Langkah
Presiden Jokowi
Zainal Arifin Mochtar ; Pengajar Ilmu Hukum dan
Ketua PuKAT Korupsi FH UGM
|
KOMPAS,
20 Februari 2015
Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya Presiden Joko
Widodo mengambil langkah dalam menyelamatkan pemberantasan korupsi yang
nyaris lumpuh. Presiden mengambil langkah cepat yang berisi tiga hal.
Pertama, tidak melanjutkan proses terhadap Budi Gunawan
(BG), serta mengajukan kandidat baru yang akan dikirimkan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan. Kedua, menerbitkan keputusan
presiden untuk memberhentikan sementara para komisioner Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang telah menjadi tersangka. Ketiga, untuk menghindari
kekosongan pimpinan KPK, dikeluarkanlah peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(perppu) untuk melegalkan pengisian jabatan pelaksana tugas komisioner KPK
yang dalam keadaan berhalangan.
Tawaran solusi Presiden ini tentu saja menarik mengingat
langkah ini sudah sekian lama ditunggu dan dinantikan publik. Gugatan untuk
segera mengambil langkah cepat untuk hal ini sesungguhnya telah didengungkan
sekian lama. Ada beberapa langkah yang telah diambil, tetapi tanpa efek
berarti. Dan, kali ini, langkah tersebut punya efek yang jauh lebih besar
dibandingkan sekian langkah yang diambil selama ini.
Ada daripada tiada
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penegas bahwa langkah
kali ini jauh lebih berarti dibandingkan apa yang dilakukan Jokowi selama
ini. Pertama,
akhirnya Presiden Jokowi menegakkan moralitas publik untuk tidak melantik seseorang
yang penuh kontroversi dengan perkara korupsi. BG, meski telah memenangi
praperadilan, tetap tidak berarti bebas dari perkara korupsi. Putusan aneh
praperadilan dari hakim Sarpin Rizaldi sesungguhnya tidak berarti banyak
terhadap kasus korupsi yang disangkakan atas BG. Putusan
praperadilan, sederhananya, hanya menegaskan bahwa KPK tidak memiliki
kewenangan untuk mengerjakan kasus BG oleh karena BG bukanlah penyelenggara
negara, juga bukan penegak hukum, dan tindakannya tidaklah merugikan keuangan
negara.
Putusan ini tentu saja aneh. Bagaimana
mungkin BG tidak dianggap sebagai penegak hukum? Akan tetapi, bunyi putusan
tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan dasar bahwa BG bersih dari perkara
korupsi. Lagi-lagi, hanya persoalan tidak dapat ditangani oleh KPK. Oleh
karena itu, langkah Jokowi untuk tetap tidak melanjutkan proses atas BG serta
mendorong Badrodin Haiti (BH) tentu saja merupakan langkah yang sangat
menarik.
Dengan langkah itu, tentu saja Presiden akan berpotensi
berhadapan dengan kekuatan politik di DPR. Sesuatu yang sebenarnya dapat
dipertanggungjawabkan Presiden dengan gambaran yang disampaikan di atas.
Presiden tentu tak perlu gentar dan khawatir dengan berbagai usulan liar yang
mungkin terjadi. Bisa jadi Presiden dianggap melanggar etika politik di hadapan DPR. Namun, paling
tidak Presiden telah menegakkan etika publik.
Tidak hanya itu, Presiden juga tak perlu khawatir dengan
ancaman pemakzulan. Sulit menemukan alasan hukum yang benar untuk dapat
dikatakan tindakan itu adalah gerbang menuju ke pemakzulan. Apakah bisa
menuju ke arah interpelasi dan hak menyatakan pendapat? Tentu saja mungkin.
Tetapi, rasanya, mustahil untuk berlanjut ke arah pemakzulan.
Karena itu, pada langkah inilah apresiasi besar harus
diberikan kepada Jokowi. Tinggal diikuti dengan tindakan penegas dari Jokowi
untuk meyakinkan kekuatan politik untuk tidak mengonsolidasikan ini menjadi
hal-hal yang berpotensi menuju pemakzulan. Persoalan tersisa tentu saja soal
rekam jejak BH sendiri. Sejauh mana kapasitas BH dapat mengendalikan
kepolisian dan bersih dari berbagai perkara koruptif.
Kedua, mengeluarkan keppres
pemberhentian sementara untuk komisioner KPK yang telah menjadi tersangka. Tindakan ini tentu saja masih mungkin untuk
dipertanyakan. Mengingat masih ada keyakinan proses yang terjadi atas dua
komisioner KPK itu adalah kriminalisasi dan bukan proses hukum biasa yang
adil dan benar. Pesannya adalah betapa mudahnya komisioner KPK dapat
ditersangkakan melalui tindakan hukum yang tidak adil.
Namun, dalam kondisi ini, Presiden Jokowi memang ada pada
posisi sulit. UU KPK telah menegaskan bahwa komisioner yang menjadi tersangka
harus diberhentikan sementara sebagai komisioner KPK, serta dikeluarkan
keppres untuk legalisasi dari proses pemberhentian sementara tersebut.
Artinya, dalam hal ini, pilihan buat Presiden memang sempit. Menerbitkan
keppres pemberhentian seakan-akan menjadi kewajiban administrasi setelah
komisioner tersebut menjadi tersangka.
Dahulu, Tim Sembilan seharusnya ditujukan
untuk ini. Melakukan independenisasi proses dan mencari cara untuk melihat
dan memverifikasi apakah ada kriminalisasi atau tidak. Sayangnya, itu tak terbentuk.
Karena itu, keppres pemberhentian sangat disayangkan meski sangat dapat
dimengerti. Sayang karena ada, tetapi mustahil ditolak.
Ketiga, harus diingat, langkah keppres
pemberhentian ini punya implikasi dengan kekosongan jabatan komisioner.
Karena itu, tindakan ketiga menjadi sangat penting, yakni Perppu Perubahan
atas UU KPK agar dalam kondisi terjadi kekosongan yang menyebabkan komisioner
berjumlah kurang dari tiga orang, dimungkinkan adanya penunjukan komisioner
sementara KPK hingga adanya proses seleksi reguler.
Alasannya tentu saja terkait KPK tak mungkin dibiarkan tak
dapat berjalan karena ketiadaan komisioner. Langkah
ini bukan berarti tanpa kritikan oleh karena dapat membuka intervensi
Presiden terhadap lembaga negara independen seperti KPK. Akan tetapi, memang
sulit karena kondisi yang ada tak memungkinkan diadakannya proses pemilihan.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa langkah ini adalah
langkah minimalis, tetapi sangat penting untuk dilakukan. Lebih baik ada
langkah daripada tanpa langkah sama sekali. Apalagi langkah tersebut memang
penting, walaupun tentu saja tidak berarti tanpa kritikan dan catatan.
Perlindungan
Sayangnya, tindakan ini masih akan dapat menemui jalan
buntu jika tidak diikuti tindakan perlindungan lainnya yang sangat penting
menyelamatkan pemberantasan korupsi dan KPK. Harus diingat, salah satu alasan
ini terjadi karena adanya dugaan kriminalisasi yang terjadi atas para
komisioner KPK dan penyidik KPK. Dua komisioner yang masih ada adalah dua
orang yang telah dilaporkan pada kasus tertentu. Bahkan, salah satu
sosok pemimpin sementara juga adalah orang yang memiliki laporan di
kepolisian, yang telah melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum.
Oleh karena itu, jika proses-proses kriminalisasi dan
dengan mudahnya menersangkakan komisioner KPK, masih akan mungkin berlanjut
dan merusak kerja KPK. Bayangkan, bisa-bisa yang terjadi adalah Presiden dipaksa
untuk mengeluarkan pimpinan sementara atas
pimpinan sementara. Khususnya jika pimpinan sementara ini kemudian
juga mengalami kriminalisasi.
Bukan hanya itu, keberlanjutan KPK dan masa depan
pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemampuan komisioner secara
kolektif dan kerja sama dengan penyidik dan berbagai staf internal di KPK. Ada 21 penyidik KPK yang sangat mudah ditersangkakan
oleh Polri melalui proses hukum kepemilikan senjata secara tidak sah. Jika yang
terjadi seperti saat ini berlanjut, yakni proses menersangkakan bukan hanya
atas komisioner melainkan juga penyidik, akan sangat mungkin mengganggu KPK
meskipun telah ada komisioner sementara.
Artinya, langkah Presiden ini merupakan
langkah baik. Better something than nothing. Paling
tidak ada langkah yang dipakai meneguhkan KPK dan pemberantasan korupsi. Akan
tetapi, akan jauh lebih baik lagi kalau dapat
dilanjutkan dengan tindakan penegasan upaya mengakhiri kriminalisasi.
Ini supaya langkah Presiden dapat berguna dengan baik dan tujuannya dapat
tercapai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar