|
Wer in den freiheitlichen
Demokratien des Westens lebt, empört sich gern und auch zu Recht über
Fundamentalisten... Dabei gibt es Fundamentalisten auch in der größten
Demokratie der Welt... keine demokratische Politik, sondern Dogmatismus.
Ini adalah kutipan komentar harian Jerman Nürnberger Nachrichten pekan lalu
menanggapi penutupan pemerintahan AS yang memaksa Presiden AS Barack Obama
batal menghadiri KTT regional di Bali dan Brunei.
Di tengah
maraknya KTT APEC 2013 di Bali ataupun KTT ASEAN dan Asia Timur (EAS) di
Brunei, perubahan politik yang menyebabkan Pemerintah AS shutdown dan
merumahkan ratusan ribu pegawai negerinya tidak hanya dilihat sebagai persoalan
lokal Washington. Nürnberger Nachrichten benar menyatakan, ”Mereka yang tinggal dalam kehidupan
demokrasi liberal di Barat seperti marah dan benar tentang fundamentalis... dan
memang ada fundamentalis dalam demokrasi terbesar di dunia... bukan demokrasi
politik, melainkan dogmatisme.”
Kita menyerap
pelaksanaan KTT, mulai dari APEC di Bali hingga KTT ASEAN dan EAS di Brunei,
seperti tak terjadi sesuatu tanpa kehadiran Presiden Obama. Namun, secara
terselubung, banyak negara yang hadir di Bali dan Brunei mulai risau kalau
persoalan politik domestik yang tak bisa menyepakati batas ambang anggaran
Pemerintah AS itu bisa mengacaukan tatanan ekonomi dan perdagangan global yang
lebih luas.
Keputusan AS
untuk shutdown memang bukan
pertama kali terjadi. Bedanya, struktur ekonomi dan perdagangan AS sebelumnya
tidak sebesar sekarang dan jumlah utang AS sebagian besar di luar negeri
dipegang oleh China dan Jepang dalam bentuk obligasi.
Dalam konteks
regionalisme dan multilateralisme, dogmatisme yang melanda Kongres AS dalam
kubu Tea Party mencerminkan persoalan
sama yang dihadapi parlemen Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, terutama
bagaimana mengatasi krisis zona euro.
Kita khawatir,
dinamika kawasan Asia Pasifik dalam politik dan ekonomi memberikan inspirasi
sejenis ketika kekuatan-kekuatan demokrasi dari Seoul sampai Jakarta atau dari
New Delhi sampai Rio de Janeiro melakukan hal sama ketika diplomasi tak mampu
memenuhi kebutuhan rakyat banyak atas sandang dan pangan yang saling
menguntungkan.
Kepemimpinan komersial
Dunia
konektivitas yang terbagi atas komponen regional dan multilateral sering kali
secara keras berhadapan pada tuntutan nasionalisme mewakili kepentingan negara
bangsa dalam persoalan ekonomi dan perdagangan. China mulai menyatakan bahwa
keputusan Washington berbahaya dan tidak bertanggung jawab menuju ke arah
menggelincirkan perekonomian dan perdagangan dunia.
Di ASEAN, tema
”Our People, Our Future Together”
dalam KTT Brunei bisa menjadi ambivalensi ketika harus memilih antara
kepentingan luas masyarakat dan pengorbanan atas nama kepentingan negara dan
kedaulatan. Fenomena ini muncul di AS dan daratan Eropa, seperti diungkapkan
politisi dan sejarawan Perancis Alexis de Tocqueville tentang perkembangan
pilihan dan demokrasi berhadapan dengan utilitarianisme atau kepemimpinan
komersial.
Dalam forum
yang lebih luas, seperti EAS dan Forum Regional ASEAN (ARF), persoalan politik
dalam sengketa Semenanjung Korea, Laut China Timur, dan Laut China Selatan
tidak terdapat modalitas yang luas dan memadai agar persoalan tidak menjadi
konflik terbuka. Dan, ketika AS menyatakan kerja sama energi nuklir dengan
Vietnam, pertanyaan sama akan muncul, mengapa Pyongyang dan Teheran tidak boleh
melakukan hal yang sama dengan negara lain.
Di bidang
ekonomi, persoalannya lebih jelas, ketika kerja sama regional dan multilateral
tumpang tindih dalam lingkup kepentingan tersamar atas nama kerja sama
perdagangan tahap tinggi. Kehadiran Kemitraan
Ekonomi Komprehensif Regional ASEAN (RCEP) harus berhadapan dengan Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) buatan AS
yang sekarang terjebak dalam krisis demokrasinya sendiri.
Bagi ASEAN,
obsesi perdagangan global harus didasarkan kelanggengan dan kesetaraan sebagai
bagian tidak terpisahkan. Kawasan ASEAN harus mencerminkan persoalan ini
walaupun sampai sekarang kita tidak mendengar mea culpa atas
bobroknya sistem keuangan dunia Barat mengacaukan ekonomi dan perdagangan
dunia.
Mencari pilihan
Penyelenggaraan
KTT ASEAN 2014 di Myanmar akan menentukan ketika komunitas masyarakat Asia
Tenggara memulai tahapan baru melibatkan banyak hal, mulai dari persoalan
politik ekonomi sampai perdagangan bebas, termasuk dengan mitra utama RRC,
Korsel, dan Jepang. Dan, ini akan sangat diwarnai oleh sidang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) akhir
tahun ini yang mencoba kesepakatan baru atas Putaran Doha yang mengalami kebuntuan.
Di sektor
pertanian, misalnya, arah menuju perdagangan bebas menyebabkan penurunan
pendapatan petani, bertambahnya upaya mengandalkan subsidi, serta keuntungan
masif ke pihak menengah dalam cara merkantilistik, baik dalam penguasaan maupun
perubahan bentuk pasar. Dunia sekarang menghadapi surplus berbagai macam
produk.
Selama 70 tahun
terakhir, terjadi perubahan drastis atas produksi, baik secara kuantitas,
kecepatan, maupun biaya yang memacu lebih banyak perdagangan dunia. Perubahan
ini yang menjelaskan laju pertumbuhan China dengan cadangan devisa yang sudah
mencapai sekitar 3,5 triliun dollar AS.
Menghadapi
perubahan politik dalam negeri memasuki proses demokrasi pemilu Indonesia 2014,
apakah kita masih punya kesempatan menyeimbangkan kesejahteraan di bidang
sosial, lingkungan hidup, dan kebutuhan pasar secara bersamaan?
Atau, mencari
pilihan lain seperti dikatakan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy tahun 2008 di
Montrichard, Perancis tengah, ”Je ne
ferai pas de la France une simple réserve pour touristes (Saya tidak akan menjadikan Perancis sebagai
reservasi tunggal bagi wisatawan).” Memasuki era industri jasa dalam
perdagangan regional dan multilateral menjadikan kawasan ini penuh dengan orang
China beserta produk-produk surplus murah buatan RRC. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar