|
Di suatu hari Minggu, saya berjalan kaki di halaman belakang
apartemen. Kali ini berolahraga pada sore hari karena tidak sempat untuk
melakukannya pada pagi hari. Lebih tepatnya, saya baru bangun jam sepuluh pagi.
Tidur nyenyak itu adalah surga dunia. Sekarang baru mengerti,
mengapa beberapa teman bisa tidur lebih dari sepuluh jam.
Lumrah
Selagi melakukan kewajiban olahraga yang buat saya jauh dari
nikmatnya surga dunia itu, saya melihat seorang wanita siap untuk bermain
tenis. Dengan pakaian olahraga mininya dan raket di tangan kirinya. Ia tampak
siap menjadikan dirinya sehat walafiat.
Hal yang mengagetkan adalah, saat saya berpikir wanita itu
siap menjadi sehat, ia justru mulai membakar sebatang rokok dan kemudian mengisapnya.
Sungguh membingungkan. Ia lebih memilih melakukan ”pemanasan” dengan sebatang
rokok ketimbang menggerakkan anggota tubuhnya.
Kok ya bisa seseorang mau sehat justru melakukan hal yang
tidak sehat dalam waktu bersamaan? Kira-kira apa yang ingin dicapainya dengan
melakukan dua hal yang kontradiktif itu? Mau jadi sehat atau mau jadi tidak
sehat?
Saya memang bukan perokok, saya tak pernah tahu rasanya yang
disebut ketagihan merokok, mulut yang terasa tak nyaman kalau tak merokok. Saya
cuma berpikir, mbok kalau sudah siap berolahraga itu merokoknya nanti
saja. Sebegitu susahnyakah menahan diri itu?
Peristiwa di sore hari itu membuat saya justru tak tertarik
membahas merokok. Saya tertarik pada pemikiran bahwa benarkah yang disebut
prinsip keseimbangan itu adalah sehat lima puluh persen, tidak sehat lima puluh
persen?
Apakah yang demikian itu lumrah? Apakah lumrah itu adalah
sebuah kesalahan yang dimaklumi, yang lama-lama dianggap benar? Apakah lumrah
itu benar, tapi tak seratus persen karena seratus persen rasanya tak masuk akal
untuk dicapai manusia?
Apakah semakin melakukan hal yang kontradiktif, maka semakin
signifikan untuk disebut manusia? Bisa mengadili, misalnya, tetapi disuap
oke-oke saja. Itu lumrah. Bisa bijak sesaat, sesaat lagi mengancam.
Itu lumrah.
Bisa memaafkan, bisa juga lupa dari memaafkan. Itu lumrah.
Kalau demikian adanya, apalah gunanya saya dikhotbahi untuk
berbuat baik, untuk diajari olahraga, untuk dikuliahi mengatur asupan
supersehat, untuk diajari mengampuni, untuk diajari jangan curang, licik, dan
sejuta pelajaran baik agar memiliki kehidupan yang baik?
Apakah baik itu adalah ketika seseorang bisa hidup dalam dua
dunia? Nurani saya berteriak di sore itu. ”Supaya kalau elo jatuh ke
dalam hal yang tidak benar, jatuhnya enggak sampai jatuh-jatuh amat. Kagak sampefatal,
Neng.”
Makin
bingung
Oh...jadi perbuatan baik itu bukan sebuah antidote dari
perbuatan yang tidak baik, tetapi supaya yang tidak baik itu tidak terlalu
kelihatan buruk keadaannya. Itu mengapa senantiasa ada ucapan klise. ”Namanya
juga manusia.” Itu lumrah. Tetapi apakah itu benar demikian?
Saya tak tahu apakah itu benar, lha wong kebenaran
yang sesungguhnya saja saya tak mengerti. Saya bercerita dengan topik bahasan
ini, yaa...hanya gara-gara melihat si mbak-mbak yang kayaknya mau sehat, tetapi
juga senang menjadi tidak sehat itu. Jadi buat saya menarik. Menariknya karena
saya tak mengerti, bukan karena saya paham.
Ah...saya tertampar sendiri. Saya sering tidak menikmati
hidup ini karena selalu mencoba mengerti, karena saya berpikir kalau saya
mengerti tentang semuanya, saya akan berbahagia. Mungkin justru kebahagiaan itu
adalah kemampuan seseorang bertahan hidup tanpa harus senantiasa mengerti.
Saya pernah dinasihati seorang laki-laki. Saya sih waktu itu
merasa lebih dikhotbahi ketimbang dinasihati. Begini khotbahnya,
eh...nasihatnya. Kita ini lahir di dunia dengan segala hal-hal yang mungkin
membuat kita bertanya-tanya.
Tetapi justru saat kita di dunia ini kita tidak
memperjuangkan kehidupan yang tidak kekal ini melalui sejuta pertanyaan, tetapi
justru memperjuangkan yang kekal tanpa harus bertanya. Memperjuangkan yang
kekal melalui medium yang tidak kekal.
Karena kita sering kali menganggap kelahiran di dunia adalah
untuk selamanya di dunia sehingga kita berpikir dan melatih dengan rajin
keduniawian kita. ”Rajin itu harus, tetapi untuk apa merajinkan diri untuk
sesuatu yang tidak kekal. Tidakkah itu akan berakhir dengan sebuah
kesia-siaan?” jelasnya.
Ia melanjutkan lagi. ”Kita selalu ingin menjadi kaya, kadang
ada yang berpikir kaya itu sebuah keharusan dengan sejuta alasannya. Itu
duniawi. Itu hasil latihan keduniawian kita. Bertanggung jawab memaksimalkan
kemampuan yang diberikan Sang Pencipta, itu surgawi. Itu yang artinya
memperjuangkan yang kekal melalui yang tidak kekal.”
Saya hanya manggut-manggut. Beberapa bulan kemudian, ada
berita masuk ke gendang telinga saya kalau laki-laki itu berselingkuh. Kaget?
Tentunya. Persis seperti saat melihat wanita di lapangan tenis itu. Yang satu
mau sehat, tetapi mau tidak sehat juga. Yang satu bijak, tetapi juga mau
menjadi tidak bijak.
Kalau sebulan lalu saya manggut-manggut, sekarang saya
geleng-geleng kepala karena tak bisa mengerti. Mungkin itu lebih baik. Saya ada
karena saya tak mengerti! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar