Kamis, 16 Januari 2014

Ironi (Negara) Hukum

Ironi (Negara) Hukum

W Riawan Tjandra  ;  Pengajar pada Fakultas Hukum,
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO,  16 Januari 2014
                                                                                                                       


Silang pendapat soal urgensi pelantikan calon kepala daerah terpilih yang menjadi tersangka tindak pidana korupsi (tipikor) di satu sisi, dan di sisi lain keharusan untuk menonaktifkan kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka tipikor yang sempat muncul beberapa waktu lalu dan hingga kini belum ada solusi memadai, sejatinya tak cukup hanya diselesaikan melalui tafsir gramatikal dalam dogmatisme pemaknaan teks undang-undang. 

Diskursus itu mengemuka terkait kasus hukum yang menimpa Hambit Bintih, calon bupati terpilih Kabupaten Gunung Mas Kalteng dan Ratu Atut Chosiyah, gubernur Banten, yang keduanya diduga terlibat dalam kasus suap pemilukada terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Undang-Undang Pemerintahan Daerah saat ini (UU No 32 Tahun 2004 joUU No 12 Tahun 2008) belum secara eksplisit memberikan solusi terhadap diskursus tersebut. 

Bahkan, jika didramatisasi dengan mendalihkan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) seolah-olah melantik calon kepala daerah terpilih yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tipikor atau tetap mengaktifkan kepala daerah yang sudah ditetapkan sebagai tersangka tipikor, dianggap menjadi tafsir yang sahih atas makna undang-undang. 

Cara berpikir demikian terbalik. Justru dalam hal seseorang yang terpilih menjadi seorang pejabat ditetapkan oleh KPK menjadi tersangka tipikor, yang bersangkutan harus dinyatakan tidak memenuhi asas kepantasan untuk menjabat/dilantik. Demikian juga seorang pejabat yang telah ditetapkan sebagai tersangka tipikor, demi asas kepantasan yang bersangkutan demi hukum seharusnya dinyatakan nonaktif guna memudahkan proses hukum berjalan. 

Pasal 27 ayat (1) UUD Negara RI 1945 telah meletakkan fondasi bahwa setiap orang sama di hadapan hukum (equality before the law) Dalam perspektif negara hukum, asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau asas legalitas merupakan hal yang tidak dapat dielakkan, namun secara historis dapat dijelaskan bahwa tumbuh dan berkembangnya asas legalitas atau principle of legality sebagai asas mendasar dalam hukum pidana pada sebagian sistem peradilan pidana muncul pada Abad Pencerahan atau Zaman Aufklarung, yaitu abad ke-15 yang didominasi oleh pandangan realisme. 

Hal ini tidak terlepas dari pengaruh perubahan peta pemikiran politik dan filsafat hukum yang berkembang di daratan Eropa. Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada masyarakat. Perundang-undangan pidana menyediakan konsesi melindungi rakyat dari pelaksanaan kekuasaan tanpa batas dari pemerintah atau kekuasaan negara. Eksistensi asas legalitas merupakan komplemen dari asas praduga tak bersalah. Hal itulah yang mengharuskan dalam proses hukum seseorang hanya bisa dituntut di muka hukum berdasarkan paling sedikit dua alat bukti. 

UU KPK telah mengatur secara lebih ketat persyaratan bagi proses hukum dalam tipikor, sehingga bagi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK hampir mustahil akan lepas dari jerat hukum. Hal itu disebabkan karakter tipikor yang dinisbahkan sebagai suatu extra-ordinary crime. Maka, justru merupakan suatu kekeliruan berpikir (fallacy) jika menggunakan asas praduga tak bersalah sebagai dalih untuk mempertahankan posisi hukum pejabat tersangka korupsi dalam jabatannya atau tetap melantik seseorang yang telah menjadi tersangka korupsi untuk menjadi pejabat. 
Membaca dan memaknai undang-undang, sejatinya adalah sebuah semiotika intertekstualitas. Pesan sebuah undangundang harus dimaknai dalam bingkai moralitas yang terkandung dalam rasa keadilan sosial. Makna teks ditemukan dalam kontekstualitasnya. Maka itu, ilmu hukum tidak merujuk hanya pada satu sumber hukum tunggal yang berupa teks undang-undang yang bersifat tertulis saja. 

Sumber hukum bisa berupa sumber hukum formal yang berwujud peraturan perundang-undangan yang bersifat hierarkis dan sumber hukum material yang berwujud nilai filosofis maupun sosiologis. Dalam diskursus pelantikan calon pejabat yang terjerat kasus korupsi dan penonaktifan pejabat yang menjadi tersangka tipikor, sumber hukum sosiologis mengajarkan pemaknaan intertekstualitas untuk mencari rujukan makna undang-undang dalam kontekstualisasi rasa keadilan sosial. 

Maka, konsiderasi dalam konstruksi undang-undang selalu berwujud pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis. Hal itu berarti undangundang harus dipahami dalam konsiderasi filosofis dan sosiologisnya. Rasionalitas hukum harusditemukandalamhakikatnya untuk memastikan terpenuhinya dimensi keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. 

Moralitas tafsir undang-undang adalah kemampuan menghilangkan kesenjangan antara yang seharusnya (das solen) dan yang senyatanya terjadi (das sein), karena norma hukum harus bersifat aktual dan faktual. Melantik calon kepala daerah yang telah menjadi tersangka kasus korupsi justru mengingkari kepastian hukum karena melucuti makna undang-undang dari konteks filosofinya untuk memberikan rasa keadilan dengan melegalisasikan perilaku koruptif yang merampas hak-hak rakyat. 

Di sisi lain, hal itu juga mencabut makna undang-undang dari konteks sosiologisnya, karena dimensi utopis arti dari pelantikan pejabat tersangka korupsi. Pejabat semacam itu bukan hanya tak perlu dilantik, namun seharusnya didiskualifikasi dari kontestasi pemilukada. Mana mungkin seseorang menjadi pejabat, tetapi di saat yang sama juga menjadi (calon) penjahat? 

Logika yang sama juga bisa digunakan untuk mempertanyakan atas alasan apa seseorang yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tipikor oleh KPK berdasarkan UU KPK yang memastikan bahwa yang bersangkutan akan menjadi terdakwa dan terpidana tipikor, masih dilegalisasikan untuk mempertahankan jabatannya? Menetapkan seseorang sebagai tersangka merupakan tindakan sadar negara untuk mengeksklusikannya dari relasi sosial normal karena kepadanya ingin dipastikan ada atau tidaknya kesalahan berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 

Melantik seseorang menjadi pejabat adalah pengakuan negara mengenai kapasitas moral dan individual seseorang yang telah terpilih menjadi pemimpin yang selanjutnya akan menjadi panutan/ suri teladan rakyat yang dipimpinnya. Demikian juga mempertahankan pejabat tersangka korupsi. Dua opsi yang kontradiktif tersebut harus dipilih salah satu oleh negara jika seseorang yang dipilih rakyatnya ternyata juga seorang tersangka tipikor di KPK. 

Negeri ini akan menjadi schizoprenic-state jika kedua hal itu dilakukan bersamaan: menetapkan seseorang menjadi tersangka bersamaan dengan melantiknya atau tetap mengakuinya menjadi pejabat/pemimpin rakyat!
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar