|
BELUM lagi
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud)
mengumumkan tanggal pelaksanaan ujian nasional (UN) 2014, Akil Mochtar telah
memberikan soal ujian secara nasional yang sungguh besar bagi bangsa ini.
Perasaan geram, sedih, sakit hati, dan semua bentuk umpatan seolah tak akan pernah
habis ditujukan terhadap perilaku Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi kita.
Sebagai lembaga bergengsi dan kredibel dalam memutus perkaraperkara
konstitusional dalam berbangsa dan bernegara, MK di tangan Akil berubah menjadi
sumber olok-olok hingga ke seantero dunia.
Olok-olok pertama yang beredar
mengenai Akil Mochtar menunjukkan pembeda antara Jimly Asshiddiqie dan Mahfud
DM, dua ketua MK sebelum Akil. “MK memang seharusnya dipegang oleh seorang yang
jujur (ash-shiddiqi) dan terjaga
(mahfud) dari segala perilaku menyimpang. Harus orang yang berakal (aqil), dan bukan tipe manusia pemakan
(akil) segala.
”Rupanya ada pemaknaan lain dalam
gaya transliterasi bahasa Indonesia, terutama pembeda antara kata aqil dan
akil. Dalam konteks pemakan (akil), jelas sekali praktik koruptif Akil Mochtar
menunjukkan bahwa dirinya merupakan tipologi orang yang menghalalkan segala
cara untuk memperoleh kelimpahan dunia.
Para guru, terutama guru agama,
juga ikut mengolok-olok kasus Akil Mochtar dengan membuat bentuk pertanyaan
soal agama. “Apa bedanya aqil baligh
dengan Akil Mochtar?” Aqil baligh
salah satunya ditandai dengan mimpi basah, sedangkan Akil Mochtar tertangkap
basah. Bayangkan, olok-olok tentang peristiwa tertangkap basahnya Akil Mochtar
masuk hingga ke ruang kelas, dan ini tentu saja menjadi preseden buruk bagi
anak didik di mana saja. Implikasi psikologis dari peristiwa ini pasti sedikit
banyak akan mengganggu ‘mentalitas’ anak didik, karena mereka tak memperoleh
teladan dari pemimpin sebuah lembaga negara yang prestisius. Mengapa demikian?
Saya teringat ungkapan Mahatma Gandhi, “Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, tapi tidak akan pernah cukup
untuk tujuh orang serakah.” Akil Mochtar jelas merupakan satu di antara
tujuh orang yang mungkin sesuai dengan maksud Gandhi: serakah! Gejala serakah
adalah paradoks dari kesederhanaan yang seharusnya dicontohkan banyak pemimpin
negeri ini di tengah melemahnya sistem perekonomian dunia. Praktik korupsi
merupakan contoh nyata bahwa para pemimpin negeri ini sudah jauh melenceng dari
pesan moral para pendiri bangsa yang menginginkan kesejahteraan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Sekadar materiil
Kasus Akil Mochtar juga merupakan
contoh kasatmata tentang pemaknaan tujuan pendidikan menjadi sekadar memperoleh
hasil materiil seperti tecermin dari kebijakan UN kita. Padahal tujuan, hakikat,
dan pemaknaan pendidikan yang ‘serbahasil’ ini justru memperlihatkan lemahnya sistem
dan elan moral pendidikan yang dibangun. Dengan demikian, elan dasar pendidikan
kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau roh yang selalu menjadi batang
tubuh pendidikan nasional, yaitu ‘berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’ (UU No
20/2003 tentang Sisdiknas).
Sangat tidak mungkin rasanya jika
pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera pada tujuan
tersebut diselesaikan oleh sebuah mata rantai yang bernama UN sebagai bentuk
pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional
tadi merupakan sebuah napas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak
akan pernah berakhir (never ending
process) karena hampir semua pilihan kata yang digunakan ialah kata sifat
(adjective) yang menuntut usaha secara terus-menerus.
Kesadaran terhadap proses
pendidikan dan proses belajar mengajar yang benar harus bersinergi secara
positif dengan keyakinan setiap pendidik bahwa untuk menjadikan anak bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan
secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar ialah upaya untuk
memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal seorang anak dengan guru,
orangtua, dan lingkungannya tumbuh dari
pengetahuan yang dia peroleh secara benar, membiasakannya secara terus-menerus
dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh teladan yang tiada henti
dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan
tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.
Jika para pendidik kita memiliki
visi yang sama dalam menempatkan proses sebagai unsur paling penting dari
sebuah sistem pendidikan, dapat dipastikan para siswa dan orangtua tak akan
pernah takut ketika dihadapkan oleh sebuah ujian. Bahkan dalam jangka panjang,
proses pendidikan yang benar, aktif, dan menyenangkan dapat menumbuhkan
sekaligus mengembangkan watak anak untuk menjadi manusia yang fleksibel,
terbuka, tegas, toleran, sportif, setia kawan, berani mengambil risiko, dan
memiliki integritas.
Itulah sebabnya mengapa kebijakan
soal UN sepertinya tetap saja kontroversial dilihat dari sudut kebutuhan penubuhan
visi dan filosofi pendidikan secara luas. Dalam konteks high-stakes testing, muasal kesalahan ialah rendahnya kemampuan
otoritas pendidikan dalam menerjemahkan filosofi dan visi pendidikan bangsa. Dari
sudut filosofi pendidikan, pembicaraan tentang arti dan nilai (meaning and value) pendidikan seakan
selalu berakhir dengan adanya model evaluasi semacam UN. Dialektika antara
otoritas pendidikan, sekolah, masyarakat, dan siswa seharusnya mencerminkan
visi dan filosofi pendidikan yang sehat, yang lebih menghargai proses yang benar,
aktif, dan menyenangkan.
Pendek kata, kasus Akil Mochtar
sebenarnya dan bisa jadi searah dengan kebijakan UN laksana jangkar kapal untuk
bersandar yang dihempaskan ke laut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju
kecuali bergoyang di tempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan,
kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan
gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati
dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya
bisa dinikmati seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai
sebuah proses yang tiada akhir. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar