Minggu, 13 Oktober 2013

Dua Dunia

Dua Dunia
Samuel Mulia  Penulis Mode dan Gaya Hidup, Penulis Kolom “Parodi” di Kompas
KOMPAS, 13 Oktober 2013


Di suatu hari Minggu, saya berjalan kaki di halaman belakang apartemen. Kali ini berolahraga pada sore hari karena tidak sempat untuk melakukannya pada pagi hari. Lebih tepatnya, saya baru bangun jam sepuluh pagi.

Tidur nyenyak itu adalah surga dunia. Sekarang baru mengerti, mengapa beberapa teman bisa tidur lebih dari sepuluh jam.

Lumrah

Selagi melakukan kewajiban olahraga yang buat saya jauh dari nikmatnya surga dunia itu, saya melihat seorang wanita siap untuk bermain tenis. Dengan pakaian olahraga mininya dan raket di tangan kirinya. Ia tampak siap menjadikan dirinya sehat walafiat.

Hal yang mengagetkan adalah, saat saya berpikir wanita itu siap menjadi sehat, ia justru mulai membakar sebatang rokok dan kemudian mengisapnya. Sungguh membingungkan. Ia lebih memilih melakukan ”pemanasan” dengan sebatang rokok ketimbang menggerakkan anggota tubuhnya.

Kok ya bisa seseorang mau sehat justru melakukan hal yang tidak sehat dalam waktu bersamaan? Kira-kira apa yang ingin dicapainya dengan melakukan dua hal yang kontradiktif itu? Mau jadi sehat atau mau jadi tidak sehat?

Saya memang bukan perokok, saya tak pernah tahu rasanya yang disebut ketagihan merokok, mulut yang terasa tak nyaman kalau tak merokok. Saya cuma berpikir, mbok kalau sudah siap berolahraga itu merokoknya nanti saja. Sebegitu susahnyakah menahan diri itu?

Peristiwa di sore hari itu membuat saya justru tak tertarik membahas merokok. Saya tertarik pada pemikiran bahwa benarkah yang disebut prinsip keseimbangan itu adalah sehat lima puluh persen, tidak sehat lima puluh persen?

Apakah yang demikian itu lumrah? Apakah lumrah itu adalah sebuah kesalahan yang dimaklumi, yang lama-lama dianggap benar? Apakah lumrah itu benar, tapi tak seratus persen karena seratus persen rasanya tak masuk akal untuk dicapai manusia?

Apakah semakin melakukan hal yang kontradiktif, maka semakin signifikan untuk disebut manusia? Bisa mengadili, misalnya, tetapi disuap oke-oke saja. Itu lumrah. Bisa bijak sesaat, sesaat lagi mengancam. 
Itu lumrah. Bisa memaafkan, bisa juga lupa dari memaafkan. Itu lumrah.

Kalau demikian adanya, apalah gunanya saya dikhotbahi untuk berbuat baik, untuk diajari olahraga, untuk dikuliahi mengatur asupan supersehat, untuk diajari mengampuni, untuk diajari jangan curang, licik, dan sejuta pelajaran baik agar memiliki kehidupan yang baik?

Apakah baik itu adalah ketika seseorang bisa hidup dalam dua dunia? Nurani saya berteriak di sore itu. ”Supaya kalau elo jatuh ke dalam hal yang tidak benar, jatuhnya enggak sampai jatuh-jatuh amat. Kagak sampefatal, Neng.”

Makin bingung

Oh...jadi perbuatan baik itu bukan sebuah antidote dari perbuatan yang tidak baik, tetapi supaya yang tidak baik itu tidak terlalu kelihatan buruk keadaannya. Itu mengapa senantiasa ada ucapan klise. ”Namanya juga manusia.” Itu lumrah. Tetapi apakah itu benar demikian?

Saya tak tahu apakah itu benar, lha wong kebenaran yang sesungguhnya saja saya tak mengerti. Saya bercerita dengan topik bahasan ini, yaa...hanya gara-gara melihat si mbak-mbak yang kayaknya mau sehat, tetapi juga senang menjadi tidak sehat itu. Jadi buat saya menarik. Menariknya karena saya tak mengerti, bukan karena saya paham.

Ah...saya tertampar sendiri. Saya sering tidak menikmati hidup ini karena selalu mencoba mengerti, karena saya berpikir kalau saya mengerti tentang semuanya, saya akan berbahagia. Mungkin justru kebahagiaan itu adalah kemampuan seseorang bertahan hidup tanpa harus senantiasa mengerti.
Saya pernah dinasihati seorang laki-laki. Saya sih waktu itu merasa lebih dikhotbahi ketimbang dinasihati. Begini khotbahnya, eh...nasihatnya. Kita ini lahir di dunia dengan segala hal-hal yang mungkin membuat kita bertanya-tanya.

Tetapi justru saat kita di dunia ini kita tidak memperjuangkan kehidupan yang tidak kekal ini melalui sejuta pertanyaan, tetapi justru memperjuangkan yang kekal tanpa harus bertanya. Memperjuangkan yang kekal melalui medium yang tidak kekal.

Karena kita sering kali menganggap kelahiran di dunia adalah untuk selamanya di dunia sehingga kita berpikir dan melatih dengan rajin keduniawian kita. ”Rajin itu harus, tetapi untuk apa merajinkan diri untuk sesuatu yang tidak kekal. Tidakkah itu akan berakhir dengan sebuah kesia-siaan?” jelasnya.

Ia melanjutkan lagi. ”Kita selalu ingin menjadi kaya, kadang ada yang berpikir kaya itu sebuah keharusan dengan sejuta alasannya. Itu duniawi. Itu hasil latihan keduniawian kita. Bertanggung jawab memaksimalkan kemampuan yang diberikan Sang Pencipta, itu surgawi. Itu yang artinya memperjuangkan yang kekal melalui yang tidak kekal.”

Saya hanya manggut-manggut. Beberapa bulan kemudian, ada berita masuk ke gendang telinga saya kalau laki-laki itu berselingkuh. Kaget? Tentunya. Persis seperti saat melihat wanita di lapangan tenis itu. Yang satu mau sehat, tetapi mau tidak sehat juga. Yang satu bijak, tetapi juga mau menjadi tidak bijak.

Kalau sebulan lalu saya manggut-manggut, sekarang saya geleng-geleng kepala karena tak bisa mengerti. Mungkin itu lebih baik. Saya ada karena saya tak mengerti! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar