Rabu, 08 Januari 2014

Menggugat Liberalisasi Gas

                                      Menggugat Liberalisasi Gas

Marwan Batubara  ;   Indonesian Resources Studies (IRESS)
KOMPAS,  08 Januari 2014
                                                                                                                        


LIBERALISASI industri gas nasional bersumber dari Undang-Undang Migas No 22/2001, Peraturan Pemerintah No 36/2004, serta Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No 19/2009.

Dalam UU Migas pola liberalisasi antara lain diperintahkan pada Pasal 10 berupa pemisahan sektor hulu dan hilir, Pasal 28 yang menetapkan harga gas bumi melalui persaingan usaha, serta Pasal 5 yang menyebutkan  pengangkutan sebagai kegiatan usaha. Tiga pasal dalam UU Migas ini menghasilkan kebijakan unbundling dan akses terbuka yang kini ramai dibahas.

Tiga pasal ”liberal” PP No 36/2004 adalah lelang pembangunan transmisi dan distribusi (Pasal 9), penentuan harga gas melalui persaingan usaha (Pasal 72), dan pemanfaatan bersama fasilitas atas pertimbangan teknis dan ekonomis (Pasal 31). 

Liberalisasi dalam Permen ESDM No 19/2009 adalah pemisahan kegiatan usaha pengangkutan dan niaga dengan bentuk badan usaha terpisah, unbundling (Pasal 19), pembukaan infrastruktur gas hilir menjadi akses terbuka (Pasal 13), dan perusahaan niaga tanpa fasilitas, trader/broker (Pasal 9).

Pada Pasal 19 Ayat 1 Permen No 19/2009, badan usaha pemegang izin pengangkutan gas dan hak khusus dilarang melakukan kegiatan usaha niaga melalui fasilitas yang dimiliki. Pada Ayat 2 disebutkan, jika badan usaha pemegang izin itu melakukan usaha  niaga melalui fasilitas yang dimiliki, maka wajib dibentuk badan usaha terpisah yang punya izin usaha niaga. Pembentukan badan usaha harus dilakukan paling lambat dua tahun sejak permen terbit (31/8/2011). Kementerian ESDM telah memperpanjang masa pembentukan itu hingga Oktober 2013, tetapi hingga kini kebijakan itu belum berlaku.

Pro-kontra akses terbuka

Pendukung akses terbuka menyatakan kebijakan ini akan menguntungkan banyak pihak: bisnis berjalan adil dan akuntabel, konsumen seperti industri dan PLN akan mendapat kepastian pasokan gas. Pemilik pipa akan memperoleh tambahan pendapatan dari toll fee, pipa terpakai maksimal, dan mendapat kepastian pengembalian investasi. Penjual gas akan berkompetisi secara sehat mencari pasar dan sumber gas sehingga bisnis lebih adil dan bebas dari percaloan. Pemasok gas mendapat harga jual terbaik.

Penentang akses terbuka menyatakan kebijakan ini membuat harga gas makin mahal karena bertambahnya perusahaan terlibat yang masing-masing membebankan biaya operasi dan margin pada harga jual gas. Diyakini, kebijakan ini akan menguntungkan trader/broker gas yang mengandalkan lobi dan kurang transparan memperoleh pasokan gas.

Akses terbuka menghilangkan motivasi membangun dalam kondisi infrastruktur yang minim dan akan menghambat pembangunan infrastruktur primer karena pemenuhan kebutuhan tersier. Perusahaan Gas Negara (PGN) menentang pemberlakuan akses terbuka karena akan kehilangan sekitar 50 persen pasar akibat infrastruktur yang telah diinvestasi kelak dimanfaatkan trader sehingga kelangsungan bisnisnya terancam.

Saat ini pipa transmisi gas yang dimiliki Indonesia baru 7.900 km. Pada 2025, seiring dengan rencana konversi BBM ke BBG yang diproyeksikan mengatasi krisis energi, diperkirakan kebutuhan pipa transmisi 15.000 km dan pipa distribusi 40.000 km. 

Artinya, dalam 11 tahun mendatang Indonesia harus mampu membangun 7.000 km pipa transmisi dan 35.000 km pipa distribusi. Dalam pola liberal yang berlaku pada 2006, pemerintah menunjuk pemenang pembangunan pipa Kalimantan-Jawa, Gresik-Semarang, dan Cirebon-Semarang. Namun, belum satu pipa pun terbangun! Jadi, target pembangunan puluhan ribu pipa gas pada 2025 tak mungkin tercapai.

Liberalisasi industri gas pun menyebabkan penutupan beberapa perusahaan industri di Sumatera Utara yang berulang pada 2003, 2008, dan 2013. Konsumen gas Jawa Barat kekurangan pasokan akibat tak tersedianya sarana transmisi dari Jawa Timur yang surplus gas. Harga gas di Jawa Barat 10 dollar AS-12 dollar AS per MMBTU, lebih mahal dibandingkan Jawa Timur yang hanya 6 dollar AS-7 dollar AS per MMBTU. Pada pipa SSWJ I-II yang berstatus akses terbuka, PLN tak dapat langsung beli gas produsen, tapi harus lewat PGN. PLN membayar lebih mahal dibandingkan sekadar toll fee dan tambahan biaya ini jadi beban subsidi APBN! Konsumen gas di Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatera Utara, Kalimantan, dan Sulawesi gagal menikmati energi yang murah ini akibat tak laiknya pembangunan infrastruktur  dalam konteks liberalisasi.

Di sisi lain, PGN mengaku melakukan subsidi silang dengan mengenakan harga jual gas pada level tertentu guna membangun infrastruktur. Namun, dari laba bersih rata-rata Rp 7 triliun-Rp 8 triliun per tahun, dalam tiga tahun terakhir tak terjadi penambahan infrastruktur yang signifikan. Berdasarkan Wood McKenzie, return on investment (RoI) PGN rata-rata 32 persen dan merupakan tertinggi di dunia (RoI perusahaan sejenis: 16 persen). UBS Investment Research juga menyebut nilai toll fee dan margin PGN minimal 4 dollar AS per mmbtu atau 200 persen terhadap perolehan Pertagas yang rata-rata 2,2 dollar AS per mmbtu. Perilaku bisnis PGN ini bisa saja dimaklumi karena statusnya sebagai perusahaan publik yang berorientasi untung dan pertumbuhan. Layak dipertanyakan minimnya peran pemerintah dalam mengatur dan mengendalikan PGN.

Monopoli dan perbaikan

Pembangunan infrastruktur gas yang terkendala investasi dan risiko besar secara global selalu dilakukan BUMN sebagai pemegang hak monopoli alami (monopoli yang tercipta karena biaya menghasilkan produk—barang atau jasa—lebih rendah jika dilaksanakan hanya satu perusahaan dibanding dengan oleh beberapa perusahaan bersaing). Umumnya pelaku monopoli ini perusahaan pelayanan seperti listrik, air minum, dan pipa gas.

Pada industri yang bersifat monopoli alami, pengaturan yang berlaku adalah bis- nis teregulasi (negara ”berkuasa”), bukan bisnis terliberasi. Untuk kepentingan rakyat, Pasal 33 UUD 1945 mengamanatkan sektor pelayanan publik ini harus dikuasai negara. Pelaksanaannya oleh BUMN.

Liberalisasi sektor gas di AS dan Eropa dilakukan sebagai upaya mengefisienkan pelayanan setelah seluruh infrastruktur tersedia dan dalam kondisi matang. Kebijakan diawali dengan pengembangan infrastruktur yang masif melalui penerapan monopoli alami. Di AS, deregulasi dilakukan setelah pematangan infrastruktur selama 100 tahun dan masa 20 tahun untuk memenuhi kewajiban unbundling. Di Eropa, unbundling dan akses terbuka dimulai dengan terbitnya Gas Directives pada 1998 dan baru terlaksana setelah sarana transmisi dan distribusinya matang melalui masa pengembangan 10-12 tahun.

Kondisi sarana gas Indonesia saat ini jauh dikatakan matang untuk menerapkan pola akses terbuka dan unbundling. Indonesia baru memiliki sekitar 19,7 persen dari seluruh jaringan pipa gas yang sudah direncanakan. Tingkat kematangan infrastruktur gas Indonesia, apabila diukur berdasarkan panjang pipa terhadap luas wilayah (darat), hanya sekitar 0,006; sangat rendah dibandingkan dengan negara yang telah liberal seperti Italia (0,6), Perancis (0,03), atau AS (0,08). Infrastruktur yang sudah minim semakin diperparah dengan status BUMN gas yang telah diprivatisasi, terpengaruh asing, dan lemahnya kehadiran pemerintah sehingga tak layaklah ditetapkan akses terbuka itu. 

Sudah waktunya pemerintah dan DPR membatalkan rencana akses terbuka dan unbundling industri gas serta memulihkan pengelolaan sektor publik itu sesuai amanat konstitusi. Kebijakan liberal itu telah dipaksakan asing melalui UU Migas No 22/2001 yang, tanpa disadari, telah menguasai 35 persen saham BUMN gas kita. 

Apalagi, untuk wanti-wanti terhadap krisis energi, peran industri gas kian penting dan strategis terkait rencana konversi BBM ke BBG. Karena itu, industri gas nasional harus dikelola sebuah BUMN pemegang hak monopoli alami yang bertugas membangun infrastruktur gas secara masif. Sejumlah ketentuan yang diperlukan harus ditetapkan dalam UU migas baru yang sedang dibahas DPR dengan pemerintah. Pemerintah pun harus berupaya menggabung  BUMN terkait dan beli-balik saham BUMN gas jika diperlukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar