Sabtu, 12 Oktober 2013

Menjaga Atribut

Menjaga Atribut
Toeti Prahas Adhitama  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 11 Oktober 2013


SELAMA sepekan ini, pasar berita diramaikan peristiwa pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacifi c Economic Cooperation (APEC) di Bali, dan skandal Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar. Mungkin kabar berita ini masih akan bergulir lama, tergantung pada tindak lanjutnya.
Ada unsur kesamaan di antara dua berita tersebut. Duaduanya terkait dengan usaha menjaga atribut. Indonesia selama ini mendapat atribut sebagai negara berpenduduk Islam terbesar yang paling demokratis, sekaligus penduduknya terbesar keempat di dunia. Negara ini juga dikenal sebagai salah satu tujuan pariwisata internasional terbaik, dengan objek-objek menarik dan unik, semisal Pulau Bali, Pulau Komodo dan Borobudur.

Indonesia kaya akan sumber bumi dan penduduknya ramah. Profi l yang bagus bagi organisasi internasional yang didirikan 1989 untuk menggalang kerja sama ekonomi dan perdagangan antarnegara Asia-Pasifi k. Atribut itu perlu dijaga bila kita percaya organisasi itu bisa membantu meningkatkan kesejahteraan semua, sesuai cita-cita umat manusia. Kelancaran kerja sama antaranggota APEC diharapkan membantu.

Tidak seiring dengan yang kita angankan, ada kabar yang keras beredar terkait dengan skandal suap yang melibatkan Ketua MK, tokoh besar di lembaga hukum yang mengawal konstitusi. Dapat dibayangkan bagaimana opini sekitar 10.000-an tamu yang hadir di Bali, yang 3.000 di antaranya terdiri dari orang pers. Selain kesan-kesan positif tentang kunjungan mereka ke pertemuan Bali, skandal MK bisa menguatkan asumsi bahwa Indonesia memang salah satu negara terkorup di dunia. Kenyataan itu mungkin bisa membuat lebih dari seribu CEO yang hadir di Bali merasa ragu tentang kemungkinan menggalang perdagangan atau menanamkan modalnya di negeri ini. Namun, sudah menjadi watak orang bisnis untuk berspekulasi. Mudahmudahan skandal MK hanya dianggap salah satu fenomena yang biasa terjadi di negara berkembang.

Untuk yang percaya pada astrologi, peramal ulung Prancis, Nostradamus (1503-1566), membuat tafsiran tentang situasi dunia yang positif untuk masa depan. Mudahmudahan usaha-usaha masyarakat internasional demi kemaslahatan manusia, seperti APEC, akan membawa hasil, sesuai tafsiran Nostradamus dalam The Good News, 2007, salah satu buku terlaris di dunia sejak peramal itu meninggal dunia pada 1566.

Nila setitik

Rancangan, perkiraan, dan ramalan masa depan selalu menarik. Namun yang perlu diyakini: kesiapan kita menghadapi masa depanlah yang akan mewujudkan realitasnya. Tentang skandal MK, orang kebanyakan hanya menganggapnya salah satu variasi permainan kalangan elite. Kalau direnungkan, kalangan mana yang belum tersentuh kebiasaan buruk ini? Nantinya, ada tahap dalam era reformasi yang akan dianggap masa suburnya budaya korupsi.

Kemungkinan yang menyedihkan, seperti yang terjadi di waktu-waktu lalu, para pemimpin di era maraknya korupsi akan dikutuk dan dicela, seperti kita mencerca para pemimpin Orde Lama dan Orde Baru; seakan-akan rakyat sama sekali tidak ikut bertanggung jawab, sekalipun tidak demikian halnya. Padahal yang dilakukan oknum-oknum pimpinan itu ibaratnya hanya nila setitik. Tetapi perhatikan betapa kejamnya kita menghakimi mereka, karena, walaupun hanya nila setitik memang dianggap merusak susu sebelanga.

Kenyataan tentang peran pemimpin rasanya kurang kita hayati bersama. Ada pemimpin-pemimpin yang
tidak sadar akan apa implikasi perbuatannya terhadap kehidupan bersama. Rakyat tidak tahu implikasi memilih tokoh yang salah. Dalam masyarakat yang sebagian terbesar terdiri dari orang kurang terdidik, yang selalu menyandarkan tanggung jawab segalanya kepada pemimpin, sebenarnya wajar bila mereka kemudian mengarahkan tudingan kepada para pemimpin bila situasinya tidak nyaman. Padahal semula mereka membiarkan para pemimpin berbuat sekehendak hatinya. Begitulah situasi dalam masyarakat yang bersikap feodalistis, bukan demokratis.

Harapan bagi masa depan

Sudah pasti situasi ini disadari benar oleh yang terpelajar. Bahwa masih juga terjadi pembiaran, itu membuktikan ada rasa takut yang menghantui, selain keserakahan masing-masing untuk melindungi kepentingan dan kesejahteraan sendiri. Fenomena ini terjadi di mana-mana, di lembaga-lembaga pemerintahan maupun swasta.

Tetapi sebenarnya masih banyak pihak yang berani bersuara, walaupun suara menentang situasi memprihatinkan itu umumnya dibiarkan berlalu. Karni Ilyas, yang barubaru ini mendapat gelar doktor honoris causa dari Universitas Muhammadiyah Surakarta karena acaranya yang memfokuskan pada peningkatan kesadaran hukum masyarakat, menyatakan dalam sambutannya bahwa pers harus membantu membangun kesadaran hukum. Sebenarnya, selalu ada saja orang-orang yang pernah bersinggungan dengan pers berbuat demikian. Mereka yang menekuni bidang hukum, misalnya, ada Refli Harun, pakar hukum tata negara yang pernah menyoal masalah suap untuk hakim konstitusi, dan ada Imam Anshori Saleh yang sekarang menjabat Wakil Ketua Komisi Yudisial. Tentu masih banyak lainnya, yang bekerja secara individual ataupun dalam kelompok. Namun semua tergantung pada kejelian dan kesiapan masyarakat untuk menerima pesan mereka.

Harapan kita bersama, untuk Pemilu 2014, mudah-mudahan pemilih waspada agar jangan salah memilih. Yang dipilih pun diharap meyakini apakah akan mampu memenuhi tuntutan rakyat. Sifatnya timbal-balik, dari rakyat, untuk rakyat. Itulah demokrasi. Semua wajib menjaga atribut masing-masing, selain atribut lembaga dan negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar