|
"Rakyat butuh
tindakan berlandaskan kejujuran dan keikhlasan, bukan praktik bunglon apa pun
wujudnya"
MASA menjelang pemilu, termasuk pilkada, dicirikan oleh
kemunculan aktivis dan partisipan politik. Sejumlah orang mendeklarasikan di
depan publik sebagai aktivis dan partisipan, sembari memperkenalkan jargon
serta visi dan misi. Mereka acap muncul melalui partai politik, wadah
menyalurkan aspirasi mereka. Karena itu, partai senantiasa mensyaratkan
kejelasan visi dan misi.
Di Inggris misalnya, Partai Buruh bangkit di bawah sayap
liberalisme, bahkan menggantikan Partai Liberal sebagai partai yang menyatakan
reformis. Partai Demokrat di Amerika Serikat pun sejatinya mengadaptasi banyak
kebijakan sosialisme Eropa, dan tentu saja liberalisme. Dalam perjuangannya
untuk memimpin negara, parpol punya kejelasan arah dan tujuan sehingga bisa
menggalang massa untuk terlibat di dalamnya.
Bagaimana dengan partai di negara kita? Sampai saat ini
partai belum menampakkan perbedaan visi dan misi mendasar sehingga rakyat yang
merupakan massa potensial tak bisa membedakan antara satu partai dan partai
yang lain. Padahal masing-masing partai punya identitas, semisal ciri
keagamaan, paham kebangsaan, pembelaan terhadap kaum miskin/buruh, persatuan,
dan sebagainya.
Apakah partai seperti itu dapat mempengaruhi dinamika
berbangsa dan bernegara, dengan nyata-nyata membela rakyat, yang sudah
memilihnya, seperti di Barat, bahkan beberapa negara tetangga. Tidakkah setelah
memenangi pemilu, partai dan semua partisipan seperti hilang ditelan bumi
kemenangan, dan kembali muncul menjelang pemilu atau pilkada berikutnya?
Saat ini, di Indonesia, tiap kita keluar rumah di sepanjang
jalan, taman, dan trotoar terpasang baliho para calon anggota legislatif,
calon gubernur, calon bupati, dan sebagainya. Jumlahnya begitu banyak, dan
tampil dalam ketidakteraturan. Bahkan kadang mengundang bahaya, semisal spanduk
robek dan menutupi jalan, patahan tiang bendera dari bambu yang bisa melukai
orang. Seandainya ditimbang, berapa ton sampah anorganik yang dihasilkan dari
pembuangan alat peraga kampanye tersebut? Di balik media pengenalan, ternyata
ada beban tambahan yang harus ditanggung oleh lingkungan.
Sedari awal kita sudah dikagetkan oleh wajah-wajah yang
‘’sama’’ tetapi muncul dengan nama partai berbeda. Wajah calon anggota
legislatif dan calon kepala daerah itu sama-sama menebar senyum. Tampak
seragam, terlihat monoton, terasa artifisial senyum dan dandanan
mereka. Adakalanya calon diusung oleh partai berbeda, bukan seperti pada
awal ia memasuki dunia politik. Ada pula duet calon kepala daerah, berganti
pasangan sebelum masuk ke pelaminan baru politik. Sejumlah pertanyaan kenapa
orang berganti-ganti partai, dan partai berganti-ganti orang. Lebih parah lagi,
pemilih pun tertular sehingga menjadi plin-plan. Semua seperti bersepakat
mempraktikkan politik bunglon.
Menyibukkan
Rakyat
Hampir tiap tahun bangsa Indonesia punya hajat politik,
dari pemilihan kepala daerah, anggota DPRD/DPR, hingga presiden/wakil presiden.
Frekuensi pesta demokrasi itu teramat menyibukkan rakyat. Frekuensi tinggi
pemilu, termasuk pilkada, mengeskalasi praktik politik bunglon. Pemirsa
televisi dikejutkan oleh tokoh politik yang identik dengan satu partai pada
pemilu sebelumnya, tiba-tiba muncul dalam partai yang berbeda. Para kandidat
pasti ingin memenangi kontestasi itu. Janji-janji kampanye mereka yang
terdengar impresif dalam retorika pemilu dapat berbalik menjadi bencana atau
kemalangan ketika sudah menjabat, terkait dengan kebijakan mereka.
Kenneth Minogue dalam buku Sekilas tentang Politik (2006)
menukilkan bahwa dalam permainan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Ia
mengajak semua pihak untuk mendedah bagaimana cara meraih kemenangan itu, dan
bagaimana pihak yang kalah menyikapi kekalahan. Tidak dapat disepelekan kekhawatiran
Presiden SBY mengenai hasil penyelenggaraan pemilu. Saat menggunakan hak pilih
sebagai warga Bogor berkait Pilgub Jabar pada Februari 2013, SBYmengimbau
rakyat selalu menggunakan hak pilih dalam tiap jenjang pemilu (SCTV, 24/2/13).
Imbauan itu searas dengan fakta politik yang menunjukkan tren makin tingginya
angka golput dalam tiap pemilu.
Tentu semua pihak harus mencari jawab kecenderungan
peningkatan angka golput. Bila rakyat bingung melihat calon wakil rakyat dan
calon pemimpin yang berpolitik ala bunglon, salahkan mereka bila tidak
memilihnya? Rakyat tak butuh janji kosong, hanya kata-kata dalam alat peraga
kampanye. Rakyat butuh tindakan konkret tanpa kemunafikan, yakni tindakan
berlandaskan kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan, bukan praktik bunglon apa
pun wujudnya.
Demi keadilan pula, rakyat yang menjalankan praktik
bunglon, dalam wujud aktivitas apa pun, tak pantas hidup di negeri ini
mengingat negara membutuhkan rakyat yang bertanggung jawab. Bangsa besar adalah
bangsa yang jujur dan bertanggung jawab, serta memegang kebenaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar