Kamis, 23 Januari 2014

RUU KUHP, Beberapa Catatan Kritis dari Aspek Hukum Internasional

RUU KUHP, Beberapa Catatan Kritis

dari Aspek Hukum Internasional

Damos Dumoli Agusman   ;   Konsul Jenderal RI di Frankfurt,
Sedang menyelesaikan studi S3 Hukum Internasional pada Goethe University of Frankfurt
DETIKNEWS,  22 Januari 2014
                                                                                                                        


KUHP saat ini sedang digodok oleh pemerintah dan DPR. RUU KUHP ini dimaksudkan untuk mengganti KUHP produk kolonial Belanda yang masih diberlakukan sampai saat ini. Oleh sebab itu RUU KUHP bakal sarat dengan elemen-elemen baru yang mengkristal akibat modernisasi hukum dan perkembangan-perkembangan pesat pasca kolonial. Pastinya, RUU ini tidak mungkin menghindar dari tekanan-tekanan globalisasi yang sudah sangat intrusif memasuki wilayah hukum pidana nasional setiap negara. Salah satu tekanan globalisasi itu adalah maraknya berbagai norma hukum internasional yang lahir dewasa ini, yang tidak hanya memberikan pembatasan bagi jurisdiksi pidana hukum nasional melainkan juga mendesak hukum pidana nasional mengadopsi norma-norma hukum internasional itu. 

Lahirnya norma-norma hukum pidana internasional melalui berbagai konvensi-konvensi internasional pastinya akan memaksa hukum pidana setiap negara menyesuaikan diri. Indonesia dengan RUU KUHP tersebut tampaknya mulai menggeliat akibat tekanan globalisasi ini.

Dalam RUU KUHP versi tahun 2012 (yang diunduh dari website Kemhukham) telah tercermin beberapa elemen baru akibat ploriferasi norma hukum internasional yang sudah menyentuh wilayah pidana nasional. Bab I tentang Ruang Lingkup berlakunya Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pidana telah memuat beberapa pasal yang mengatur persentuhan antara hukum pidana nasional dengan hukum internasional.

Pertama adalah tentang pembatasan berlakunya norma pidana. Dalam Pasal 2 (1) RUU, dibuka kemungkinan adanya “hukum yang hidup dalam masyarakat” sebagai sumber delik pidana di luar peraturan yang ada. Ayat ini tentunya mengundang kontroversi di kalangan publik di bawah rubrik asas legalitas. Namun yang cukup menarik adalah Pasal ini selanjutnya diberikan pembatasan yaitu “sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Dalam kaitan ini patut dikritisi penggunaan frasa “prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa”. Frasa ini tidak terlalu dikenal dalam hukum nasional Indonesia namun sangat difahami dalam rubrik hukum internasional. Frasa ini adalah konsepi hukum internasional bukan konsepi hukum nasional, sehingga dikuatirkan akan menimbulkan gap dalam penafsirannya di kemudian hari jika pasal ini diuji di depan pengadilan nasional. RUU ini sendiri tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa namun tampaknya istilah ini merupakan terjemahan dari “the general principles of law recognized by civilized nations” seperti yang dimaksud dalam Pasal 38 (1)(c) Statuta Mahkamah Internasional, yang dikenal sebagai salah satu sumber hukum internasional dari empat sumber hukum yang dikenal dalam hukum internasional, yakni “treaties”, “international customs”, “the general principles of law recognized by civilized nations”, dan “judicial decisions and teaching of highly publicists”.

Jika perumus RUU memang mengambil referensi dari Statuta Mahkamah Internasional dan memilih salah satu dari empat sumber hukum internasional ini, maka pertanyaan kritis akan muncul: bagaimana dengan sumber hukum lainnya, yang bisa saja lebih penting dari sekadar “prinspi-prinsip hukum umum”? Seperti diketahui, selain prinsip hukum umum, Statuta Mahkamah Internasional menetapkan “Konvensi Internasional” (treaties) serta “hukum kebiasaan internasional” sebagai sumber hukum internasional dan kesemuanya mengikat negara sekalipun hukum nasionalnya menolak untuk terikat. Mahkamah Internasional sendiri lebih berorientasi pada penggunaan treaties dan hukum kebiasaan internasional dalam menyelesaikan sengketa antar negara. Bahkan dalam hukum kebiasaan internasional telah lahir berbagai norma dasar, yang tidak mungkin dikesampingkan oleh norma apa pun (ius cogens), yang berlaku untuk semua orang dan negara (erga omnes). Contoh: dapatkah sepasang turis asing yang belum menikah dikenakan pidana berdasarkan hukum yang hidup di suatu daerah di Indonesia karena menginap dalam satu kamar? Apakah hukum kebiasaan internasional dan konvensi-konvensi HAM tidak bisa memberikan pembatasan terhadap berlakunya hukum yang hidup ini?

Memilih hanya salah satu sumber hukum internasional namun membisu terhadap sumber-sumber hukum lainnya dapat memberikan sinyal negatif terhadap masyarakat internasional. Indonesia telah meratifikasi banyak konvensi-konvensi internasional dan dengan demikian telah terikat dengan norma-norma, yang tentu saja seyogianya berfungsi membatasi norma yang hidup dalam masyarakat seperti dimaksud dalam Pasal 2 (2) RUU di atas. Namun RUU ini kelihatannya belum mengakui konvensi-konvensi internasional dan hukum kebiasaan internasional sebagai norma pembatas dimaksud.

Kedua, tentang perluasan jurisdiksi pidana. Beberapa pasal RUU telah memperluas ruang lingkup berlakunya hukum pidana ini, yang bersifat ekstra teritorial. Pasal 4 menyatakan bahwa tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat udara Indonesia. Pasal 5 bahkan memperluas ke wilayah luar Indonesia terhadap setiap orang jika tindak pidana tersebut berkaitan dengan kepentingan Indonesia, seperti tindak pidana korupsi dan pencucian uang. Perluasan ini merupakan konsekuensi dari fenomena kriminal transnasional dampak globalisasi. 

Selain perluasan wilayah jurisdiksi, RUU ini juga mulai memperkenalkan prinsip jurisdiksi universal, yaitu menerapkan delik pidana yang ditetapkan oleh perjanjian dan hukum internasional namun telah dirumuskan sebagai tindak pidana dalam hukum Indonesia. Dalam hal ini, jika karakter tindak pidana tersebut diakui sebagai “delik” dalam hukum internasional, maka Indonesia memiliki jurisdiksi untuk mengadili siapa saja serta di mana pun tindak pidana tersebut dilakukan sepanjang delik tersebut dirumuskan dalam KUHP Indonesia.

Perluasan jurisdiksi pidana ini tentu merupakan elemen baru, yang patut mendapatkan apresiasi. Namun kembali RUU memperkenalkan istilah yang perlu mendapat kejelasan akademis yaitu frasa “tindak pidana menurut perjanjian atau hukum internasional”. Pemisahan antara konsep perjanjian internasional di satu pihak dengan hukum internasoinal di pihak lain perlu didiskusikan oleh pakar hukum pidana dan pakar hukum internasional. Perjanjian internasional adalah sumber hukum internasional sehingga membedakan keduanya mengakibatkan terjadi anomali dan akan melahirkan kontroversi tafsir di kemudian hari. Mungkin yang dimaksud oleh perumus RUU adalah “perjanjian atau hukum kebiasaan internasional” bukan “perjanjian atau hukum internasional”.

RUU KUHP ini juga melahirkan kejutan baru bagi para pemerhati hukum internasional yaitu dihapuskannya Pasal tentang pembatasan jurisdiksi oleh hukum internasional dari RUU, yakin Pasal 9 KUHP: “Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.” Pasal ini tidak lagi dirumuskan dalam RUU versi 2012 dan tidak ada penjelasan mengapa pasal ini dihapus. 

Dalam berbagai literatur, semua ahli hukum pidana sepakat bahwa Pasal 9 KUHP adalah dasar bagi penegak hukum sehingga tidak memberlakukan KUHP terhadap Kepala Negara dan Pemerintahaan Asing yang melakukan tindak pidana di Indonesia. Pasal ini pula yang menjadi dasar pengakuan para penegak hukum terhadap “kekebalan” kantor kedutaan dan kantor konsulat asing di Indonesia, di samping Konvensi Wina 1961 dan 1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Pasal ini pula yang membuat kantor PBB dan kantor Uni Eropa serta kantor-kantor perwakilan organisasi internasional lainnya memiliki imunitas. Dengan kata lain, Pasal 9 KUHP adalah pengakuan dan penghormatan Negara Indonesia terhadap pembatasan-pembatasan yang diterapkan oleh hukum internasional, dan dengan demikian merupakan perwujudan dari ketaatan Indonesia sebagai anggota masyarakat Indonesia. 

Dengan dihapusnya Pasal ini maka kepala negara dan pemerintahan asing, kantor-kantor perwakilan diplomatik dan konsuler, serta pejabat internasional lainnya akan diperlakukan sama dengan “setiap orang” dan dengan demikian KUHP akan diberlakukan terhadap mereka. Akibatnya, akan terjadi dilema hukum yaitu penegakan hukum pidana di Indonesia terhadap para pejabat internasional ini akan melahirkan pelanggaran hukum internasional, dan sebaliknya penghormatan hukum internasional akan berimplikasi pada pelanggaran hukum nasionalnya sendiri. Untuk itu, penghapusan Pasal 9 KUHP ini sebaiknya ditinjau kembali dan didahulu dengan pendalaman materi tentang hubungan antara hukum pidana nasional dengan pembatasan-pembatasan yang hidup dalam hukum internasional. 

Dari uraian di atas, aspek hukum internasional dari KUHP dewasa ini sudah sangat kental. Perumusan RUU KUHP sebaiknya tidak lagi bisa terkotak pada logika hukum pidana nasional an sich dan seharusnya sudah membuka ruang bagi adanya norma-norma hukum internasional yang bersentuhan dan beririsan dengan hukum pidana nasional. Pengabaian terhadap aspek hukum internasional dari RUU ini akan memberikan implikasi negatif bagi citra Indonesia di mata dunia internasional. Oleh sebab itu, perumusan pasal-pasal yang beririsan dengan hukum internasional sebaiknya dirumuskan dengan menggunakan multi disiplin ilmu antara hukum pidana dan hukum internasional. Para pakar pidana dan pakar hukum internasional perlu berinterkasi dan berpartisipasi aktif dalam perumusan pasal-pasal ini supaya aspek hukum internasional tidak terabaikan, dan sebaliknya, aspek hukum pidana nasional tidak dikorbankan demi penegakan hukum internasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar