Minggu, 13 Oktober 2013

Wajah Terburuk

Wajah Terburuk
Kristi Poerwandari  Kolumnis “Konsultasi Psikologi” Kompas
KOMPAS, 13 Oktober 2013


Orang terkejut membaca berita AM tertangkap tangan. Saya mencari pemahaman tentang bagaimana psikologi menjelaskan fenomena absurd ini. Tampaknya selain membawa potensi kebaikan, manusia juga membawa potensi kejahatan. Korupsi serta pembohongan dari hakim tertinggi adalah sungguh wajah terburuk kita.

Saya menemukan studi penting dari Valdesolo dan DeSteno (2008). Mereka mencoba meneliti bagaimana manusia mengembangkan kemunafikan moral, ketika ia menilai kesalahan yang dilakukannya (atau dilakukan kelompoknya) ”lebih dapat diterima” daripada hal sama yang dilakukan orang (kelompok) lain. Valdesolo dan DeSteno mengembangkan situasi eksperimental di mana individu dihadapkan pada dilema antara kepentingan diri dan kepentingan orang lain. Mereka lalu menghadirkan empat kondisi.

Eksperimen pertama: Partisipan menilai perilaku sendiri. Partisipan diberitahu akan mengerjakan tugas-tugas di komputer. Ada dua tipe tugas, tetapi masing-masing hanya akan menyelesaikan satu tugas. Tugas A mengisi survei pendek sekitar 10 menit, tugas B menjawab soal-soal matematika dan logika yang sangat membutuhkan pemikiran, sekitar 45 menit.

Partisipan juga diberi tahu bahwa eksperimenter sedang mencoba protokol baru untuk meminimalkan bias peneliti, jadi beberapa partisipan akan secara acak diseleksi untuk dapat memilih antara memperoleh tugasnya secara acak atau menetapkan bagi dirinya sendiri tugas yang akan dipilih. Bila ia memilih tugas A, ia akan mengeklik bahwa partisipan berikutnya harus menyelesaikan tugas B.

Partisipan berikut tidak akan tahu hal tersebut. Setelah itu, individu mendapat pertanyaan, ”Sejauh mana Anda merasa tindakan Anda fair?” dengan pilihan jawaban tujuh titik mulai dari ”sangat tidak fair” sampai ”sangatfair”.

Eksperimen kedua: individu harus ”menilai perilaku orang lain”.

Situasinya sama dengan eksperimen 1, yang berbeda adalah individu diberi tahu bahwa perannya adalah sebagai pengamat tak berpihak (imparsial) untuk memberi umpan balik pada peneliti mengenai protokol yang diberlakukan. Jadi, ia diminta mengobservasi perilaku orang-orang lain dalam menetapkan tugas bagi dirinya sendiri dan partisipan lain.

Eksperimen ketiga adalah replikasi dari kondisi pertama, sementara yang keempat adalah replikasi dari kondisi kedua, masing-masing dengan tambahan tugas kognitif yang mempersulit penyelesaian tugas.
Penelitian menunjukkan bahwa yang bersikap altruistik (memilih tugas yang sulit) ataupun ”fair” (mengeklik tombol acak) sangat sedikit, yakni 8 persen saja dari seluruh partisipan. Perilaku ”tidak fair” lebih dapat diterima bila dilakukan diri sendiri daripada ketika dilakukan oleh orang lain, tetapi ketika individu dihadapkan pada situasi yang kompleks, sikap munafik yang membenarkan diri sendiri cenderung menurun.

Kecenderungan alamiah

Hasil penelitian ini menjadi bukti kuat bahwa kemunafikan moral, atau sikap ”mencari yang menguntungkan diri” sekaligus ”membenarkan perilaku menguntungkan diri itu” memang dibawa sebagai kecenderungan yang mungkin alamiah oleh kita, manusia.

Ketika menilai perilaku diri (atau kelompok) sendiri, manusia melakukan proses-proses rasionalisasi dan pembenaran, tetapi hal tersebut tidak terjadi ketika ia harus menilai perilaku orang-orang (atau kelompok) lain. Bahkan, bisa jadi ia menggunakan ukuran-ukuran yang lebih keras dalam menilai orang dan kelompok lain.

Memang pengamatan sehari-hari saja tanpa harus berpretensi ilmiah memperlihatkan betapa kita rentan ”membenarkan perlakuan buruk diri sendiri”. Pegawai administrasi saat mengambil barang inventaris kantor mungkin berasionalisasi: ”yang saya ambil tidak ada artinya dibandingkan yang dikorupsi penggede”, manajer pembelian berpikir ”wajar saya cari keuntungan, tugas saya kan lebih berat daripada yang lain”, sementara penggede membatin ”ini untuk mengganti yang sudah saya keluarkan saat kampanye”, atau ”siapa pun dalam posisi saya akan melakukannya, saya masih lebih baik daripada kalau orang lain yang berkuasa”.

Orang kecil juga rentan mengambil keuntungan bagi diri sendiri. Apalagi ketika ia betul-betul dihadapkan pada tuntutan bertahan hidup. Tetapi kita jadi mengerti ketika orang duduk di kekuasaan, makin terbukalah kemungkinan ia memanfaatkan semua sumber daya dan kekuasaannya untuk menguntungkan diri dan kelompok, berbohong, melakukan pembodohan dan rekayasa, dan berasionalisasi membenarkan diri. Makin rentanlah ia untuk tampil dengan kebohongan, kecurangan, dan kemunafikan sempurna.

Rentan

Temuan bahwa siapa pun kita memiliki kecenderungan untuk menguntungkan diri sendiri dan mencari-cari pembenaran sama sekali bukan justifikasi korupsi, tetapi justru untuk mengingatkan bahwa kita semua rentan dan sebaiknya menjauhkan diri dari penyelewengan dari tingkatannya yang terkecil sekalipun. Bila hakim yang harus menyangga tegaknya konstitusi negara saja seperti itu, tak terbayangkan betapa besarnya tantangan yang kita hadapi untuk membersihkan diri sendiri dan lingkungan.

Manusia rentan melakukan hal buruk, tetapi juga berpotensi membawa kebaikan. Semoga yang kita pilih adalah yang kedua, setidaknya dengan menjadi pemimpin yang baik bagi diri sendiri, pemimpin yang membersihkan diri, pemimpin yang memimpin pembersihan di lingkungannya. Dengan begitu, rasa bangga menjadi orang Indonesia dapat dikembalikan, dan generasi muda terfasilitasi untuk dapat melakukan yang terbaik bagi negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar