Selasa, 08 Oktober 2013

UN Versi Akil Mochtar

UN Versi Akil Mochtar
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 07 Oktober 2013


BELUM lagi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengumumkan tanggal pelaksanaan ujian nasional (UN) 2014, Akil Mochtar telah memberikan soal ujian secara nasional yang sungguh besar bagi bangsa ini. Perasaan geram, sedih, sakit hati, dan semua bentuk umpatan seolah tak akan pernah habis ditujukan terhadap perilaku Akil Mochtar, Ketua Mahkamah Konstitusi kita. Sebagai lembaga bergengsi dan kredibel dalam memutus perkaraperkara konstitusional dalam berbangsa dan bernegara, MK di tangan Akil berubah menjadi sumber olok-olok hingga ke seantero dunia.

Olok-olok pertama yang beredar mengenai Akil Mochtar menunjukkan pembeda antara Jimly Asshiddiqie dan Mahfud DM, dua ketua MK sebelum Akil. “MK memang seharusnya dipegang oleh seorang yang jujur (ash-shiddiqi) dan terjaga (mahfud) dari segala perilaku menyimpang. Harus orang yang berakal (aqil), dan bukan tipe manusia pemakan (akil) segala.

”Rupanya ada pemaknaan lain dalam gaya transliterasi bahasa Indonesia, terutama pembeda antara kata aqil dan akil. Dalam konteks pemakan (akil), jelas sekali praktik koruptif Akil Mochtar menunjukkan bahwa dirinya merupakan tipologi orang yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kelimpahan dunia.

Para guru, terutama guru agama, juga ikut mengolok-olok kasus Akil Mochtar dengan membuat bentuk pertanyaan soal agama. “Apa bedanya aqil baligh dengan Akil Mochtar?” Aqil baligh salah satunya ditandai dengan mimpi basah, sedangkan Akil Mochtar tertangkap basah. Bayangkan, olok-olok tentang peristiwa tertangkap basahnya Akil Mochtar masuk hingga ke ruang kelas, dan ini tentu saja menjadi preseden buruk bagi anak didik di mana saja. Implikasi psikologis dari peristiwa ini pasti sedikit banyak akan mengganggu ‘mentalitas’ anak didik, karena mereka tak memperoleh teladan dari pemimpin sebuah lembaga negara yang prestisius. Mengapa demikian?

Saya teringat ungkapan Mahatma Gandhi, “Bumi ini cukup untuk tujuh generasi, tapi tidak akan pernah cukup untuk tujuh orang serakah.” Akil Mochtar jelas merupakan satu di antara tujuh orang yang mungkin sesuai dengan maksud Gandhi: serakah! Gejala serakah adalah paradoks dari kesederhanaan yang seharusnya dicontohkan banyak pemimpin negeri ini di tengah melemahnya sistem perekonomian dunia. Praktik korupsi merupakan contoh nyata bahwa para pemimpin negeri ini sudah jauh melenceng dari pesan moral para pendiri bangsa yang menginginkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sekadar materiil

Kasus Akil Mochtar juga merupakan contoh kasatmata tentang pemaknaan tujuan pendidikan menjadi sekadar memperoleh hasil materiil seperti tecermin dari kebijakan UN kita. Padahal tujuan, hakikat, dan pemaknaan pendidikan yang ‘serbahasil’ ini justru memperlihatkan lemahnya sistem dan elan moral pendidikan yang dibangun. Dengan demikian, elan dasar pendidikan kita seakan tak pernah bertemu dengan jiwa atau roh yang selalu menjadi batang tubuh pendidikan nasional, yaitu ‘berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab’ (UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).

Sangat tidak mungkin rasanya jika pembuktian seluruh agenda pendidikan nasional seperti tertera pada tujuan tersebut diselesaikan oleh sebuah mata rantai yang bernama UN sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Hampir semua indikator dan tujuan pendidikan nasional tadi merupakan sebuah napas panjang dari sebuah usaha dan proses yang tidak akan pernah berakhir (never ending process) karena hampir semua pilihan kata yang digunakan ialah kata sifat (adjective) yang menuntut usaha secara terus-menerus.

Kesadaran terhadap proses pendidikan dan proses belajar mengajar yang benar harus bersinergi secara positif dengan keyakinan setiap pendidik bahwa untuk menjadikan anak bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, tak cukup hanya dengan, misalnya, mengujinya dengan secarik kertas ujian tentang sifat Tuhan. Proses yang benar ialah upaya untuk memastikan bahwa interaksi personal dan interpersonal seorang anak dengan guru, orangtua, dan lingkungannya tumbuh dari pengetahuan yang dia peroleh secara benar, membiasakannya secara terus-menerus dalam konteks budaya sekolah yang sehat, memperoleh teladan yang tiada henti dari guru, orangtua, dan lingkungannya, serta adanya kendali moral yang akan tumbuh secara bersamaan dari dalam dan luar diri mereka sendiri.

Jika para pendidik kita memiliki visi yang sama dalam menempatkan proses sebagai unsur paling penting dari sebuah sistem pendidikan, dapat dipastikan para siswa dan orangtua tak akan pernah takut ketika dihadapkan oleh sebuah ujian. Bahkan dalam jangka panjang, proses pendidikan yang benar, aktif, dan menyenangkan dapat menumbuhkan sekaligus mengembangkan watak anak untuk menjadi manusia yang fleksibel, terbuka, tegas, toleran, sportif, setia kawan, berani mengambil risiko, dan memiliki integritas.

Itulah sebabnya mengapa kebijakan soal UN sepertinya tetap saja kontroversial dilihat dari sudut kebutuhan penubuhan visi dan filosofi pendidikan secara luas. Dalam konteks high-stakes testing, muasal kesalahan ialah rendahnya kemampuan otoritas pendidikan dalam menerjemahkan filosofi dan visi pendidikan bangsa. Dari sudut filosofi pendidikan, pembicaraan tentang arti dan nilai (meaning and value) pendidikan seakan selalu berakhir dengan adanya model evaluasi semacam UN. Dialektika antara otoritas pendidikan, sekolah, masyarakat, dan siswa seharusnya mencerminkan visi dan filosofi pendidikan yang sehat, yang lebih menghargai proses yang benar, aktif, dan menyenangkan.


Pendek kata, kasus Akil Mochtar sebenarnya dan bisa jadi searah dengan kebijakan UN laksana jangkar kapal untuk bersandar yang dihempaskan ke laut dan membuat kapal tak bisa bergerak maju kecuali bergoyang di tempat. Padahal jika jangkar dilepas dan mesin dihidupkan, kapal dan seluruh isinya akan tersadar betapa luasnya laut biru dengan gelombang dan ombak yang akan selalu menguji seluruh isi kapal. Menikmati dentum dan deburan ombak sesungguhnya sebuah proses alamiah yang seharusnya bisa dinikmati seluruh awak kapal. Itulah makna sejati pendidikan sebagai sebuah proses yang tiada akhir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar