Pendidikan
Politik Anak
Titik Firawati ; Staf
pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM,
Peneliti di Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 20 Januari 2014
DARI segi demografi,
jumlah anak muda usia 17-21 tahun mustahil menyamai, apalagi melebihi jumlah
orang dewasa di seluruh Indonesia. Karena itu, suara mereka dalam Pemilu 2014
tidak penting sehingga tidak perlu dihiraukan. Diakumulasikan sekalipun,
suara anak-anak muda tidak akan berarti banyak. Namun, memaknai politik lebih
daripada sekadar urusan memilih dan dipilih, kuantitas suara menjadi tidak
penting. Justru kualitas suara (yang ditandai dengan pikiran dan sikap
kritis) dalam kehidupan politik jauh lebih penting. Memaknai politik dengan
cara ini, suara anak muda sama menentukannya seperti suara orang dewasa.
Politik itu kotor!
Ungkapan tersebut sudah sering kita dengar di mana-mana sehingga menjadi
semacam norma berpolitik. Bila diartikan secara sederhana, politik merupakan
alat untuk membuat perubahan di masyarakat. Politik memang kotor hanya jika
yang memanfaatkan ialah politisi yang tidak bertanggung jawab, yaitu mereka
yang korup, menyebarkan janji palsu, gosip mengenai lawan politik, atau peduli
kepada masyarakat hanya ketika pemilu tiba. Sementara itu, politik menemukan
nilai kemanfaatannya hanya jika yang menggunakan ialah politisi yang
benar-benar bertanggung jawab untuk masyarakat yang lebih baik. Dia lebih
mementingkan kepentingan bersama daripada pribadi, menepati janji, sportif
berkompetisi dengan lawan politik, atau peduli masyara kat sepanjang masa.
“Politik itu urusan orang dewasa. Anak-anak cukup belajar saja agar dapat
menjadi generasi penerus bangsa.”
Ungkapan ini
bermasalah karena multiinterpretasi. Siapa yang dimaksud dengan orang dewasa?
Kedewasaan seseorang tidak selalu ditentukan usia berdasarkan perspektif
kependudukan. Dewasa itu berani bersikap kesatria mengakui kesalahan dan
bersedia menjalani hukuman sebagai konsekuensi dari kejahatannya. Berani
berbuat dan berani menanggung risiko ialah ciri khas seseorang disebut
dewasa.
Kata psikolog, kedewasaan seseorang ditentukan kematangan hati dan
pikiran.
Ungkapan di atas juga
bermasalah karena meminggirkan suara anak-anak muda. Padahal, pemilih pemula
memiliki hak seperti orang dewasa yang sama-sama dilindungi hukum serta
berkewajiban menaati konstitusi dan segala aturan di bawahnya. Kadangkadang
yang membedakan justru anak muda punya kepedulian yang lebih besar daripada
orang dewasa. Masih ingat kisah Malala Yousafzai, gadis Pakistan yang hampir
meregang nyawa demi pendidikan perempuan di Lembah Swat, sebuah wilayah
Pakistan bagian utara yang berbatasan langsung dengan Afghanistan? Dia
ditembak anggota Taliban saat baru berumur 16 tahun. Kini, Malala menjadi
simbol perlawanan untuk mewujudkan pendidikan bagi kaum perempuan.
Di samping itu,
kalimat kedua dari ungkapan tersebut menimbulkan tanda tanya. Syarat ‘menjadi
generasi penerus bangsa’ sudah barang tentu membutuhkan kerja keras dan
komitmen melakukan hal-hal yang lebih baik daripada generasi pendahulu. Itu
artinya anak-anak tidak pasif duduk diam dan sekadar mendengarkan ceramah
guru di kelas. Anak-anak sejak awal sudah harus dibiasakan berpikir dan
bersikap lebih kritis terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar yang mereka
lihat atau alami sendiri, termasuk peristiwa sosial dan politik. Pembiasaan
berpikir dan bersikap kritis, sebagaimana yang telah disinggung di awal,
sesungguhnya berpolitik itu sendiri.
Suara pemilih pemula
Kembali pada gagasan
utama penulis, dalam hal apa suara anak muda sama menentukannya seperti suara
orang dewasa? Jawabannya terletak pada tanggung jawab sebagai warga negara.
Ia berasal dari kesadaran total dalam rangka mewujudkan kemajuan masyarakat.
Bila dikaitkan dengan pemilu, peristiwa politik lima tahunan ini tidak
diartikan sesempit logika menang dan kalah, tapi, misalnya, memastikan yang
menang memegang janji kampanye dan yang kalah menerima hasilnya dengan cara
damai dan bersama-sama ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Menjaga
supaya setiap kompetitor konsisten dengan aturan main yang ada memerlukan
‘tanggung jawab abadi’. Maksudnya, tanggung jawab ditunjukkan secara
terus-menerus, tidak hanya ketika pemilu digelar.
Dalam rangka
pendidikan politik anak, penulis ingin berbagi kiat sebagai bentuk kepedulian
terhadap anak-anak muda/pemilih pemula (17-21 tahun atau sudah menikah). Penulis
tidak rela menyaksi kan suara mereka dalam pemilu pada akhirnya membenarkan
bahwa memang ‘politik itu kotor’. Pemilu bukan segala-galanya, tapi
konsekuensi lima tahun pascapemilu sudah lebih dari cukup menentukan hidup
kita.
Tips berikut ini patut dipertimbangkan, di antaranya, pertama, sebelum
hari pencoblosan, cari tahu calon pemimpin atau partai politik.
Caranya ialah dengan
mencari tahu, mengikuti apa saja yang pernah dilakukan, dan bahkan
mendiskusikan semua calon/partai politik (parpol) yang ada dengan kolega,
teman, saudara, atau keluarga jauh-jauh hari sebelum hari H. Di zaman
sekarang, tidak ada alasan kita tidak punya informasi mengenai calon. Alat
komunikasi semakin canggih. Ada internet, khususnya media sosial dengan
jenisnya yang bermacam-macam, yang bisa diakses siapa pun dan kapan pun.
Jangan golput!
Apabila tidak
memberikan suara dalam pemilu, Anda tidak berhak protes. Golput, apa pun
alasannya mulai dari sikap malas, tak acuh, pesimistis, hingga boikot, akan
dapat menghambat perubahan masyarakat yang dikehendaki.
Kedua, pilih calon
pemimpin atau partai politik yang tepat. Pastikan kelebihan dan kelemahan
setiap calon/parpol. Jangan karena Anda tidak suka calon A, lalu memilih
calon B tanpa mempelajari profil calon A dan B dengan cermat. Kesampingkan
emosi, kedepankan akal.
Ketiga, awasi dan
laporkan kecurangan kepada Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu)
setempat. Awasi proses pemilu dan laporkan setiap kecurangan tidak dengan
pilih kasih. Maksudnya, kita tutup mata terhadap calon/ parpol dambaan, tapi
vokal menyuarakan kecurangan calon/parpol lain.
Keempat, apabila
calon/ parpol Anda kalah, terima dengan lapang dada. Jangan memaksakan
kehendak dan bahkan melakukan kekerasan dalam bentuk apa pun. Lagi pula,
pemilu dilakukan rutin setiap 5 tahun sekali. Kekalahan tidak berarti
bencana, tetapi hanya kemenangan yang tertunda.
Kelima, hindari kampanye
yang mengeksploitasi agama dan etnik. Bagi pemilih pemula yang ikut
berpartisipasi dalam kampanye politik, jangan sekalikali menyudutkan lawan
karena etnik dan agamanya. Eksploitasi etnik dan agama hanya akan memberikan
kerugian daripada manfaatnya, antara lain merusak toleransi antarumat
beragama, mengganggu hubungan antaretnik, dan bisa menimbulkan kematian.
Betapa tidak bijaknya mempertaruhkan tali persau daraan yang dibangun selama
puluhan tahun demi ingarbingar kampanye pemilu yang hanya beberapa hari.
Keenam, pascapemilu,
jaga sikap kritis terhadap para pemimpin yang terpilih. Jangan karena pemilu
sudah usai atau calon kita menang, tanggung jawab politik kita ikut usai. Di
sinilah ‘tanggung jawab abadi’ mendapatkan ujian. Pemimpin pilihan dibuktikan
dengan realisasi setiap janji yang ia ucapkan selama kampanye. Jika tidak
diwujudkan, janji itu harus ditagih kepada pemimpin yang bersangkutan. Bila
gagal, datangi dan sampaikan aspirasi ke DPR/DPRD. Bisa juga kita menulis
surat pembaca. Ada banyak jalan untuk menunjukkan tanggung jawab tersebut.
Sebagaimana kita akui,
banyak persoalan pendidikan yang mustahil semuanya diperinci di sini. Untuk
menyebutkan beberapa, contohnya, anak-anak harus berdesakan dalam satu kelas
karena kelas yang seharusnya ditempati roboh. Mereka juga harus menyabung
nyawa ketika melewati jembatan yang tidak layak pakai. Di kesempatan lain,
kehidupan masyarakat terusik karena tawuran antarpelajar dan grafiti. Selain
itu, anak-anak di daerah terpencil tidak bisa sekolah karena lokasi sekolah
terlalu jauh dari rumah dan transportasi susah.
Jika Anda sebagai pemilih
pemula yang mengalami sendiri persoalan-persoalan tersebut atau yang
mencitacitakan kemajuan pendidikan nasional, pilih pemimpin yang betul-betul
peduli dengan Anda dan pendidikan di Tanah Air sambil terus bersikap kritis.
Ingat, suara anak muda adalah perubahan bangsa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar