Kontroversi Asuransi Pertanian
Darby Jusbar Salim ; Konsultan Keuangan dan Perbankan yang Banyak Bergerak
di Sektor Pedesaan
|
KOMPAS,
24 Januari 2014
BARU-baru
ini, Menteri Pertanian mencanangkan akan memberikan asuransi terhadap sektor
tanaman pangan terkait dengan risiko gagal panen. Pesertanya adalah para
petani padi dengan luas garapan kurang dari 2 hektar. Menurut Mentan, langkah
ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Pasal 27, 28, dan 29
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Dari premi total Rp 180.000 per
hektar (ha), petani hanya membayar Rp 36.000 dan sisanya disubsidi
pemerintah. Menteri Pertanian (Mentan) telah mengalokasikan anggaran Rp
150 miliar untuk membayar premi lahan padi seluas 1 juta ha.
Apakah tindakan ini bermanfaat,
sejauh mana pengaruhnya terhadap peningkatan produksi pangan? Mengapa hanya
petani padi yang diasuransikan, apakah petani tanaman lain dianggap kurang
penting?
Berdasarkan data Pusat Data,
Statistik, dan Informasi Kementerian Pertanian (Pusdatin Kementan), total
lahan panen pada tahun 2012 adalah 225,3 juta ha, terdiri dari tanaman pangan
19,9 juta ha dan hortikultura 205,4 juta ha. Adapun tanaman padi 13,5 juta
ha, hanya 5,97 persen dari total lahan panen seluruhnya.
Yang sangat besar pangsanya adalah
tanaman rempah, seperti jahe dan kunyit, sekitar 164,14 juta ha atau 79,9
persen; tanaman hias sekitar 17,2 persen; jagung dan kacang-kacangan sekitar
5,1 juta ha atau 2,3 persen. Adapun yang lain, seperti umbi-umbian,
sayur-sayuran, dan buah-buahan, ketiga kelompok ini rata-rata sekitar 1,3
juta ha atau kontribusinya 0,6 persen.
Mengapa hanya petani padi yang
dilindungi? Bukan hanya petani padi yang pernah gagal panen, petani sayuran
juga, apalagi seperti yang dialami petani bawang merah di Brebes beberapa
waktu lalu.
Petani sayuran seperti kol pun
berisiko tinggi gagal panen. Belum lagi petani jagung dan ubi yang juga
termasuk komoditas pangan.
Pahami masalah
Sebenarnya yang perlu dipahami
Mentan adalah penyebab terjadinya gagal panen. Umumnya gagal panen banyak
disebabkan oleh iklim, terlalu kering, atau juga serangan hama.
Kedua hal ini bisa diatasi bila
pihak Kementan mau bekerja lebih keras dan tidak sekadar mencari jalan pintas,
termasuk memanfaatkan Litbang Pertanian yang banyak membuat penelitian
bersifat terapan.
Dalam hal mengatasi kekeringan,
pihak Kementan seharusnya mencari solusi dalam hal teknologi pengadaan air
untuk daerah-daerah yang sering dilanda kekeringan.
Bila mampu mengelola, Indonesia
sebenarnya tidak perlu kekurangan air karena setiap tahun setidak-tidaknya
ada enam bulan musim hujan. Apakah kita harus belajar dari Timur Tengah yang
mampu melakukan penghijauan di area berpasir?
Demikian pula halnya dengan
masalah serangan hama, yang berpangkal pada teknis budidaya dan ketersediaan
obat pembasmi hama.
Maka yang seharusnya dilakukan
Mentan adalah menyusun strategi budidaya yang jelas dalam pengembangan sektor
pertanian.
Paling tidak ada tiga titik
pengembangan yang harus diperhatikan dalam budidaya tanaman pangan ataupun
hortikultura. Pertama, saat persiapan musim tanam harus ada jaminan
ketersediaan bibit, pupuk, dan obat- obatan, dan petani tidak kesulitan
mendapatkannya—dengan harga wajar.
Kedua, jaminan yang sama selama
masa pemeliharaan untuk ketersediaan pupuk dan obat-obatan. Ketiga adalah
ketika panen. Apakah harga yang diberlakukan kepada mereka cukup wajar dan
dapat memberikan keuntungan yang memadai.
Bila jawabannya ”ya”, pada musim
tanam berikutnya petani akan bergairah mempersiapkan tanamannya. Hal lain
yang tidak kalah penting adalah pendampingan intensif dari petugas penyuluh
lapangan (PPL).
Apakah masalah-masalah ini sudah
ditangani dengan benar oleh Kementan? Kita ingat pada masa Orde Baru, sektor
pertanian mengalami kejayaan.
Ketika itu seluruh titik
pengembangan ditangani sebaik-baiknya oleh pemerintah. Pengadaan pupuk mudah
dan murah, demikian pula obat-obatan, dan pendampingan intensif oleh PPL
serta imbal harga yang wajar terhadap produk yang dihasilkan petani. Bila hal
ini ditangani dengan benar, kemungkinan besar gagal panen dapat ditekan.
Eskapisme
Asuransi untuk lahan padi bukan
jalan yang tepat karena sekadar eskapisme dari ketidakberdayaan. Ini
merupakan upaya menutupi ketidakmampuan Kementan dalam melihat dan menangani
persoalan yang dihadapi sektor pertanian.
Bahkan dengan tindakan ini,
semakin tampak Mentan beserta jajarannya tidak mempunyaimasterplan yang
jelas dalam mengembangkan sektor yang menjadi tanggung jawabnya.
Bila petani padi diberi asuransi,
tentunya akan menimbulkan kecemburuan di kalangan petani lainnya. Padahal
petani lainnya juga merasakan bagaimana gagalnya panen akibat serangan hama
ataupun iklim yang sangat kering.
Artinya, Mentan telah melakukan
diskriminasi terhadap petani lainnya. Inilah kontroversi pertanian itu.
Asuransi pertanian bukan terapi yang tepat untuk pengembangan petani.
Dengan demikian, asuransi
pertanian tidak diperlukan dan dana yang tersedia bisa digunakan untuk hal
yang lebih bermanfaat lainnya.
Dana seperti ini sangat rentan
untuk disimpangkan, apalagi ini menjelang Pemilu 2014. Mentan hendaknya
menghentikan kebijakannya yang menjurus ke malapraktik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar