Senin, 06 Januari 2014

Pengajaran Agama Interreligius

                                Pengajaran Agama Interreligius

Achmad Munjid  ;   Dosen pada Center for Religious and Cross-Cultural Studies
Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
KOMPAS,  04 Januari 2014
                                                                                                                        


Di Yogyakarta dan sejumlah kota kini kian banyak bermunculan papan bertuliskan ”kos khusus Muslim”, ”kompleks perumahan Muslim”, bahkan ”makam Muslim”. Fenomena itu bisa dibaca sebagai keengganan jika bukan ketakutan sebagian orang menerima keragaman.

Jika dikontraskan dengan semboyan resmi negara Bhinneka Tunggal Ika, perkembangan tersebut sekaligus merupakan indikator bahwa kemampuan sosial melakukan navigasi dalam masyarakat yang sejak awal dibentuk oleh pluralitas kini kian lumpuh. Muatan dan pendekatan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum/negeri, menurut saya, turut memainkan peran kunci dalam soal ini. Ia adalah salah satu penyebab penting mengentalnya eksklusivisme sektarian tadi, tetapi sekaligus juga merupakan peluang mengatasinya.

Tentu saja semua orang tahu bahwa sejak awal kita hidup dalam masyarakat yang plural, termasuk dalam hal agama. Namun, tanpa ada norma bersama dan cara pandang yang positif mengenai pluralitas, paling jauh kita hanya bisa punya toleransi ogah-ogahan, lazy tolerance, dalam istilah Paul Knitter. Dalam kondisi ekonomi dan politik yang stabil, mungkin itu tidak menjadi soal. Namun, dalam situasi sulit, apalagi krisis, absennya norma bersama dan sikap yang positif mengenai pluralitas tadi adalah ibarat ”rumput kering” yang gampang sekali berubah menjadi kobaran konflik begitu ada percikan api.

Norma bersama dan sikap yang positif mengenai pluralitas itu bisa dibentuk, menurut Michael Grimmit (2006), jika keragaman dianggap identik dengan relasi saling melengkapi. Pluralitas tidak semata-mata dipahami sebagai kenyataan yang membuat orang ”terpaksa” berdampingan, tetapi merupakan peluang untuk bekerja sama dan saling memperkaya. Masyarakat yang plural secara agama bisa tegak jika ditopang norma dan sikap yang juga pluralis. Untuk konteks setelah 1965, muatan dan model pengajaran agama di sekolah umum/negeri sangat menentukan hadir atau tidaknya norma bersama dan sikap positif tersebut.

Selain status pelajaran agama di sekolah umum perlu diubah dari ”wajib” menjadi ”pilihan” seperti pernah saya usulkan (Kompas, 26/3), pengajaran agama yang menggunakan model monoreligius juga perlu diubah menjadi multireligius dan interreligius. Selain telah membuat  orang ”buta” tentang agama lain, model pengajaran monoreligius yang hanya mengajarkan agama sendiri cenderung membuat orang bersikap pasif terhadap keragaman; jika bukan, malah menarik diri, seperti terlihat dari kemunculan banyak kos, perumahan, dan makam Muslim itu.

Perlu segera diganti

Polemik tahunan di kalangan Muslim tentang haram-tidaknya mengucapkan ”Selamat Natal” adalah contoh populer lain yang mungkin akan kembali segera kita dengar. Oleh karena itu, jika kita tidak ingin terjebak ke dalam kubangan persoalan yang lebih dalam, model monoreligius ini perlu segera diganti.

Model-model mono-, multi-, dan interreligius bukanlah kategori tingkatan di mana yang satu dengan sendirinya lebih unggul ketimbang yang lain.  Masing-masing bisa menjadi model yang efektif menurut konteks yang berbeda. Model monoreligius, misalnya, adalah metode yang efektif untuk tujuan internalisasi dalam rangka meningkatkan kualitas iman, seperti yang dilakukan di pesantren atau seminari, di mana peserta didik memang mempunyai latar belakang agama yang seragam.
Untuk menghindari kekhawatiran yang berlebihan, model monoreligius ini masih bisa diterapkan untuk sekolah umum, tetapi hanya di tingkat sekolah dasar.

Untuk sekolah menengah, model multireligiuslah yang semestinya digunakan. Melalui model ini, siswa berkesempatan mendapatkan pemahaman yang informatif-deskriptif tentang beberapa agama di sekitarnya. Dengan demikian, sejak dini siswa belajar mengapresiasi dan bersikap toleran terhadap para penganut dan warisan tradisi berbagai agama. Norma bersama dan sikap yang positif terhadap pluralitas hanya bisa dibentuk melalui proses yang panjang, antara lain melalui model pengajaran semacam ini.

Di perguruan tinggi umum model yang paling efektif adalah interreligius. Jika model multireligius menekankan pengajaran agama-agama yang bersifat deskriptif, informatif dan ”objektif” tentang doktrin, ritual, dan sejarah agama tertentu, model interreligius bergerak lebih jauh dengan menekankan aspek ”dialog”.

Meskipun telah berusaha seobyektif mungkin, seorang Muslim yang mempelajari agama Kristen, misalnya, mustahil bisa memahami agama itu sebagaimana yang dilakukan penganut Kristen. Memang bukan itu tujuannya. Oleh karena itu, selain kemampuan memperoleh informasi dan melakukan deskripsi berbagai agama secara memadai, dengan mempelajari agama-agama tersebut, yang lebih penting mahasiswa belajar melatih kemampuan melakukan dialog melalui proses dialektis berbicara dan mendengar, melihat dan dilihat, dengan menggunakan berbagai perspektif secara kritis. 

Seorang mahasiswa Muslim yang mempelajari ”zaman kegelapan” Kristen Abad Pertengahan, misalnya, tidak terutama bertujuan menemukan bukti-bukti realitas sejarah Kristen yang kelam kemudian dikontraskan dengan wajah ideal Islam. Melainkan, untuk memahami secara empiris bagaimana penggal sejarah itu terjadi dalam agama Kristen dan apakah hal yang sama juga terjadi dalam kurun dan bentuk yang mungkin berbeda dalam sejarah Islam dan mengapa. Begitu pula sebaliknya. 

Banyak orang terampil memilih yang riil dalam agama lain untuk dikontraskan dengan yang ideal dalam agama sendiri. Namun, apa hasilnya selain saling curiga, salah paham, dan kian berkobarnya rasa saling permusuhan?

Pemahaman kritis

Melalui proses dialog, seseorang bisa mendapat pemahaman kritis yang lebih baik serta sikap dan tindakan yang lebih tepat dan saling memperkaya dalam perjumpaan agama-agama. Dialog, sebagaimana dikemukakan Leonard Swidler (1990), tentu akan ”mengubah” pelakunya. Artinya, seseorang yang mempelajari agama lain—sebetulnya apa saja—akan mendapat pengaruh yang kemudian mengubah persepsi, sikap, dan tindakannya.

Namun, jika dilihat secara positif, mengikuti John Cobb (1999), perubahan itu justru mencerminkan  pemahaman yang lebih diperkaya dan tercerahkan, baik tentang agama sendiri maupun agama orang lain sebab, sembari mempelajari ”yang lain”, melalui dialog itu seseorang sebetulnya terus-menerus diajak merefleksi dan  mengenali kembali ”diri sendiri” lebih intensif dari sejumlah perspektif.

Ini sekaligus menegaskan bahwa studi dan pengajaran agama model interreligius, dan juga multireligius, tak perlu menyeret orang kepada pendangkalan akidah atau relativisme agama, sebagaimana kadang dikhawatirkan. Sebaliknya, studi dan pengajaran agama model multireligius dan interreligius merupakan suatu metode yang efektif membentuk norma bersama dan sikap yang positif terhadap pluralitas agama sehingga perjumpaan agama bisa menjadi kesempatan saling memperkaya dan bekerja sama, guna mengoptimalkan potensi pribadi setiap pemeluk agama dalam pergaulan kemanusiaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar