Yang
Tak Bisa Membunuh KPK
Akan
Membuatnya Lebih Kuat
Jamil Massa ; Menulis puisi, cerita pendek, dan esai;
Tinggal di Gorontalo
dan mengagumi Tyrion Lannister
|
DETIKNEWS, 19 Juni 2017
Gadis kecil itu sedang ogah-ogahan berlatih pedang.
Seorang kawan, yang juga pengawal ayahnya, baru saja tewas dalam suatu
bentrokan melawan keluarga Lannister. Ayahnya sendiri, Eddard Stark, ikut
terluka. Keluarga Stark dan Lannister memang sudah tidak akur sejak lama.
Dan, gadis kecil itu merisaukan keselamatan ayahnya.
Namun, rusaknya suasana hati seorang murid tidak boleh
menjadi alasan guru libur mengajar, begitu pikir Syrio Forel. Guru pedang
yang eksentrik itu memaksa Arya Stark, sang cantrik mengangkat
pedang-pedangan kayunya. Mereka harus tetap berlatih dalam kondisi apa pun.
Syrio menuntut Arya belajar fokus pada pertarungan. Menjaga pikiran tetap
dalam keadaan bebas beban saat berhadap-hadapan dengan lawan.
"Jika kau bersama masalahmu ketika pertarungan sedang
berlangsung, maka akan ada lebih banyak masalah untukmu," nasihat Syrio
di sela-sela latihan.
Pertarungan pedang adalah sebuah seni bela diri. Sebuah
usaha untuk menjaga nyawa tetap dikandung badan. Syrio lantas mengetes,
"Kau menyembah dewa yang mana?"
"Dewa-dewa yang lama, dan dewa-dewa yang baru,"
jawab Arya.
"Hanya ada satu dewa yang nyata," tukas Syrio,
"Namanya Kematian, dan hanya ada satu hal yang harus kita katakan
kepadanya: tidak hari ini."
Tak Putus Dirundung Malang
Dialog itu muncul dalam musim pertama serial Game of
Thrones, drama peplum produksi HBO yang diangkat dari novel berjudul A Song
of Ice and Fire karangan novelis Amerika Serikat, George R.R. Martin. Tayang
sejak April 2011, serial ini sedang menanti musim ketujuhnya, dan pertikaian
antarklan bangsawan di antara dua benua rekaan, Westeros dan Essos, memasuki
babak baru.
Para penonton terbelah. Klan Stark yang menjadi tempat
Arya menginduk bisa dikatakan memiliki banyak simpatisan. Kemalangan demi kemalangan,
yang mengubah Stark dari wangsa paling berkuasa di Utara Westeros menjadi
keluarga yang berpesai-pesai seperti kain tua, memancing siapa pun terharu
dan memberi dukungan dari depan layar kaca.
Rangkaian tragedi dimulai ketika Eddard Stark dicurangi
musuh-musuh politiknya, lalu dituduh jadi pengkhianat negara dan dipancung di
alun-alun ibukota. Catelyn Stark, sang istri, disayat lehernya saat
menghadiri sebuah pernikahan. Robb Stark, putera sulungnya, tewas ditikam di
ulu hati. Talisa Stark, istri Robb, ditikam dalam keadaan hamil muda.
Terakhir, Rickon Stark, si bungsu, tewas dipanah dari belakang.
Yang tersisa pun hidup tak kalah malangnya. Jon Snow si
anak tiri ditikam bergantian oleh anak buahnya sendiri sebelum dihidupkan
kembali oleh sebuah mantra kuno. Sansa Stark, puteri kedua, dua kali dipaksa
menikah; pertama dengan lelaki katai yang tak ia cintai, kedua dengan lelaki
penyiksa yang juga tak ia cintai.
Bran Stark, anak ketiga, harus berkelana dalam kelumpuhan,
kesepian, dan mimpi-mimpi buruknya sendiri. Sementara Arya Stark, puteri
keempat, harus mengendap-endap sampai ke kota-kota yang jauh untuk
menghindarkan diri dari orang-orang yang ingin mencelakainya.
Meski harus melewati tahun-tahun yang rengsa, kadar
ketabahan para Stark tak pernah susut. Perlahan mereka bangkit, memunguti
remah-remah dukungan dari klan-klan yang tersebar di wilayah utara, kemudian
merebut kembali kastil mereka untuk bersiap dengan perang lain yang telah
membayang.
'Ketabahan' adalah satu kata kunci mengapa serial ini
begitu digandrungi bahkan oleh para pesohor dunia, dari Barack Obama sampai
Chris Martin. Kata kunci yang lain adalah 'kelicikan' yang lekat dengan
keluarga Lannister, serta 'kharisma' yang identik dengan keluarga Targaryen.
Dalam satu dan lain bentuk, ketabahan keluarga Stark
mengingatkan saya pada upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Betapa tabah
negeri ini hidup dalam guncangan kasus-kasus korupsi berskala besar; naik
turun dalam daftar peringkat negara terkorup; dan lembaga pemberantas korupsinya
berulangkali dilemahkan.
Korupsi menjadi musuh bersama, tapi cuma dalam bentuk
wacana di permukaan. Sementara di kedalaman, berbagai muslihat dan modus
operandi direncanakan untuk merayakan rasuah. Fakta-fakta disembunyikan dan
dikaburkan, sehingga upaya pemberantasan korupsi berjalan terbentur-bentur
seperti seorang penderita rabun ayam.
Setiap kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangani
kasus besar, baik itu yang melibatkan politisi, pejabat, maupun swasta,
selalu saja ada sandiwara aneh yang dipentaskan di Jakarta. Pada 2009, saat
bau sangit kasus Century mulai menggoyang kesadaran publik, ditangkaplah
Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dua pimpinan KPK waktu itu, dengan
sangkaan penyalahgunaan wewenang.
Pada 2015, lagi-lagi dua pimpinan KPK, Abraham Samad dan
Bambang Widjojanto, serta seorang penyidik, Novel Baswedan dijerat kasus yang
berbeda-beda. Abraham atas kasus pelanggaran Pasal 36 Ayat (1) junto Pasal 66
UU No 30 tahun 2002 terkait pertemuannya dengan petinggi PDIP, dan satu kasus
pemalsuan dokumen kependudukan yang terlalu imut serta kurang gawat bila
dibandingkan dengan kasus-kasus korupsi yang ditangani Abraham.
Bambang disangka mengarahkan saksi memberi keterangan
palsu pada sidang sengketa pilkada Kotawaringin Barat di Mahkamah Konstitusi.
Sementara Novel Baswedan dijerat dengan kasus penganiayaan saat menjabat
Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Bengkulu. Bambang dengan kasus
berumur 5 tahun. Novel dengan kasus berumur 11 tahun! Dan, kasus-kasus ini
ditangani setelah KPK berupaya mengusut kasus rekening gendut Polri dan
Simulator SIM.
Yang terbaru, di awal Mei lalu, atas usul lima fraksi,
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) membentuk Panitia Khusus (Pansus) angket KPK.
Ini menyusul pengusutan kasus korupsi KTP Elektronik yang diduga menimbulkan
kerugian negara sebesar Rp 2,55 Triliun; meskipun DPR kerap menampik
relevansi dua kejadian ini.
Apapun itu, setelah melalui sebuah kajian ilmiah, 132
pakar hukum tata negara, termasuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud M.D
telah mengeluarkan fatwa bahwa pengajuan hak angket kepada KPK kali ini cacat
hukum. Namun, DPR tak menggubris hasil kajian itu. "Enggak ada urusan,
jalan terus…" kata ketua Pansus Agun Gunandjar Sudarsa.
Dihujani hook dan jab ganas bertubi-tubi, kelihatannya
ajaib melihat KPK tak terkanvaskan sampai hari ini. Namun, itu bukan hal
mustahil sebab sejak jauh-jauh hari Friedrich Nietzsche sudah mengatakan:
"That which does not kill us, makes us stronger." Apa yang tidak
bisa membunuh kita, akan membuat kita lebih kuat. KPK dapat pula belajar dari
keluarga Stark, yang begitu tabah dalam bertahan dan melawan.
Ketabahan yang Terukur
Di antara semua kualitas ketabahan yang ditunjukkan
keluarga Stark, ketabahan milik Arya adalah yang paling menarik. Pertama, ia tumbuh
besar dalam lingkungan berubah-ubah yang tidak terlindungi. Jauh berbeda
misalnya dengan saudarinya Sansa yang meskipun berstatus tawanan, hidup dalam
kemewahan dan perlindungan kerajaan. Faktor lingkungan ini yang kemudian
mengeraskan tekad dan jiwa Arya, sekaligus memperluas wawasan dan mengasah
kemampuannya dalam bertahan hidup.
Kedua, adalah keterukurannya. Secara sederhana, ketabahan
Arya Stark adalah ketabahan yang terukur. Ia memiliki daftar prioritas berisi
nama orang-orang yang kepada mereka ia hendak membuat perhitungan.
Mencentangi satu per satu nama-nama dalam daftar itulah yang ia anggap
sebagai tujuan terpenting dalam hidupnya.
Dan sebaliknya, mengingat bagaimana ayah, ibu, dan
saudara-saudaranya, Arya Stark mengerti bahwa untuk membalas dendam
pertama-tama ia harus menjaga nyawanya sendiri tak enyah dari badan. Dengan
modal dendam dan nyawa ia menyusun rumusannya sendiri soal siapa kawan siapa
lawan. Kapan harus berbelas dan kapan berkonfrontasi tanpa ampun. Mana
keahlian yang berguna dan mana omong kosong yang buang-buang waktu.
Ketika ditolak memasuki House of Black and White, ia menunggu di depan pintu. Gedung itu
adalah tempat yang ciamik untuk belajar seni menyamar dan membunuh. Namun,
penghuni gedung menolak kedatangan Arya. Maka ia pun menunggu, dalam lapar
dan hujan.
Sekilas adegan itu akan mengingatkan kita pada
sinetron-sinetron romantis atau melodrama Korea; seseorang akan terus menanti
sebelum pintu dibukakan. Namun, Game of Thrones bukan drama semacam itu. Arya
tabah menunggu, tapi ketabahannya terukur. Cuma sehari semalam, sebelum ia
kemudian meninggalkan tempat itu, dan memutuskan untuk mencari keahlian lain
yang lebih menghargai hasrat kesumatnya.
Itulah sikap yang membuat penonton mudah jatuh cinta pada
Arya Stark. Dalam pemeringkatan yang dibuat situs ranker.com, Arya Stark
menempati posisi nomor 2, hanya kalah dari Daenerys Targaryen.
Namun popularitas, dengan segala biasnya, kita tahu,
bukanlah makanan bergizi bagi otot-otot perjuangan, termasuk perjuangan
melawan korupsi. Pun nasib tidak ditentukan oleh besar kecilnya dukungan
penonton, sebagaimana ditunjukkan dengan sangat menggemaskan oleh George R.R.
Martin, yang gemar membunuh setiap tokoh favorit dalam setiap seri bukunya.
Mengingat itu, maka hal yang paling penting untuk dijaga
KPK adalah nyawanya sendiri, yang tak lain adalah semangat menyelamatkan
bangsa dan negara dari kejahatan korupsi. Lalu identifikasilah siapa kawan
siapa lawan, kapan harus berbelas dan kapan berkonfrontasi tanpa ampun, mana
keahlian yang berguna dan mana omong kosong yang buang-buang waktu.
Selama KPK tetap bertahan dan melawan, seraya berpegang
kuat pada tujuan yang benar, persepsi publik terhadapnya tidak akan pernah
rusak. KPK tidak perlu khawatir kekurangan dukungan. Orang-orang akan tetap
berdiri, bukan hanya di belakang, tapi di depan dan di sekelilingnya. Mereka
akan senantiasa bergandengan tangan menghadapi kaki tangan koruptor yang
hendak jadi dewa kematian.
Lalu, kepada para dewa kematian palsu itu, hanya ada satu
hal yang harus dikatakan: "Tidak hari ini!" ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar