Itu artinya,
kinerja DPR dalam menjaga konstitusionalitas Indonesia sebagai negara hukum
sudah direpresentasi KPK.
Lima hal tersebut seharusnya menjadi pertimbangan DPR
untuk memproteksi KPK, bukannya memberikan beragam intervensi politik yang
bermuatan menodai atau membuatnya (KPK) kehilangan independensinya. KPK
semestinya didukung supaya dari waktu ke waktu bisa memberikan nilai-nilai
progresivitas untuk bangsa dan negara ini.
Kalau kemudian ada sejumlah anggota dewan dari pusat
hingga daerah yang tertangkap tangan oleh KPK, semestinya ini memberikan
kebanggaan tersendiri bagi DPR, bahwa ternyata independensi dan kemerdekaan
KPK tidak terganggu siapa pun, termasuk kekuatan politik parlemen.
Sikap politik seperti itu juga akan membuat DPR disambut
rakyat sebagai representasi kekuatan rakyat yang akuntabel dan berintegritas.
Pasalnya, DPR mendesain dirinya sebagai institusi yang tidak mengandalkan
imunitas ketika elemennya bersalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar