Menatap
Fajar Harapan
Benny Susetyo ; Budayawan
|
KORAN
SINDO, 01 Januari 2014
TANTANGAN kita memasuki 2014 bagaimana bangsa keluar dari lingkaran
kesukuan, keagamaan dan politik identitas. Hal ini membuat bangsa Indonesia
menghabiskan energinya hanya mempersoalkan hal-hal yang tidak penting.
Ini membuat kita tidak mampu bersaing dengan bangsa lain karena kita masih terjebak hal-hal tidak substansial. Hampir separuh waktu kita hanya sia-sia belaka karena waktu hanya digunakan untuk permainan kata-kata politik bersayap. Politik tidak memiliki keadaban publik maka terjadi perselingkuhan antara penguasa dan partai politik dengan pemodal hitam. Perselingkuhan membuat rakyat tertindas, terusir dari negeri tercinta. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk menuju tahun 2014. Apakah kita masih hidup dalam pola-pola lama tanpa mau mengubahnya. Dibutuhkan sebuah langkah meraih masa depan dengan memulihkan kembali keadaban publik. Ini dibutuhkan sebuah spirit kemandirian. Orientasi menuju kemandirian sejati tidak pernah dijadikan pijakan semenjak rezim Orde Baru. Hingga kini arah ekonomi kita cenderung tidak jelas peruntukannya untuk kepentingan semesta Indonesia. Justru lebih banyak sumber daya alam diperuntukkan kepentingan negara maju, dengan kalkulasi yang kurang rasional, misalnya untuk meningkatkan tenaga kerja dan lemahnya sumber daya manusia Indonesia. Akibatnya kekayaan alam berupa minyak, gas, emas, batu bara, serta seisi lautan dikuras habis oleh kepentingan para investor. Pergantian rezim tidak mengubah pola relasi hubungan Indonesia dengan negara maju yang demikian. Tiadanya visi pembangunan ekonomi yang jelas dalam memperkuat posisi tawar rakyat selama ini membuat situasi semakin tidak berpihak kepada kepentingan bangsa. Salah satu titik lemah bangsa ini adalah pada tingkat rasa percaya diri. Kita merasa kurang rasa percaya diri untuk mengelola kekayaan alam yang begitu banyak. Sangat mungkin ini semua terjadi karena masih bercokolnya mentalitas kaum inlander dalam diri kaum elite. Kita sudah kalah sebelum berperang, serta selalu kalah sebelum melakukan segala upaya untuk menciptakan inovasi terhadap semua kekayaan yang ada di bumi tercinta. Para pemimpin selalu tunduk pada negosiasi yang tidak pernah menguntungkan kepentingan kesejahteraan bersama. Tunduk pada mekanisme pasar global yang selalu dijadikan acuan dan alasan dalam berbagai kebijakan ekonomi. Kemandirian? Entahlah di mana ia berada selain sebuah slogan untuk menenangkan hati rakyat. Mengapa kita begitu sulit melihat kesengsaraan yang telah ditimbulkan akibat kesalahan kebijakan ekonomi dan bahkan ini sudah kita rasakan bertahuntahun? Kesengsaraan tersebut tercermin bukan saja dari ketergantungan yang makin tinggi dan kuat, melainkan karena ketergantungan terhadap negara maju yang tiada terkikis. Berpuluh tahun kita tidak bisa berdikari alias berdiri di kaki sendiri. Juga tak pernah sepenuhnya menyadari bahwa kebergantungan inilah yang membuat bangsa ini tak mampu membuat rakyatnya sejahtera. Pembangunan yang selalu dibiayai dengan utang dan ketergantungan hanya akan membatasi keberpihakan kita terhadap rakyat. Kekuasaan ada di si empunya uang, dan pelan tapi pasti, kedaulatan negara kita runtuh oleh titah si empunya uang. Mengapakah kita tidak bisa berpikir logis bahwa bangsa ini memiliki potensi yang luar biasa. Kita bisa hidup mandiri tanpa melulu tergantung pada kekuatan asing. Kita bisa mengembangkan sumber daya alam yang kita miliki dan sungguh-sungguh kita berikan pemanfaatannya kepada rakyat semesta. Indonesia masih mempunyai sumber daya alam yang bisa digunakan untuk menjalankan pembangunannya, dan sejauh ini sumber daya alam tersebut belum sepenuhnya digunakan untuk kepentingan rakyat. Kini semua kesadaran tersebut perlu dibangun lagi dengan pendasaran kesadaran bahwa melakukan utang luar negeri terlampau banyak risiko dan kerugiannya daripada kemanfaatannya. Seharusnya kita bisa berasa yakin dan berani keluar dari lingkaran setan itu, lalu memutuskan untuk berdikari sebagai langkah yang akan mendapatkan dukungan dari seluruh bangsa. Perlu disadari bahwa apa yang dilakukan oleh negara dalam kebijakannya yang terlalu dan selalu bergantung kepada negara maju hanya akan berdampak sesaat buat rakyat, tapi akan menyengsarakan dalam jangka panjang. Keindonesiaan, di mana? Di sinilah perlunya kita membaca kembali keindonesiaan kita yang menjadi hal paling mendasar untuk menghadapi ekonomi global. Kekuatan ekonomi global dengan mekanisme pasar bebas yang dipaksakan oleh negara maju membuat daya tahan ekonomi bangsa ini semakin terpuruk. Daya saing produk lokal semakin hari terpinggirkan dalam komunitasnya sendiri. Produk dalam negeri tak mampu lagi bersaing dengan produk dari negara industri baru seperti China, Thailand, atau Malaysia. Produk mereka sekarang ini membanjiri pasar dalam negeri. Ini merupakan cermin dari gagalnya sebuah bangsa membangun identitas kemandirian lokal. Kemandirian ekonomi menjadi mitos bangsa ini, karena usaha-usaha untuk mewujudkan tidak pernah dijadikan sebuah kebijakan untuk mendorong industri lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Melimpahnya produk asing merupakan cermin bahwa bangsa tidak memiliki daya tawar untuk membangun alternatif ekonomi yang bersendikan kekuatan diri sendiri. Indonesia terlalu lama terkungkung dalam utang dan ketergantungan. Kita tidak bergerak bebas karena utang ini. Bahkan, terlampau banyak kebijakan politik yang dibuat tidak diperuntukkan rakyat hanya karena itu semacam pesanan dari negara pendonor. Kini kita sudah mulai memutuskan sesuatu yang diharapkan sangat bermanfaat bagi kemakmuran bangsa ini. Sumber daya alam tersedia di seluruh Nusantara, tinggal memikirkan bagaimana mengelolanya. Energi alternatif sudah dimulai dipikirkan, sedangkan negara lain masih memikirkan sumbernya. Kini yang dibutuhkan adalah keberanian dari para pemimpin dan elite bangsa untuk memulai kultur baru, yakni mendayagunakan kemampuan diri sendiri. Yang dibutuhkan saat ini adalah pemimpin yang berani keluar dari lingkaran setan kebergantungan pada negara maju. Pemimpin yang mampu menggerakkan potensi rakyat untuk mengembangkan apa yang dimiliki bangsa ini. Pemimpin yang cerdas dan kritis yang mampu berpikir untuk berbuat apa yang seharusnya tanpa perlu bergantung pada negara maju. Dalam konteks regional, tantangan inilah yang seharusnya bisa menyatukan masyarakat Asia untuk mencari titik temu dalam membangun kerja sama. Titik temu kerja sama di antara warga Asia yang sudah bermodal ikatan rumpun yang sama sekaligus orientasi teologi yang mendalam menuju kebenaran ilahi. Saatnya menata dunia baru yang berdasarkan nilai-nilai kebersamaan untuk menyatukan Indonesia khususnya dan Asia sebagai kebangsaan yang memiliki peradaban di dunia ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar