Rabu, 04 Februari 2015

Diplomasi Ekonomi “Jual, Jual, Jual”

Diplomasi Ekonomi “Jual, Jual, Jual”

Rene L Pattiradjawane  ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 04 Februari 2015

                                                                                                                                     
                                                

Ada perubahan penting menandai pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia di tahun-tahun mendatang. Dalam rapat kerja pimpinan Kementerian Luar Negeri dan Kepala Perwakilan RI, Senin (2/2), para diplomat diubah menjadi penjaja untuk menjual produk Indonesia di luar negeri, memberikan bobot berlebihan pada diplomasi ekonomi.

Kalau kita mengikuti dengan cermat diktum Presiden Joko Widodo tentang ”kerja, kerja, kerja,” kita perlu menambahkan diktum lain ”jual, jual, jual”. Ini sekaligus menandai konsep strategis Poros Global Maritim menjadi slogan belaka karena ternyata tidak ada yang menerjemahkan konsep ini menjadi langkah diplomasi yang komprehensif.

Kita sering lupa, diplomasi maritim itu memiliki sisi yang sama dengan diplomasi ekonomi karena sifat dan ciri Indonesia sebagai negara kepulauan dikelilingi laut dan samudra besar. Kita khawatir inti kebijakan luar negeri Indonesia dalam politik bebas aktif dalam derasnya globalisasi serta dinamika regional yang penuh ancaman dan tantangan tidak mampu menjawab berbagai persoalan menyangkut kepentingan nasional, baik politik, ekonomi, sosial budaya, maupun pertahanan.

Kita berharap, dari raker muncul sisi strategis memberikan arahan penting kepada para duta besar Indonesia dalam menjalankan pemerintahan baru Presiden Joko Widodo. Presiden Jokowi sendiri dijadwalkan akan keliling tiga negara ASEAN, yaitu Malaysia, Brunei, dan Filipina, mulai Kamis (5/2).

Kalau kita menyimak pidato Presiden Jokowi dan laporan Menlu Retno LP Marsudi pada raker tersebut, memberi kesan perubahan drastis kebijakan luar negeri Indonesia yang biasanya kuat dalam persoalan internasional, menjadi tidak memiliki arah strategis dalam pengejawantahannya. Diplomat Indonesia di luar negeri adalah ujung tombak berbagai kepentingan nasional kita, bukan dirigen konser musik!

Cara berpikir ini menghadirkan dua hal. Ke dalam negeri muncul kembali situasi ekonomi otopilot ketika keterlibatan pemerintah terlalu dalam mencampuri urusan aktivitas masyarakatnya secara berlebihan. Ke luar, posisi penting Indonesia di berbagai persoalan regional dan internasional tergoyahkan karena ketidakmampuan kita memiliki petunjuk strategis arah kebijakan luar negeri yang ingin ditempuh.

Dari retret para menlu ASEAN di Kota Kinabalu, Malaysia, pekan lalu, sudah muncul pesan kuat ada kekhawatiran atas proyek reklamasi di Laut Tiongkok Selatan yang dipersepsikan sebagai ancaman konkret dari Tiongkok. Filipina bahkan mengeluarkan pernyataan lebih keras ketika Menlu Albert del Rosario mengatakan, tanpa tindakan nyata akan meluluhkan prinsip sentralitas ASEAN yang dianut organisasi regional ini.

Kita mencatat ada dua faktor penting dalam persoalan kebijakan luar negeri Indonesia ini. Pertama, pelaksana kebijakan luar negeri sekarang ini seperti menabuh gendang pada persoalan yang sebenarnya sudah melekat dalam pekerjaan diplomasi Indonesia. Dengan demikian, peningkatan peranan Indonesia di luar negeri harus berdasarkan visi strategis menghadapi dinamika perubahan regional dan multilateral.

Kedua, ada ”kebingungan struktural” menerjemahkan kebijakan luar negeri RI, terutama merumuskan secara komprehensif konsep Poros Global Maritim sebagai pesan kuat Presiden Jokowi dari Indonesia untuk dunia. Konsep yang dirumuskan pemikir nonbirokrat sering kali dianggap tidak memiliki kapasitas menentukan arah kebijakan luar negeri RI.

Kita perlu mendorong slogan ”pikir, pikir, pikir” agar arah kebijakan luar negeri RI kembali pada khitahnya sebagai kekuatan diperhitungkan dalam rumusan politik bebas aktif. Dasasila Bandung yang akan berusia 60 tahun, ada bentuk konkret yang harus dibanggakan dan perlu revitalisasi menyeluruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar