Paket
Bali dan Manfaatnya bagi RI
Iman Pambagyo ;
Dirjen Kerja
Sama Perdagangan Internasional
Kementerian Perdagangan
|
KOMPAS,
10 Januari 2014
AKHIR tahun 2013,
Putaran Perundingan Doha yang diluncurkan tahun 2001— tetapi macet sejak
tahun 2008—kembali berlanjut. Ini berkat Konferensi
Tingkat Menteri (KTM) WTO di Bali, 3-7 Desember 2013, yang menghasilkan
beberapa kesepakatan, termasuk Paket Bali.
KTM Bali adalah batu loncatan
untuk menyelesaikan Perundingan Doha karena bila gagal yang sangat dirugikan
adalah negara berkembang dan kurang berkembang. Meskipun negara-negara maju
akan memperoleh manfaat besar, negara-negara berkembang dan kurang berkembang
akan meningkat pendapatannya bila Perundingan Doha selesai.
Paket Bali terdiri atas
tiga elemen yang dirundingkan berdasarkan prinsip single undertaking. Artinya, bila satu elemen tidak
dapat disepakati, dua elemen lainnya tak akan disepakati. Ketiga elemen Paket
Bali itu adalah perjanjian fasilitasi perdagangan, beberapa isu di sektor
pertanian, dan isu-isu yang menyangkut kepentingan negara kurang berkembang.
Paket Bali mewakili kurang
dari 10 persen dari isu runding di bawah Agenda Pembangunan Doha. Dari tiga
elemen Paket Bali, yang banyak disorot adalah Perjanjian Fasilitasi
Perdagangan dan isu pertanian, khususnya proposal dari kelompok G-33 dengan
koordinator Indonesia.
Fasilitasi
perdagangan
Perjanjian Fasilitasi
Perdagangan terdiri dari dua bagian: langkah-langkah untuk membuat kegiatan
ekspor dan impor menjadi lebih cepat, mudah dan murah, serta jadwal
pelaksanaan komitmen dan asistensi untuk negara berkembang dan kurang
berkembang pada pelaksanaan komitmen bagian pertama.
Melalui perundingan yang
sangat alot dan maraton, perundingan dapat diselesaikan setelah terwujud
keseimbangan antara komitmen negara maju (untuk memberikan asistensi) dengan
komitmen negara berkembang dan kurang berkembang (untuk memperlancar,
mempermudah, dan mengurangi biaya-biaya perdagangan di pelabuhan).
Perjanjian Fasilitasi
Perdagangan tidak menyangkut isu akses pasar, seperti penurunan tarif bea
masuk. Perjanjian ini menyoroti beberapa hambatan nontarif, tetapi sebatas
mengurangi penerapan ketentuan yang berlebihan, diganti cara lain yang lebih
murah, transparan, dan efektif.
Tentunya kita perlu
melihat esensi Perjanjian Fasilitasi Perdagangan ini secara kontekstual: ia
mendorong kegiatan bisnis, dan bila bisnis berkembang, tercipta lapangan
kerja. Kekhawatiran bahwa dengan perjanjian ini impor akan membanjir mungkin
ada benarnya, tetapi perlu dipahami bahwa impor terjadi bila ada pelaku dalam
negeri memilih memesan produk dari luar negeri dan bukan dari sumber- sumber
di dalam negeri.
Terlepas dari pilihan sang
importir, Perjanjian Fasilitasi Perdagangan menyediakan platform agar pelaku
usaha lebih efisien mengembangkan bisnisnya. Ini juga berlaku untuk ekspor
Indonesia ke beberapa kawasan yang selama ini sulit ditembus karena tidak ada
transparansi ketentuan, ada biaya tambahan pengurusan dokumen, dan keharusan
menggunakan broker.
Kajian OECD menyimpulkan
bahwa perjanjian ini dapat memberi kontribusi 40 miliar dollar AS kepada
perekonomian dunia dan 75 persennya akan dinikmati oleh negara berkembang dan
kurang berkembang melalui peningkatan perdagangan, partisipasi dalam mata
rantai nilai, dan penciptaan lapangan kerja.
Pertanian
Dapat dikatakan bahwa
”primadona” KTM WTO di Bali adalah isu pertanian, khususnya proposal dari
G-33 terkait pembentukan stok pangan bagi masyarakat miskin dan kelonggaran
subsidi bagi petani miskin. Di sini, negara maju mau duduk bersama membahas
satu dari tiga isu utama perundingan sektor pertanian: domestic support di negara berkembang (dua isu lain
adalah akses pasar dan subsidi ekspor produk pertanian).
Keberhasilan G-33 untuk
mendapatkan peace clause dalam Paket Bali sangat berarti.
Semua negara anggota WTO menyadari bahwa perundingan isu pertanian harus
mencakup ketiga isu di atas. Kesepakatan Bali menyangkut usulan G-33 belum
tuntas, tetapi memberi ruang bagi negara berkembang mengatasi dulu kondisi
domestiknya.
Dengan peace clause, negara berkembang yang
memberikan dukungan domestik melebihi yang disepakati Putaran Uruguay
1986-1994—yakni 10 persen dari total output pertanian—tidak akan dituntut ke
panel sengketa WTO. Solusi permanen atas proposal G-33 tentunya jauh lebih
penting dari sekadar peace
clause yang berlaku empat
tahun.
Perundingan atas proposal
G-33 diwarnai kekhawatiran mengenai potensi terjadinya distorsi pasar,
khususnya bila sengaja atau tidak sengaja stok pangan ”merembes” ke pasar
internasional dan mengganggu ketahanan pangan negara lain.
Dilihat dari kepentingan
Indonesia, kesepakatan di atas akan membantu Indonesia untuk memastikan bahwa
kebijakan subsidi negara lain, seperti Malaysia melalui Bernas dan India
melalui India Food Corp, tidak mendistorsi pasar Indonesia untuk produk
serupa yang dihasilkan petani Indonesia, atau mengganggu kebijakan ketahanan
pangan dalam negeri Indonesia.
Kesepakatan di atas juga
memberi ruang bagi Indonesia untuk subsidi dan tidak akan dianggap menyalahi
perjanjian sepanjang tidak mengganggu pasar negara lain.
WTO dan Indonesia
Prakarsa Indonesia
membentuk dan memimpin G-33 dan menjadi anggota G-20 hanya dua dari banyak
contoh peran aktif Indonesia memperjuangkan negara berkembang dan kurang
berkembang di WTO.
Harus diakui bahwa
perjanjian-perjanjian WTO hasil Putaran Perundingan Uruguay banyak
kekurangan. Tidak saja karena saat perundingan 1986-1994 kapasitas
negara-negara berkembang masih terbatas, tetapi juga karena perekonomian
dunia kini sudah berubah.
Bila WTO memiliki
kekurangan adalah tugas anggota—termasuk Indonesia—untuk memperbaikinya. Kita
tidak dapat menyalahkan WTO, negara maju, atau siapa pun di luar sana atas
hal-hal yang sebetulnya menjadi tugas kita untuk membenahi.
Perizinan yang tidak
perlu, kredit perbankan yang tinggi, zonasi mal dan pasar yang tidak jelas,
alih fungsi lahan pertanian, infrastruktur jalan dan pelabuhan yang kurang,
produktivitas rendah, dan suplai energi yang belum sebanding dengan
peningkatan kegiatan ekonomi harus segera diselesaikan bila Indonesia ingin
memanfaatkan WTO dan sejumlah skema perdagangan secara maksimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar