Kamis, 21 November 2013

Ketika Australia Menyadap Kita

Ketika Australia Menyadap Kita
Hamid Awaludin  Mantan Dubes RI untuk Rusia
KOMPAS,  21 November 2013
  

HUBUNGAN bilateral Indonesia-Australia hari-hari belakangan ini diselubungi awan hitam.

Pelatuk soal ditarik oleh kenyataan: Australia menyadap telepon percakapan sejumlah pejabat Indonesia selama 15 hari pada Agustus 2009. Indonesia meradang, tetapi Perdana Menteri Australia Tony Abbot di depan Parlemen Australia mengatakan, ”Australia tak seharusnya diharapkan meminta maaf untuk langkah yang telah kita ambil untuk melindungi negara kita sekarang ataupun di masa lalu” (Kompas, 20/11).

Indonesia pun memanggil Dubes RI di Australia Nadjib Riphat Kesoema. Beberapa tahun lalu Indonesia juga memanggil pulang Dubes RI di Canberra akibat ulah Australia yang dinilai melecehkan Indonesia. Melihat argumen dan sikap keras kepala PM Australia Abbot, dengan mudah kita nujum bahwa penyadapan itu dibenarkan Pemerintah Australia dengan dalih keamanan nasional. Pertanyaannya, aspek keamanan nasional apa yang potensial mengganggu Australia sehingga tega menyadap percakapan Presiden, Wakil Presiden, sejumlah menteri, dan Ibu Negara Indonesia?

Saya pun teringat pada kejadian sekitar tahun penyadapan tersebut. Mungkin kita masih ingat, pada 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama Presiden Rusia Vladimir Putin menandatangani perjanjian kerja sama Indonesia-Rusia. Salah satu materi kesepakatan itu adalah bahwa Pemerintah Rusia menyiapkan state credit sebanyak 1 miliar dollar AS untuk, antara lain, pembelian dua kapal selam kelas Kilo. Rencana ini memang menggelisahkan tetangga kita: Australia dan Singapura.

Kapal selam kelas Kilo Rusia memang dikenal sebagai kapal selam paling senyap dan bisa menyelam hingga 300 meter di bawah laut. Dengan panjang 70 meter-74 meter, kapal ini berdaya 3.000 ton-4.000 ton saat menyelam. Ia dilengkapi dengan senjata pertahanan udara sebanyak 8 roket permukaan ke udara, 18 torpedo, atau 24 ranjau. Fungsi utamanya adalah antikapal permukaan dan kapal selam. Ia mampu menembakkan rudal dari bawah laut berjangkauan 300 kilometer.

Kapal selam Kilo mulai dioperasikan Uni Soviet pada 1982 dan negeri Beruang Merah itu telah menjualnya ke beberapa negara, antara lain Aljazair, China, India, dan Vietnam.

Australia takut kepada Kilo

Melihat potensi destruksi kapal selam Rusia ini, seorang pejabat militer Australia ketika itu sempat berkomentar, ”Kapal selam Collins (milik Australia) tak mampu menghadapi Kilo Indonesia, termasuk semua perangkat Angkatan Laut Australia.”

Antara 2008 dan 2009, Angkatan Laut kita memang gencar-gencarnya berikhtiar memperoleh kedua kapal selam yang dinilai sangat cocok untuk membela RI. Sejumlah pejabat teras Angkatan Laut kita beberapa kali berkunjung ke St Petersburg, tempat pembuatan kapal selam Kilo Rusia itu. Nah, jelas sudah bagi saya, kegelisahan Australia memuncak dengan penyadapan para pejabat kita pada 2009 tersebut.

Saya dengar berbagai lobi dilakukan negara tetangga kita, termasuk Australia, untuk menggagalkan pembelian kedua kapal selam Kilo ini. Sebagai pelengkap argumen, Amerika Serikat tiba-tiba menawarkan hibah pesawat tempur F-16 dalam kurun waktu ini. Untuk menguatkan posisi alasan ini, ada baiknya kita menoleh ke belakang sedikit. Peristiwa sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan serta kasus Ambalat membuat TNI Angkatan Laut  memang beralasan mempersenjatai diri dengan kapal selam Kilo. Ini membuat tetangga kita, termasuk Australia, gelisah tak kepalang. 

Entah lobi mereka berhasil atau tidak, yang jelas, kisah penggunaan state credit untuk membeli dua kapal selam Kilo buatan Rusia mandek di tengah jalan. Indonesia akhirnya memutuskan membeli tiga kapal selam Changbogo dari Korea Selatan. Alasannya, Rusia tak mau melakukan transfer teknologi, sementara Korea Selatan bersedia. Alasan berikut, kita tak bisa menyiapkan dana membangun dermaga baru yang pas dengan kapal selam Kilo. Tambahan lagi, Selat Makassar sulit dilewati kapal selam Rusia ini karena selat tersebut dangkal. Saya sama sekali tak memiliki pengetahuan teknis mengenai alasan teknis ini.

Lalu, mengapa Australia harus menyadap telepon Presiden SBY? Beliau pemegang keputusan tertinggi di Republik Indonesia. Sementara itu, Jusuf Kalla, yang saat itu masih menjabat wakil presiden, dikenal juga sebagai orang yang tegas dalam mengambil keputusan: yes or not.

Bagaimana dengan Boediono? Ia mantan Menko Perekonomian dan sedang menjabat Gubernur BI saat penyadapan berlangsung. Kedua jabatan itu memang menyangkut masalah kemampuan ekonomi kita yang berkaitan langsung dengan kemampuan membeli kedua kapal selam tersebut.

Begitu juga penyadapan Sri Mulyani yang sedang menjabat sebagai Menteri Keuangan, bendahara negara. Ini adalah posisi yang menentukan kapan dan teknis pembayaran. Sofyan Djalil adalah Menteri Negara BUMN, yang mungkin dipersepsikan Australia adalah pihak yang bisa memobilisasi dana dari BUMN besar untuk urunan mendanai infrastruktur pelengkap kedua kapal selam Kilo itu, yang tidak dicakup dalam state credit yang disiapkan Rusia.

Widodo AS adalah Menko Polhukam yang mengoordinasi masalah pertahanan keamanan. Menyadap Menko Polhukham sudah merepresentasikan keinginan Panglima TNI dan Kepala Staf Angkatan Laut sebagai pengguna. Hatta Rajasa adalah Mensesneg ketika itu, yang memang beralasan disadap karena lalu lintas pengambilan keputusan pemerintahan banyak berkaitan dengan portofolio Mensesneg. 

Mengapa Ibu Negara?

Lantas apa urusannya dengan Dino Patti Djalal dan Andi Mallarangeng? Keduanya juru bicara presiden yang pasti banyak terlibat dengan urusan lalu lintas komunikasi presiden. Namun, mengapa harus menyadap Ibu Negara Ny Kristiani Herawati Yudhoyono? Ini menyangkut persepsi. Australia mungkin menganggap bahwa di Indonesia, pintu belakang adakalanya lebih efektif untuk sebuah keputusan dan penyelesaian masalah dibandingkan pintu depan. Sebuah dugaan yang masih butuh pengujian lapangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar