|
Orang
terkejut membaca berita AM tertangkap tangan. Saya mencari pemahaman tentang
bagaimana psikologi menjelaskan fenomena absurd ini. Tampaknya selain membawa
potensi kebaikan, manusia juga membawa potensi kejahatan. Korupsi serta
pembohongan dari hakim tertinggi adalah sungguh wajah terburuk kita.
Saya menemukan studi penting dari Valdesolo dan DeSteno
(2008). Mereka mencoba meneliti bagaimana manusia mengembangkan kemunafikan
moral, ketika ia menilai kesalahan yang dilakukannya (atau dilakukan
kelompoknya) ”lebih dapat diterima” daripada hal sama yang dilakukan orang
(kelompok) lain. Valdesolo dan DeSteno mengembangkan situasi eksperimental di
mana individu dihadapkan pada dilema antara kepentingan diri dan kepentingan
orang lain. Mereka lalu menghadirkan empat kondisi.
Eksperimen pertama: Partisipan menilai perilaku sendiri.
Partisipan diberitahu akan mengerjakan tugas-tugas di komputer. Ada dua tipe
tugas, tetapi masing-masing hanya akan menyelesaikan satu tugas. Tugas A
mengisi survei pendek sekitar 10 menit, tugas B menjawab soal-soal matematika
dan logika yang sangat membutuhkan pemikiran, sekitar 45 menit.
Partisipan juga diberi tahu bahwa eksperimenter sedang
mencoba protokol baru untuk meminimalkan bias peneliti, jadi beberapa
partisipan akan secara acak diseleksi untuk dapat memilih antara memperoleh
tugasnya secara acak atau menetapkan bagi dirinya sendiri tugas yang akan
dipilih. Bila ia memilih tugas A, ia akan mengeklik bahwa partisipan berikutnya
harus menyelesaikan tugas B.
Partisipan berikut tidak akan tahu hal tersebut. Setelah itu,
individu mendapat pertanyaan, ”Sejauh mana Anda merasa tindakan Anda fair?”
dengan pilihan jawaban tujuh titik mulai dari ”sangat tidak fair” sampai
”sangatfair”.
Eksperimen kedua: individu harus ”menilai perilaku orang
lain”.
Situasinya sama dengan eksperimen 1, yang berbeda adalah
individu diberi tahu bahwa perannya adalah sebagai pengamat tak berpihak
(imparsial) untuk memberi umpan balik pada peneliti mengenai protokol yang
diberlakukan. Jadi, ia diminta mengobservasi perilaku orang-orang lain dalam
menetapkan tugas bagi dirinya sendiri dan partisipan lain.
Eksperimen ketiga adalah replikasi dari kondisi pertama,
sementara yang keempat adalah replikasi dari kondisi kedua, masing-masing
dengan tambahan tugas kognitif yang mempersulit penyelesaian tugas.
Penelitian menunjukkan bahwa yang bersikap altruistik
(memilih tugas yang sulit) ataupun ”fair” (mengeklik tombol acak) sangat
sedikit, yakni 8 persen saja dari seluruh partisipan. Perilaku ”tidak fair”
lebih dapat diterima bila dilakukan diri sendiri daripada ketika dilakukan oleh
orang lain, tetapi ketika individu dihadapkan pada situasi yang kompleks, sikap
munafik yang membenarkan diri sendiri cenderung menurun.
Kecenderungan alamiah
Hasil penelitian ini menjadi bukti kuat bahwa kemunafikan
moral, atau sikap ”mencari yang menguntungkan diri” sekaligus ”membenarkan
perilaku menguntungkan diri itu” memang dibawa sebagai kecenderungan yang
mungkin alamiah oleh kita, manusia.
Ketika menilai perilaku diri (atau kelompok) sendiri, manusia
melakukan proses-proses rasionalisasi dan pembenaran, tetapi hal tersebut tidak
terjadi ketika ia harus menilai perilaku orang-orang (atau kelompok) lain.
Bahkan, bisa jadi ia menggunakan ukuran-ukuran yang lebih keras dalam menilai
orang dan kelompok lain.
Memang pengamatan sehari-hari saja tanpa harus berpretensi
ilmiah memperlihatkan betapa kita rentan ”membenarkan perlakuan buruk diri
sendiri”. Pegawai administrasi saat mengambil barang inventaris kantor mungkin
berasionalisasi: ”yang saya ambil tidak ada artinya dibandingkan yang dikorupsi
penggede”, manajer pembelian berpikir ”wajar saya cari keuntungan, tugas saya
kan lebih berat daripada yang lain”, sementara penggede membatin ”ini untuk
mengganti yang sudah saya keluarkan saat kampanye”, atau ”siapa pun dalam
posisi saya akan melakukannya, saya masih lebih baik daripada kalau orang lain
yang berkuasa”.
Orang kecil juga rentan mengambil keuntungan bagi diri
sendiri. Apalagi ketika ia betul-betul dihadapkan pada tuntutan bertahan hidup.
Tetapi kita jadi mengerti ketika orang duduk di kekuasaan, makin terbukalah
kemungkinan ia memanfaatkan semua sumber daya dan kekuasaannya untuk
menguntungkan diri dan kelompok, berbohong, melakukan pembodohan dan rekayasa,
dan berasionalisasi membenarkan diri. Makin rentanlah ia untuk tampil dengan
kebohongan, kecurangan, dan kemunafikan sempurna.
Rentan
Temuan bahwa siapa pun kita memiliki kecenderungan untuk
menguntungkan diri sendiri dan mencari-cari pembenaran sama sekali bukan
justifikasi korupsi, tetapi justru untuk mengingatkan bahwa kita semua rentan
dan sebaiknya menjauhkan diri dari penyelewengan dari tingkatannya yang
terkecil sekalipun. Bila hakim yang harus menyangga tegaknya konstitusi negara
saja seperti itu, tak terbayangkan betapa besarnya tantangan yang kita hadapi
untuk membersihkan diri sendiri dan lingkungan.
Manusia rentan melakukan hal buruk, tetapi juga berpotensi
membawa kebaikan. Semoga yang kita pilih adalah yang kedua, setidaknya dengan
menjadi pemimpin yang baik bagi diri sendiri, pemimpin yang membersihkan diri,
pemimpin yang memimpin pembersihan di lingkungannya. Dengan begitu, rasa bangga
menjadi orang Indonesia dapat dikembalikan, dan generasi muda terfasilitasi
untuk dapat melakukan yang terbaik bagi negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar