Kompolnas
dan Pengusulan Kepala Polri
Adrianus Meliala ; Kriminolog FISIP UI;
Komisioner Kompolnas
|
KOMPAS,
20 Februari 2015
Di sela-sela ramainya drama pencalonan Komisaris Jenderal
Budi Gunawan sebagai Kepala Polri yang ditersangkakan, tetapi kemudian menang
di sidang praperadilan, ada kalangan yang mempertanyakan kewenangan
Kompolnas.
Sebagaimana diketahui, sejak muncul sinyal bahwa Presiden
Joko Widodo akan mengganti Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman, Komisi
Kepolisian Nasional segera bersiap-siap mengajukan lima nama. Secara amat
cepat, Jokowi kemudian memilih salah satunya, yaitu Budi Gunawan, yang
belakangan ditersangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketika kembali muncul sinyal bahwa Jokowi tak ingin
melantik Budi Gunawan, kembali Kompolnas mempersiapkan beberapa calon untuk
diusulkan kepada presiden. Kriterianya tetap sama, yakni terkait pangkat,
jabatan, sisa masa dinas, pengalaman memimpin Polda tipe A, dan juga angkatan
semasa belajar di Akademi Kepolisian.
Menariknya, pemerintah hanya mendengar usulan Kompolnas
tanpa—pada waktu yang sama atau berbeda—meminta usulan dari kalangan internal
Polri. Ini berbeda dengan situasi masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono,
di mana usulan Kompolnas ketika itu dikesampingkan dan usulan Dewan Jabatan
dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti) justru didahulukan.
Hal ini memunculkan semacam kecemburuan serta upaya untuk
mematahkan pandangan selama ini bahwa Kompolnas adalah pihak yang menjadi
pengusul calon Kepala Polri. Menurut pandangan itu, pengusul nama sebaiknya
Wanjakti, sedangkan Kompolnas hanya berfungsi sebagai pemberi pertimbangan
atas nama yang diusulkan.
Bunyi pasal
Jika melihat UU No 2/2002 tentang Kepolisian, khususnya
Pasal 38 huruf b, dijelaskan bahwa Komisi Kepolisian Nasional bertugas
memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian
Kepala Polri. Adapun tentang calon Kepala Polri diatur dalam Pasal 11 butir
6, di mana calon Kepala Polri adalah perwira tinggi Polri yang masih aktif
dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier.
Melihat bunyi UU di atas, argumen sementara pihak bahwa
Kompolnas tidak mengusulkan nama calon Kepala Polri memang memiliki basis.
Namun, lihatlah turunan dari UU No 2/2002, yakni Keputusan Presiden No
17/2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.
Pada Pasal 4 huruf b kembali dinyatakan tugas Kompolnas,
memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian
Kepala Polri. Namun, terdapat Pasal 6 yang menyebutkan bahwa dalam
menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, Kompolnas
memberikan pertimbangan kepada Presiden atas hasil pemantauan dan evaluasi
kinerja terhadap (huruf b) perwira tinggi Polri dalam rangka memberikan
pertimbangan pengangkatan calon Kepala Polri.
Ketentuan ini dengan demikian sudah mengarah kepada orang
yang akan dipantau oleh Kompolnas sendiri dan akan dievaluasi kinerjanya.
Selanjutnya, akan semakin jelas bahwa Kompolnas berwenang
mengusulkan orang yang akan menjadi calon Kepala Polri apabila dilihat dari
kesepakatan bersama antara Polri dan Kompolnas No B/24/IV/2012 dan No
01/IV/2012/Kompolnas tentang Kerja Sama dan Hubungan Tata Cara Kerja
Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Kompolnas tertanggal 5 April
2012.
Pada Pasal 6 Ayat 1 dari kesepakatan itu disebutkan, dalam
melaksanakan tugas untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam
pengangkatan Kepala Polri, Kompolnas memberikan pertimbangan atas dua hal:
(a) perwira tinggi Polri yang memenuhi kriteria sebagai calon Kepala Polri
dan (b) hasil pemantauan serta evaluasi atas kinerja dan integritas calon
Kepala Polri.
Selanjutnya, pada Ayat 3 dinyatakan, dalam memberikan
pertimbangan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1, dilaksanakan dengan ketentuan
bahwa Kompolnas dapat meminta masukan dari Kepala Polri untuk melengkapi
kriteria calon Kepala Polri, hasil pemantauan serta evaluasi kinerja dan
integritas perwira tinggi Polri yang memenuhi persyaratan untuk menduduki
jabatan Kepala Polri.
Melalui Pasal 6 tersebut, dapat diartikan bahwa Kompolnas
memberikan pertimbangan atas nama-nama tertentu yang telah diketahui oleh
Kompolnas sendiri mengingat jauh sebelumnya telah didahului oleh kegiatan
pemantauan dan evaluasi kinerja dan integritas perwira tinggi Polri
bersangkutan.
Wanjakti
Apabila telah jelas bahwa ketentuan-ketentuan di atas
tidak membatasi wewenang Kompolnas hanya dalam rangka pemberian pertimbangan
saja, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan-ketentuan tersebut sama
sekali tidak menerangkan bahwa tugas penyebutan nama calon Kepala Polri kemudian
diserahkan kepada lembaga Wanjakti. Jadi, argumen Wanjakti-lah yang berwenang
mengusulkan nama calon Kepala Polri menjadi tidak berdasar sama sekali.
Sebetulnya tidak ada dasar hukum yang mengatur tentang
Wanjakti, selain ketentuan internal dan kebiasaan organisasi saja. Wanjakti
atau Dewan Jabatan (Wanjak; untuk level perwira menengah ke bawah) pada
dasarnya adalah mekanisme organisasi biasa, yakni promosi bagi seseorang
ditetapkan oleh para atasannya. Pertimbangannya adalah para atasanlah atau
setidak-tidaknya komunitasnyalah yang paling mengetahui kelebihan atau
kekurangan sang anggota staf yang akan dipromosikan.
Namun, juga bukannya tidak ada kekurangan dari mekanisme
internal tersebut. Ketika iklim korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah
menguasai organisasi tersebut, mekanisme penilaian oleh atasan akan
berlangsung tanpa akuntabilitas dan integritas sama sekali. Itu juga yang
menjadi gugatan banyak orang dengan mekanisme Wanjak atau Wanjakti di
kalangan TNI dan Polri.
Kelemahan lain adalah ketika yang hendak diangkat itu
adalah pejabat yang telah memasuki level pejabat publik (eselon 1 atau
pejabat politik). Bagaimana justifikasinya seorang pejabat publik ternyata
diangkat dengan pertimbangan yang sepenuhnya berangkat dari situasi internal,
yang juga belum tentu bersih dari praktik KKN.
Kelemahan terakhir dari mekanisme Wanjak atau Wanjakti
adalah situasi ewuh pakewuh yang dihadapi para peserta Wanjak, khususnya pada
saat berbeda pendapat dengan atasannya. Alhasil, Wanjak atau Wanjakti pada dasarnya
hanya forum legitimasi bagi kemauan sang kepala. Situasi ewuh pakewuh itu
juga yang menjadikan mekanisme Wanjak atau Wanjakti hanya cocok digunakan
untuk jabatan di bawah Wakil Kepala Polri alias jabatan bintang dua saja,
Buah reformasi
Argumen terakhir bahwa penentuan nama calon Kepala Polri
tetap di tangan Kompolnas, terkait sejarah pendirian Kompolnas itu sendiri.
Sebagaimana disadari, Kompolnas adalah institusi yang lahir dari reformasi
pada 1998, saat masyarakat menuntut Polri menjadi lembaga sipil dan keluar
dari ABRI. Hal itu karena disadari bahwa Polri membutuhkan pengawas. Untuk
itu dibentuklah Kompolnas sebagai ganti kementerian yang ditolak oleh
kalangan kepolisian.
Sejauh ini, dengan segala kelemahan dan keterbatasannya,
Kompolnas telah berusaha mendorong Polri agar semakin mandiri, otonom, dan
profesional. Salah satunya adalah melalui pemenuhan tugasnya memberikan
pertimbangan bagi calon Kepala Polri. Adapun tugas lainnya adalah membuat
arah kebijakan kepolisian. Melalui dua tugas itu, Kompolnas merupakan
representasi masyarakat sipil dalam rangka turut mengatur kepolisian agar
terpenuhi prinsip pemolisian demokratis (yakni pemolisian oleh kepolisian
yang sepenuhnya mengacu pada kemauan masyarakat).
Di sini timbul persoalan strategis ketika kewenangan
Kompolnas yang sebenarnya tidak luas itu hendak dilucuti pula melalui upaya
penentuan calon Kepala Polri oleh Wanjakti. Sebagai buah reformasi, Kompolnas
akan semakin terancam urgensinya untuk terus ada jika salah satu dari dua
tugasnya kemudian dilucuti. Kita semua tentu tahu apa yang akan terjadi
apabila hanya polisi yang dibiarkan mengurus polisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar