Sabtu, 12 Oktober 2013

Wadah Praktik Politik Bunglon

Wadah Praktik Politik Bunglon
Sri Suwartiningsih  Dosen Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW Salatiga, Ketua Prodi Hubungan Internasional
SUARA MERDEKA, 11 Oktober 2013


"Rakyat butuh tindakan berlandaskan kejujuran dan keikhlasan, bukan praktik bunglon apa pun wujudnya"

MASA menjelang pemilu, termasuk pilkada, dicirikan oleh kemunculan aktivis dan partisipan politik. Sejumlah orang mendeklarasikan di depan publik sebagai aktivis dan partisipan, sembari memperkenalkan jargon serta visi dan misi. Mereka acap muncul melalui partai politik, wadah menyalurkan aspirasi mereka. Karena itu, partai senantiasa mensyaratkan kejelasan visi dan misi.

Di Inggris misalnya, Partai Buruh bangkit di bawah sayap liberalisme, bahkan menggantikan Partai Liberal sebagai partai yang menyatakan reformis. Partai Demokrat di Amerika Serikat pun sejatinya mengadaptasi banyak kebijakan sosialisme  Eropa, dan tentu saja liberalisme. Dalam perjuangannya untuk memimpin negara, parpol punya kejelasan arah dan tujuan sehingga bisa menggalang massa untuk terlibat di dalamnya.

Bagaimana dengan partai di negara kita? Sampai saat ini partai belum menampakkan perbedaan visi dan misi mendasar sehingga rakyat yang merupakan massa potensial tak bisa membedakan antara satu partai dan partai yang lain. Padahal masing-masing partai punya identitas, semisal ciri keagamaan, paham kebangsaan, pembelaan terhadap kaum miskin/buruh, persatuan, dan sebagainya.

Apakah partai seperti itu dapat mempengaruhi dinamika berbangsa dan bernegara, dengan nyata-nyata membela rakyat, yang sudah memilihnya, seperti di Barat, bahkan beberapa negara tetangga. Tidakkah setelah memenangi pemilu, partai dan semua partisipan seperti hilang ditelan bumi kemenangan, dan kembali muncul menjelang pemilu atau pilkada berikutnya?

Saat ini, di Indonesia, tiap kita keluar rumah di sepanjang jalan, taman, dan  trotoar terpasang baliho para calon anggota legislatif, calon gubernur, calon bupati, dan sebagainya. Jumlahnya begitu banyak, dan tampil dalam ketidakteraturan. Bahkan kadang mengundang bahaya, semisal spanduk robek dan menutupi jalan, patahan tiang bendera dari bambu yang bisa melukai orang. Seandainya ditimbang, berapa ton sampah anorganik yang dihasilkan dari pembuangan alat peraga kampanye tersebut? Di balik media pengenalan, ternyata ada beban tambahan yang harus ditanggung oleh lingkungan.

Sedari awal kita sudah dikagetkan oleh wajah-wajah yang ‘’sama’’ tetapi muncul dengan nama partai berbeda. Wajah calon anggota legislatif dan calon kepala daerah itu sama-sama menebar senyum. Tampak seragam, terlihat monoton, terasa artifisial senyum dan dandanan mereka. Adakalanya calon diusung oleh partai berbeda, bukan seperti pada awal ia memasuki dunia politik. Ada pula duet calon kepala daerah, berganti pasangan sebelum masuk ke pelaminan baru politik. Sejumlah pertanyaan kenapa orang berganti-ganti partai, dan partai berganti-ganti orang. Lebih parah lagi, pemilih pun tertular sehingga menjadi plin-plan. Semua seperti bersepakat mempraktikkan politik bunglon.

Menyibukkan Rakyat

Hampir tiap tahun bangsa Indonesia punya hajat politik, dari pemilihan kepala daerah, anggota DPRD/DPR, hingga presiden/wakil presiden. Frekuensi pesta demokrasi itu teramat menyibukkan rakyat. Frekuensi tinggi pemilu, termasuk pilkada, mengeskalasi praktik politik bunglon. Pemirsa televisi dikejutkan oleh tokoh politik yang identik dengan satu partai pada pemilu sebelumnya, tiba-tiba muncul dalam partai yang berbeda. Para kandidat pasti ingin memenangi kontestasi itu. Janji-janji kampanye mereka yang terdengar impresif dalam retorika pemilu dapat berbalik menjadi bencana atau kemalangan ketika sudah menjabat, terkait dengan kebijakan mereka.

Kenneth Minogue dalam buku Sekilas tentang Politik (2006) menukilkan bahwa dalam permainan pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Ia mengajak semua pihak untuk mendedah bagaimana cara meraih kemenangan itu, dan bagaimana pihak yang kalah menyikapi kekalahan. Tidak dapat disepelekan kekhawatiran Presiden SBY mengenai hasil penyelenggaraan pemilu. Saat menggunakan hak pilih sebagai warga Bogor berkait Pilgub Jabar pada Februari 2013, SBYmengimbau rakyat selalu menggunakan hak pilih dalam tiap jenjang pemilu (SCTV, 24/2/13). Imbauan itu searas dengan fakta politik yang menunjukkan tren makin tingginya angka golput dalam tiap pemilu.

Tentu semua pihak harus mencari jawab kecenderungan peningkatan angka golput. Bila rakyat bingung melihat calon wakil rakyat dan calon pemimpin yang berpolitik ala bunglon, salahkan mereka bila tidak memilihnya? Rakyat tak butuh janji kosong, hanya kata-kata dalam alat peraga kampanye. Rakyat butuh tindakan konkret tanpa kemunafikan, yakni tindakan berlandaskan kejujuran, ketulusan, dan keikhlasan, bukan praktik bunglon apa pun wujudnya.

Demi keadilan pula, rakyat yang menjalankan praktik bunglon, dalam wujud aktivitas apa pun, tak pantas hidup di negeri ini mengingat negara membutuhkan rakyat yang bertanggung jawab. Bangsa besar adalah bangsa yang jujur dan bertanggung jawab, serta memegang kebenaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar