Banalitas Demokrasi Kita
Masdar Hilmy ; Dosen UIN Sunan Ampel
|
KOMPAS,
24 Januari 2014
AKANKAH demokrasi menjadi business as usual, ataukah terjadi
peningkatan cukup signifikan dalam hal kematangan dan kualitasnya, merupakan
teka-teki yang tak mudah dijawab di ”tahun politik” 2014.
Harus diakui derap
demokrasi kita selama 15 tahun di era reformasi berjalan sangat lamban. Meski
demikian, apa yang telah dicapai oleh bangsa ini semestinya menjadi semacam
tonggak dalam mengidentifikasi dan menyempurnakan celah-celah kelemahan
demokrasi kita.
Dalam konteks ini,
2014 adalah tahun pertaruhan bagi kualitas demokrasi kita. Jika demokrasi
hanya dipahami sebatas perebutan kuasa di medan politik, dipastikan kualitas
demokrasi mengalami stagnasi. Inilah bentuk pendangkalan demokrasi paling
klasik: demokrasi dibajak para gerombolan yang hanya mencari peruntungan
belaka.
Sebaliknya, jika demokrasi dipahami dan dipraktikkan sebagai
keseluruhan sistem bernegara-bangsa menuju sebuah tatanan kehidupan yang
lebih baik, beradab, dan sejahtera lahir batin, barulah peningkatan kualitas
demokrasi dapat dirasakan.
Politik sebagai Industri
Dilihat dari indikator
politik elektoral, ”prestasi” demokrasi kita sungguh mengagumkan. Tidak ada
keraguan sedikit pun atas capaian demokrasi elektoral di negeri ini. Buahnya,
dunia mengakui Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga setelah AS
dan India.
Demokrasi sebagai
mekanisme mobilitas vertikal juga telah berhasil mengantarkan beribu-ribu
politisi ke gedung-gedung parlemen. Selain itu, ratusan kepala daerah telah
ditahbiskan melalui mekanisme demokrasi elektoral. Demokrasi hanya menyisakan
”sedikit” masalah, terutama terkait sengketa dan kisruh pilkada di sejumlah
daerah.
Namun, justru di
sinilah sengkarut demokrasi bermula. Demokrasi mengalami pendangkalan makna
akibat dominannya nalar proseduralisme. Demokrasi berkawin-mawin dengan
pragmatisme sempit dan segala bentuk kenyamanan material.
Dalam kondisi semacam
ini, political suffrage jadi
berhala baru dalam demokrasi. Demokrasi menjelma jadi industri, medan paling
sempurna bagi segala bentuk transaksi banal. Sebagaimana layaknya dunia
industri, maka yang berlaku dalam demokrasi semacam ini adalah hukum
pertukaran: siapa mendapatkan apa. Modus pertukaran semacam inilah yang
menstimulasi libido para pialang dan petualang politik untuk mengeruk
keuntungan dari segala hiruk pikuk dan riuh rendah politik keseharian.
Saat kampanye dan
menjelang pemilu, triliunan rupiah menguap untuk membeli suara politik. Biaya
politik jadi pembenaran bagi keterlibatan para politisi dalam medan
demokrasi. Sebuah logika yang menyesatkan, jauh dari sehat bagi peningkatan
kualitas demokrasi kita. Hal ini terjadi karena mereka telanjur memberlakukan
hukum pasar dalam politik: uang berbanding lurus dengan kesuksesan.
Dalam konstruksi
demokrasi semacam ini, politik hanya bermakna tiga hal: keuntungan, keuntungan, dan keuntungan. Politik tidak pernah
bermakna pengabdian apalagi kerugian. Kerugian dianggap sebagai kekalahan
yang cenderung dihindari oleh kebanyakan politisi kita. Padahal, pengabdian
dan kerugian material di sisi lain juga adalah investasi (akhirat).
Sayangnya, sisi ini
jarang dilihat oleh kebanyakan politisi kita dan tidak cukup kuat
menggerakkan kesadaran politik mereka. Akibatnya, medan politik dijejali para
pencari peruntungan yang memperlakukan pemilih sebagai angka-angka tak
bermakna.
Jika dilihat dari
ukuran demokrasi versi Program Pembangunan PBB (UNDP), penguatan demokrasi
rupanya baru terjadi pada dua aspek: institusi demokrasi dan hak-hak politik.
Sementara itu, satu aspek lain yang tak kalah fundamentalnya, kebebasan
sipil, menjadi tersandera akibat terlalu dominannya dua aspek di atas.
Dalam konteks inilah
tren penurunan Indeks Demokrasi Indonesia dari 67,30 (2009) jadi 63,17
(2010), 65,48 (2011), dan 62,63 (2012) dapat dijelaskan. Dalam hal demokrasi
elektoral lebih dominan, roh demokrasi terancam dikuasai nalar industri yang
dapat menyandera nilai-nilai keadaban publik dan kesejahteraan bersama.
Sentuhan teknokrasi
Dampak destruktif dari
menguatnya nalar proseduralisme dalam demokrasi sebenarnya dapat ditekan
dengan tampilnya semakin banyak kelas menengah baru terdidik. Kelas menengah
dalam konteks ini tidak semata-mata diukur dari sisi ekonomi (pendapatan per
kapita), tetapi juga sosial (pendidikan), politik (kritisisme), bahkan
simbolis (Bourdieu, 1991).
Kelas menengah
terdidik inilah yang diharapkan berperan mengintroduksi akal sehat dalam
dunia demokrasi. Konsekuensinya, politik bukan lagi area gelap gulita yang
membutakan dan menyesatkan, melainkan sesuatu yang terukur, bermanfaat, dan
bermartabat bagi siapa pun.
Merekalah yang
diharapkan berperan mendekatkan jurang pemisah antara demokrasi di satu sisi
dan nilai-nilai keadaban dan kesejahteraan publik di sisi lain. Demokrasi
bukan lagi arena menampilkan keterampilan, kelihaian, dan seni akrobat
politik. Lebih dari itu, demokrasi adalah panggung bersama di mana berbagai
soal diurai dan dicarikan solusi melalui akal sehat.
Dalam ungkapan lain,
konsep demokrasi perlu dipahami dan dipraktikkan secara tandem dengan konsep
teknokrasi. Tak ada yang salah dengan persandingan ini. Justru persandingan
keduanya merupakan bentuk apresiasi demokrasi terhadap kompetensi anak-anak
bangsa.
Memang demokrasi
bukanlah teknokrasi. Keduanya jelas berbeda. Kita juga tidak perlu fobia
terhadap teknokrasi, semata-mata karena istilah ini pernah lekat dengan rezim
Orde Baru. Namun, menjauhkan demokrasi dari teknokrasi sama artinya dengan
mengebiri fungsi-fungsi publik demokrasi: instrumental,
intrinsik, dan konstruktif (Amartya
Sen, 1999).
Namun, memberdayakan
kelas menengah terdidik dalam proses-proses demokrasi bukan hal mudah.
Sebenarnya pusaran politik kita telah dikuasai oleh kelas menengah terdidik,
tetapi berbagai paradoks dan anomali demokrasi masih tetap terjadi.
Memang mereka terlibat
dalam proses-proses demokrasi, tetapi peran profetik mereka masih terbelenggu
kuatnya nalar politik industri yang korup. Akibatnya, keterlibatan kelas
menengah kita menjadi ”adanya seperti tiadanya” sebagaimana kita saksikan
akhir-akhir ini. Alhasil, demokrasi tidak lebih dari sekadar business as usual, rutinitas politik
tanpa makna. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar