Jumat, 24 Januari 2014

Dari Teologi Hewan ke Khalifah

Dari Teologi Hewan ke Khalifah

M Hasan Mutawakkil Alallah   ;    Ketua Tanfidziyah PW NU Jawa Timur 
JAWA POS,  24 Januari 2014
                                                                                                                        
                                                                                         
                                                      
MATINYA sejumlah hewan di kandang sendiri secara tiba-tiba di Kebun Binatang Surabaya (KBS) memunculkan beberapa kejanggalan. Indikasi adanya kesengajaan yang menyebabkan kematian sejumlah binatang tersebut sedang didalami oleh kepolisian. Petunjuk adanya malapraktik dalam pengelolaan kebun binatang itu juga sedang dicarikan solusinya langsung oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. 

Saya lalu melihat pentingnya diperkuat kembali apa yang saya sebut dengan teologi hewan. Penguatan teologi hewan ini sudah mendesak dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran baru terhadap hewan atau binatang dengan segala hak hidup dan penghidupan yang tidak kalah pentingnya dengan makhluk lainnya, seperti manusia. Teologi hewan ini lalu bisa digunakan sebagai sumber nilai dan kesadaran dalam pengelolaan kebun binatang.

Sebagai dasar pengembangan teologi hewan di atas, patut dicatat bahwa dari makna dasarnya, kata "Islam" mengandung dua semangat dasar: ketundukan total dan penyelamatan. Ketundukan total di sini memberikan arti bahwa Islam mengembangkan nilai ketulusan puncak dalam menjalani hidup dan kehidupan. 

Karena itulah, Islam mengembangkan ajaran dan konsep rahmatan lil 'alamin. Islam tidak hanya memberikan keberkahan kepada manusia semata, melainkan kepada semua alam semesta. Kepentingan sempit dengan menjadikan diri sendiri sebagai pangkal dan ujung bagi keberkahan hanya menjadikan diri tersebut kehilangan keberkahan Islam sesungguhnya. Muslim sejati justru menjadikan dirinya sebagai sumber keberkahan bagi semua makhluk. 

Hewan dan atau binatang adalah bagian dari makhluk Allah yang diciptakan untuk menjadi penghuni alam raya ini. Karena itu, pemanfaatan terhadap isi alam ini harus dilakukan dengan baik, seimbang, dan tanpa menyiksa. penyembelihan binatang, sebagai misal, tidak diperbolehkan adanya cara-cara yang menimbulkan kesakitan hebat dan penyiksaan kepada binatang. 

Dalam Alquran terdapat sejumlah surat yang memakai nama-nama binatang dalam penamaannya. Sebut saja beberapa di antaranya Surat al-Baqarah (sapi betina), Surat al-An'am (binatang-binatang), al-'Ankabut (laba-laba), dan al-Naml (semut). Walaupun kandungan dari setiap surat tersebut tidak seluruhnya membahas secara spesifik perihal hewan atau bintang yang dijadikan nama setiap surat dimaksud, Alquran menjadikan nama binatang dimaksud sebagai nama surat yang berarti sekaligus penanda bagi surat dimaksud. 

Sebagai contoh, surat Al-Baqarah walaupun berarti sapi betina tidak membahas secara eksklusif perihal persapian secara umum atau persapian yang berjenis betina. Iman kepada yang gaib, karakter iman, dan juga karakter munafik menjadi bagian dari pembahasan penting dalam surat tersebut. 

Teologi hewan di atas penting untuk diperkuat di dalam kesadaran manusia. Kepentingannya tidak sekadar ukhrowi, melainkan juga duniawi. Konkretnya begini: menyayangi binatang tidak saja akan berujung pada perolehan pahala, melainkan juga bermuara pada kepentingan keseimbangan ekosistem. Ragam alam raya harus dipelihara untuk terciptanya keseimbangan. Hilangnya keseimbangan alam akan berujung pada bencana alam.

Itu semua sudah menjadi hukum alam. Maka, teologi hewan penting untuk menciptakan keseimbangan ekosistem di atas. Perlakuan yang berujung pada pemusnahan binatang akan menjadi awal runtuhnya keseimbangan ekosistem dimaksud. Apalagi jika pemusnahan itu beririsan dengan kepentingan sekelompok manusia yang haus terhadap kekuasaan politik dan uang. 

Menguatnya teologi hewan dalam pemahaman diri manusia akan mengembangkan kesadaran bahwa mereka adalah khalifah atas alam semesta. Kata "khalifah" memang berarti "wakil". Tetapi, tersirat dalam makna wakil tersebut adalah kesadaran dan kemampuan untuk mengatur secara apik atas objek yang berada di bawah pengelolaannya. Maka, khalifah atas alam semesta berarti bahwa manusia harus kapabel dan terampil dalam mengelola alam raya dengan baik penuh keseimbangan demi kemaslahatan semesta pula. 

Nah, penguatan teologi hewan dan kesadaran sebagai khalifah di atas memiliki dampak terhadap kepentingan pengelolaan kebun binatang. Konkretnya, manajemen kebun binatang sejatinya dilakukan untuk kemaslahatan semesta dengan tanpa menjadikan binatang sebagai komoditas eksploitasi ekonomi-politik hingga hak-haknya terabaikan.

Motif konservasi dan tourism memang kuat melekat pada keberadaan kebun binatang. Konservasi dimaksudkan agar upaya untuk menjaga dan melestarikan satwa bisa terkonsentrasi dengan baik. Namun, harus diakui, kepentingan untuk melakukan konservasi itu selalu diiringi dengan kepentingan untuk menjadikan kebun binatang sebagai tempat tujuan pariwisata. 

Nah, dalam kaitan ini, teologi hewan dan kesadaran sebagai khalifah mengantarkan pengelola untuk bisa memiliki basis spiritual kuat dalam mewujudkan kebun binatang sebagai tempat nyaman dan aman bagi para satwa. Dasar kesadaran spiritual ini akan menjauhkan pengelola kebun binatang dari kehilangan roh utama taman satwa ini sebagai tempat konservasi binatang. 

Negeri ini memang ditakdirkan dengan kekayaan alam, termasuk satwa, yang berlimpah. Negeri ini perlu menjadi bukti konkret bahwa penduduknya juga ramah terhadap semua makhluk. Dan, ini tanggung jawab kita bersama, bukan hanya presiden RI atau wali kota Surabaya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar