Minggu, 13 Oktober 2013

Ancaman Fundamentalis Dunia

Ancaman Fundamentalis Dunia
Rene L Pattiradjawane  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 13 Oktober 2013


Wer in den freiheitlichen Demokratien des Westens lebt, empört sich gern und auch zu Recht über Fundamentalisten... Dabei gibt es Fundamentalisten auch in der größten Demokratie der Welt... keine demokratische Politik, sondern Dogmatismus.  Ini adalah kutipan komentar harian Jerman Nürnberger Nachrichten pekan lalu menanggapi penutupan pemerintahan AS yang memaksa Presiden AS Barack Obama batal menghadiri KTT regional di Bali dan Brunei.

Di tengah maraknya KTT APEC 2013 di Bali ataupun KTT ASEAN dan Asia Timur (EAS) di Brunei, perubahan politik yang menyebabkan Pemerintah AS shutdown dan merumahkan ratusan ribu pegawai negerinya tidak hanya dilihat sebagai persoalan lokal Washington. Nürnberger Nachrichten benar menyatakan, ”Mereka yang tinggal dalam kehidupan demokrasi liberal di Barat seperti marah dan benar tentang fundamentalis... dan memang ada fundamentalis dalam demokrasi terbesar di dunia... bukan demokrasi politik, melainkan dogmatisme.”
Kita menyerap pelaksanaan KTT, mulai dari APEC di Bali hingga KTT ASEAN dan EAS di Brunei, seperti tak terjadi sesuatu tanpa kehadiran Presiden Obama. Namun, secara terselubung, banyak negara yang hadir di Bali dan Brunei mulai risau kalau persoalan politik domestik yang tak bisa menyepakati batas ambang anggaran Pemerintah AS itu bisa mengacaukan tatanan ekonomi dan perdagangan global yang lebih luas.
Keputusan AS untuk shutdown memang bukan pertama kali terjadi. Bedanya, struktur ekonomi dan perdagangan AS sebelumnya tidak sebesar sekarang dan jumlah utang AS sebagian besar di luar negeri dipegang oleh China dan Jepang dalam bentuk obligasi.
Dalam konteks regionalisme dan multilateralisme, dogmatisme yang melanda Kongres AS dalam kubu Tea Party mencerminkan persoalan sama yang dihadapi parlemen Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, terutama bagaimana mengatasi krisis zona euro.
Kita khawatir, dinamika kawasan Asia Pasifik dalam politik dan ekonomi memberikan inspirasi sejenis ketika kekuatan-kekuatan demokrasi dari Seoul sampai Jakarta atau dari New Delhi sampai Rio de Janeiro melakukan hal sama ketika diplomasi tak mampu memenuhi kebutuhan rakyat banyak atas sandang dan pangan yang saling menguntungkan.
Kepemimpinan komersial
Dunia konektivitas yang terbagi atas komponen regional dan multilateral sering kali secara keras berhadapan pada tuntutan nasionalisme mewakili kepentingan negara bangsa dalam persoalan ekonomi dan perdagangan. China mulai menyatakan bahwa keputusan Washington berbahaya dan tidak bertanggung jawab menuju ke arah menggelincirkan perekonomian dan perdagangan dunia.
Di ASEAN, tema ”Our People, Our Future Together” dalam KTT Brunei bisa menjadi ambivalensi ketika harus memilih antara kepentingan luas masyarakat dan pengorbanan atas nama kepentingan negara dan kedaulatan. Fenomena ini muncul di AS dan daratan Eropa, seperti diungkapkan politisi dan sejarawan Perancis Alexis de Tocqueville tentang perkembangan pilihan dan demokrasi berhadapan dengan utilitarianisme atau kepemimpinan komersial.
Dalam forum yang lebih luas, seperti EAS dan Forum Regional ASEAN (ARF), persoalan politik dalam sengketa Semenanjung Korea, Laut China Timur, dan Laut China Selatan tidak terdapat modalitas yang luas dan memadai agar persoalan tidak menjadi konflik terbuka. Dan, ketika AS menyatakan kerja sama energi nuklir dengan Vietnam, pertanyaan sama akan muncul, mengapa Pyongyang dan Teheran tidak boleh melakukan hal yang sama dengan negara lain.
Di bidang ekonomi, persoalannya lebih jelas, ketika kerja sama regional dan multilateral tumpang tindih dalam lingkup kepentingan tersamar atas nama kerja sama perdagangan tahap tinggi. Kehadiran Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional ASEAN (RCEP) harus berhadapan dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) buatan AS yang sekarang terjebak dalam krisis demokrasinya sendiri.
Bagi ASEAN, obsesi perdagangan global harus didasarkan kelanggengan dan kesetaraan sebagai bagian tidak terpisahkan. Kawasan ASEAN harus mencerminkan persoalan ini walaupun sampai sekarang kita tidak mendengar mea culpa atas bobroknya sistem keuangan dunia Barat mengacaukan ekonomi dan perdagangan dunia.
Mencari pilihan
Penyelenggaraan KTT ASEAN 2014 di Myanmar akan menentukan ketika komunitas masyarakat Asia Tenggara memulai tahapan baru melibatkan banyak hal, mulai dari persoalan politik ekonomi sampai perdagangan bebas, termasuk dengan mitra utama RRC, Korsel, dan Jepang. Dan, ini akan sangat diwarnai oleh sidang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akhir tahun ini yang mencoba kesepakatan baru atas Putaran Doha yang mengalami kebuntuan.
Di sektor pertanian, misalnya, arah menuju perdagangan bebas menyebabkan penurunan pendapatan petani, bertambahnya upaya mengandalkan subsidi, serta keuntungan masif ke pihak menengah dalam cara merkantilistik, baik dalam penguasaan maupun perubahan bentuk pasar. Dunia sekarang menghadapi surplus berbagai macam produk.
Selama 70 tahun terakhir, terjadi perubahan drastis atas produksi, baik secara kuantitas, kecepatan, maupun biaya yang memacu lebih banyak perdagangan dunia. Perubahan ini yang menjelaskan laju pertumbuhan China dengan cadangan devisa yang sudah mencapai sekitar 3,5 triliun dollar AS.
Menghadapi perubahan politik dalam negeri memasuki proses demokrasi pemilu Indonesia 2014, apakah kita masih punya kesempatan menyeimbangkan kesejahteraan di bidang sosial, lingkungan hidup, dan kebutuhan pasar secara bersamaan?
Atau, mencari pilihan lain seperti dikatakan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy tahun 2008 di Montrichard, Perancis tengah, ”Je ne ferai pas de la France une simple réserve pour touristes (Saya tidak akan menjadikan Perancis sebagai reservasi tunggal bagi wisatawan).” Memasuki era industri jasa dalam perdagangan regional dan multilateral menjadikan kawasan ini penuh dengan orang China beserta produk-produk surplus murah buatan RRC. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar