Jebakan
Negara Pendapatan Menengah
Rokhmin Dahuri ;
Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Maritim
dan Perikanan
|
KORAN
SINDO, 08 Januari 2014
Seperti halnya kehidupan seorang insan, pertumbuhan dan kemajuan
sebuah negara-bangsa pun melalui tahapan demi tahapan. Tidak ada negara yang
begitu lahir, langsung menjadi maju dan makmur.
Dari segi pendapatan per kapita penduduknya, negara-negara di dunia digolongkan menjadi tiga kelompok: negara berpendapatan rendah (PDB per kapita lebih kecil dari USD1.000), menengah (PDB per kapita lebih besar dari USD1.000 sampai USD10.000), dan tinggi (PDB per kapita lebih besar dari USD10.000) (Bank Dunia, 2001). Semua bangsa tentu ingin negaranya menjadi maju dan makmur (berpendapatan tinggi). Namun, rupanya tidak mudah bagi sebuah negara untuk naik kelas dari berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi. Buktinya dari 113 negara yang telah berstatus berpendapatan menengah sejak 1960, hanya 13 negara yang sampai sekarang berhasil naik kelas menjadi negara berpendapatan tinggi, antara lain Jepang, Australia, Selandia Baru, Korea Selatan, Singapura, Arab Saudi, dan Qatar. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Suatu negara dikatakan tidak terperangkap jebakan negara berpendapatan menengah (middle-income trap), bila ia mampu naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi dalam waktu paling lama 42 tahun. Indonesia hingga kini telah 26 tahun berstatus sebagai negara berpendapatan menengah. Artinya, jika tidak ingin terjebak dalam middleincome trap, PDB per kapita Indonesia pada tahun 2030 atau 16 tahun lagi harus lebih besar dari USD10.000. Kendala dan Permasalahan Indonesia menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi hanya 9 tahun, sejak naik kelas dari negara berpendapatan rendah ke berpendapatan menengah pada 1988 sampai krisis ekonomi pada 1997. Dari 1997 hingga 1999, perekonomian Indonesia tumbuh negatif. Baru pada tahun 2000 ekonomi mulai tumbuh positif dan perlahan meningkat, sehingga menghasilkan rata-rata pertumbuhan ekonomi 5,4% per tahun dari 2002 sampai 2012 (Mc Kinsey, 2012). Dalam dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Indonesia sebagian besar (70%) bertumpu pada sektor non-tradable, konsumsi, impor, dan ekspor komoditas mentah, bukan dari investasi sektor riil tradable. Sejumlah industri unggulan yang sejak Orde Baru menjadi andalan perekonomian nasional, seperti tekstil, automotif, dan elektronik, ternyata sebagian besar bahan baku dan bahan penolongnya berasal dari impor yang sangat volatil terhadap fluktuasi ekonomi dunia. Yang lebih memilukan, sejak diberlakukannya CAFTA (China-ASEAN Free Trade Agreement), volume dan nilai impor migas, tekstil, elektronik, dan produk pangan pun terus membengkak. Inilah yang menyebabkan defisit neraca perdagangan selama dua tahun terakhir, dan defisit transaksi berjalan sejak enam bulan lalu. Pada triwulan-II tahun ini, transaksi berjalan mengalami defisit USD9,8 miliar atau 4,4% terhadap PDB. Lebih dari itu, karena pertumbuhan ekonomi terlalu mengandalkan pada konsumsi, sektor non-tradable, dan investasi portofolio, maka sebagian besar kegiatan ekonominya berlangsung di Jabodetabek dan kota-kota besar, dan hanya sedikit menciptakan lapangan kerja. Sekitar 60% total investasi terdapat di Pulau Jawa, yang luasnya hanya 6% dari total luas lahan Indonesia. Dalam pada itu, sektor pertanian, kelautan dan perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian dari 49% total angkatan kerja Indonesia (123 juta orang) mengalami penurunan produktivitas dan daya saing, terutama akibat kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada dua sektor ini. Kekeliruan pemerintah dalam mengembangkan pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan rendahnya kapasitas produksi dan daya saing nasional. Akibat dari kapasitas produksi nasional yang lebih rendah ketimbang laju konsumsinya, dan daya saing bangsa yang rendah, maka setelah tumbuh cukup tinggi di atas 6% selama 2010–2012, sejak awal tahun lalu mesin perekonomian Indonesia mulai kepanasan. Pada 2013, ekonomi hanya tumbuh 5,7% dari target 6,4%, dan tahun ini diperkirakan laju pertumbuhannya akan semakin menurun menjadi 5,4%. Jika kita tidak segera melakukan perubahan mendasar dalam struktur ekonomi dan industri nasional, dan dalam hal etos kerja, maka bukan mustahil Indonesia bakal terjebak dalam middle-income trap. Artinya, Indonesia tidak bisa menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Oleh karena itu, tantangan utama bagi Presiden terpilih pada Pilpres 2014 adalah bagaimana mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah. Keluar dari Jebakan Saat ini PDB per kapita Indonesia sebesar USD5.170, alias negara berpendapatan menengah- bawah. Maka untuk naik kelas dari negara berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi, kita harus mampu meningkatkan PDB per kapita sedikitnya USD4.831 dalam 16 tahun ke depan (2030). Pengalaman empiris dari semua negara yang berhasil naik kelasdari negara berpendapatan menengah ke berpendapatan tinggi adalah bahwa mereka mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata di atas 7% per tahun) dan berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dengan ratarata pendapatan per kapita lebih besar dari USD10.000 dolar) dalam waktu lama. Pada tataran makro, kondisi pertumbuhan ekonomi semacam itu mereka raih dengan cara mengembangkandaya saing ekonomi nasional berbasis inovasi, SDM berkualitas, dan memanfaatkan SDA yang dimilikinya secara berkesinambungan. Pada tataran mikroekonomi, pemerintah membangun infrastruktur, suplai energi, kemudahan berbisnis, dan iklim investasi yang kondusif bagi tumbuh kembangnya perusahaan-perusahaan swasta, BUMN, koperasi, atau unit-unit bisnis UKM berkelas dunia. Maka untuk keluar dari middle-income trap, kita harus melakukan strategi pembangunan ganda (a dual-track development strategy) secara simultan. Pada jalur (track) pertama, dalam jangka pendek sampai menengah (1 sampai 5 tahun mendatang), kita mesti menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (di atas 8% per tahun) yang dapat menyerap banyak tenaga kerja dengan pendapatan rata-rata sedikitnya USD7.250 (pendapatan minimal untuk negara berpendapatan menengah atas) dan tersebar secara proporsional di seluruh wilayah NKRI secara berkelanjutan. Ini sangat mungkin kita realisasikan dengan meningkatkan produktivitas, nilai tambah, dan daya saing sektor-sektor ekonomi SDA (pertanian, kelautan dan perikanan, kehutanan, ESDM, dan pariwisata) secara berkeadilan dan ramah lingkungan. Melakukan ekstensifikasi dan diversifikasi sektor ekonomi SDA berbasis inovasi ramah lingkungan, terutama di luar Jawa dan Bali. Selain itu, kita harus melaksanakan revitalisasi industri-industri yang selama ini menjadi unggulan nasional. Di jalur kedua, mulai sekarang sampai 25 tahun ke depan (jangka panjang), kita harus secara terencana, sistematis, dan berkesinambungan melakukan transformasi struktur ekonomi nasional. Ini meliputi realokasi sejumlah aset ekonomi produktif dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan tradisional; dan sektor ESDM yang selama ini minim hilirisasi dan tidak ramah lingkungan ke sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan modern yang ramah lingkungan; sektor ESDM dengan hilirisasi yang ramah lingkungan; sektor industri; dan sektor jasa yang lebih produktif, bernilai tambah, dan berdaya saing. Selain itu, transformasi struktur ekonomi juga berarti upaya peningkatan kapasitas bangsauntuk:(1) mengembangkan dan mendiversifikasi struktur produksi domestik; (2) mengembangkan sektor-sektor ekonomi baru yang lebih produktif dan berdaya saing (seperti kelautan, industri kreatif, teknologi informasi, transportasi, komunikasi, energi baru dan terbarukan, bioteknologi, nanoteknologi, dan newmaterials);(3) memperkukuh keterkaitan ekonomi (economic linkages) antarsektor pembangunan dan antarwilayah di dalam negeri; (4) meningkatkan kapasitas teknologi nasional; dan(5) meningkatkan peran Indonesia dalam sistem rantai produksi global (global supply chain system) untuk kepentingan nasional. Untuk mendukung kedua strategi pembangunan itu mutlak diperlukan SDM Indonesia yang lebih berkualitas, memiliki pengetahuan, keahlian, etos kerja unggul, dan akhlak mulia. Di era globalisasi dan global warming ini, kita juga membutuhkan SDM yang memiliki kreativitas, inovasi, kemampuan memecahkan masalah, dan sadar serta peduli lingkungan. Di sinilah kita harus secara fundamental memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, pendidikan, dan R & D (penelitian dan pengembangan) supaya mampu memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan dinamika global. Supaya a dual-track development strategy di atas dapat berjalan dengan baik, kita harus merestorasi dan mengembangkan tata ruang wilayah, infrastruktur, logistik, suplai energi, serta kemudahan berbisnis dan iklim investasi yang atraktif di seluruh wilayah nusantara, khususnya di luar Jawa dan Bali. Lebih dari itu, sistem politik hukum harus dapat menjamin stabilitas yang dinamis, rasa aman, keadilan dan kepastian hukum, kesinambungan dan konsistensi kebijakan pemerintah, dan terbangunnya masyarakat meritokrasi, yakni sebuah sistem kehidupan masyarakat yang dapat menumbuhkembangkan SDM berkualitas, warga negara yang baik, bekerja keras, cerdas, dan ikhlas untuk kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsanya. Sebaliknya, mencegah, memberikan hukuman yang berat, dan meminimalisasi jumlah warga negara yang jahat, malas, preman, dan komprador. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar