Jumat, 10 Januari 2014

Paket Bali dan Manfaatnya bagi RI

                           Paket Bali dan Manfaatnya bagi RI

Iman Pambagyo  ;    Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional 
Kementerian Perdagangan
KOMPAS,  10 Januari 2014

                                                                                                                       


AKHIR tahun 2013, Putaran Perundingan Doha yang diluncurkan tahun 2001— tetapi macet sejak tahun 2008—kembali berlanjut. Ini berkat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Bali, 3-7 Desember 2013, yang menghasilkan beberapa kesepakatan, termasuk Paket Bali.

KTM Bali adalah batu loncatan untuk menyelesaikan Perundingan Doha karena bila gagal yang sangat dirugikan adalah negara berkembang dan kurang berkembang. Meskipun negara-negara maju akan memperoleh manfaat besar, negara-negara berkembang dan kurang berkembang akan meningkat pendapatannya bila Perundingan Doha selesai.

Paket Bali terdiri atas tiga elemen yang dirundingkan berdasarkan prinsip single undertaking. Artinya, bila satu elemen tidak dapat disepakati, dua elemen lainnya tak akan disepakati. Ketiga elemen Paket Bali itu adalah perjanjian fasilitasi perdagangan, beberapa isu di sektor pertanian, dan isu-isu yang menyangkut kepentingan negara kurang berkembang.

Paket Bali mewakili kurang dari 10 persen dari isu runding di bawah Agenda Pembangunan Doha. Dari tiga elemen Paket Bali, yang banyak disorot adalah Perjanjian Fasilitasi Perdagangan dan isu pertanian, khususnya proposal dari kelompok G-33 dengan koordinator Indonesia.

Fasilitasi perdagangan

Perjanjian Fasilitasi Perdagangan terdiri dari dua bagian: langkah-langkah untuk membuat kegiatan ekspor dan impor menjadi lebih cepat, mudah dan murah, serta jadwal pelaksanaan komitmen dan asistensi untuk negara berkembang dan kurang berkembang pada pelaksanaan komitmen bagian pertama.

Melalui perundingan yang sangat alot dan maraton, perundingan dapat diselesaikan setelah terwujud keseimbangan antara komitmen negara maju (untuk memberikan asistensi) dengan komitmen negara berkembang dan kurang berkembang (untuk memperlancar, mempermudah, dan mengurangi biaya-biaya perdagangan di pelabuhan).

Perjanjian Fasilitasi Perdagangan tidak menyangkut isu akses pasar, seperti penurunan tarif bea masuk. Perjanjian ini menyoroti beberapa hambatan nontarif, tetapi sebatas mengurangi penerapan ketentuan yang berlebihan, diganti cara lain yang lebih murah, transparan, dan efektif.

Tentunya kita perlu melihat esensi Perjanjian Fasilitasi Perdagangan ini secara kontekstual: ia mendorong kegiatan bisnis, dan bila bisnis berkembang, tercipta lapangan kerja. Kekhawatiran bahwa dengan perjanjian ini impor akan membanjir mungkin ada benarnya, tetapi perlu dipahami bahwa impor terjadi bila ada pelaku dalam negeri memilih memesan produk dari luar negeri dan bukan dari sumber- sumber di dalam negeri.

Terlepas dari pilihan sang importir, Perjanjian Fasilitasi Perdagangan menyediakan platform agar pelaku usaha lebih efisien mengembangkan bisnisnya. Ini juga berlaku untuk ekspor Indonesia ke beberapa kawasan yang selama ini sulit ditembus karena tidak ada transparansi ketentuan, ada biaya tambahan pengurusan dokumen, dan keharusan menggunakan broker.

Kajian OECD menyimpulkan bahwa perjanjian ini dapat memberi kontribusi 40 miliar dollar AS kepada perekonomian dunia dan 75 persennya akan dinikmati oleh negara berkembang dan kurang berkembang melalui peningkatan perdagangan, partisipasi dalam mata rantai nilai, dan penciptaan lapangan kerja.

Pertanian

Dapat dikatakan bahwa ”primadona” KTM WTO di Bali adalah isu pertanian, khususnya proposal dari G-33 terkait pembentukan stok pangan bagi masyarakat miskin dan kelonggaran subsidi bagi petani miskin. Di sini, negara maju mau duduk bersama membahas satu dari tiga isu utama perundingan sektor pertanian: domestic support di negara berkembang (dua isu lain adalah akses pasar dan subsidi ekspor produk pertanian).

Keberhasilan G-33 untuk mendapatkan peace clause dalam Paket Bali sangat berarti. Semua negara anggota WTO menyadari bahwa perundingan isu pertanian harus mencakup ketiga isu di atas. Kesepakatan Bali menyangkut usulan G-33 belum tuntas, tetapi memberi ruang bagi negara berkembang mengatasi dulu kondisi domestiknya.

Dengan peace clause, negara berkembang yang memberikan dukungan domestik melebihi yang disepakati Putaran Uruguay 1986-1994—yakni 10 persen dari total output pertanian—tidak akan dituntut ke panel sengketa WTO. Solusi permanen atas proposal G-33 tentunya jauh lebih penting dari sekadar peace clause yang berlaku empat tahun.

Perundingan atas proposal G-33 diwarnai kekhawatiran mengenai potensi terjadinya distorsi pasar, khususnya bila sengaja atau tidak sengaja stok pangan ”merembes” ke pasar internasional dan mengganggu ketahanan pangan negara lain.

Dilihat dari kepentingan Indonesia, kesepakatan di atas akan membantu Indonesia untuk memastikan bahwa kebijakan subsidi negara lain, seperti Malaysia melalui Bernas dan India melalui India Food Corp, tidak mendistorsi pasar Indonesia untuk produk serupa yang dihasilkan petani Indonesia, atau mengganggu kebijakan ketahanan pangan dalam negeri Indonesia.

Kesepakatan di atas juga memberi ruang bagi Indonesia untuk subsidi dan tidak akan dianggap menyalahi perjanjian sepanjang tidak mengganggu pasar negara lain.

WTO dan Indonesia

Prakarsa Indonesia membentuk dan memimpin G-33 dan menjadi anggota G-20 hanya dua dari banyak contoh peran aktif Indonesia memperjuangkan negara berkembang dan kurang berkembang di WTO.

Harus diakui bahwa perjanjian-perjanjian WTO hasil Putaran Perundingan Uruguay banyak kekurangan. Tidak saja karena saat perundingan 1986-1994 kapasitas negara-negara berkembang masih terbatas, tetapi juga karena perekonomian dunia kini sudah berubah.

Bila WTO memiliki kekurangan adalah tugas anggota—termasuk Indonesia—untuk memperbaikinya. Kita tidak dapat menyalahkan WTO, negara maju, atau siapa pun di luar sana atas hal-hal yang sebetulnya menjadi tugas kita untuk membenahi.

Perizinan yang tidak perlu, kredit perbankan yang tinggi, zonasi mal dan pasar yang tidak jelas, alih fungsi lahan pertanian, infrastruktur jalan dan pelabuhan yang kurang, produktivitas rendah, dan suplai energi yang belum sebanding dengan peningkatan kegiatan ekonomi harus segera diselesaikan bila Indonesia ingin memanfaatkan WTO dan sejumlah skema perdagangan secara maksimal. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar