Selasa, 08 Oktober 2013

Tidak Ada Eustress dalam UN

Tidak Ada Eustress dalam UN
Ifa H Misbach  ;  Psikolog Pendidikan dan Karakter,
Ketua Bidang Penelitian P2T UPI Bandung
MEDIA INDONESIA, 07 Oktober 2013


KETIKA menanggapi polemik keluhan banyak siswa yang stres karena ujian nasional (UN), politikus Jusuf Kalla (JK) dalam pidato konvensi UN menilai para siswa justru harus dibiasakan belajar menghadapi stres. Dalam pandangannya, stres bukan hanya perkara ujian, karena kita sering berhadapan dengan stres dalam keseharian. JK menekankan dua hal, yaitu UN dipertahankan agar pendidikan Indonesia memiliki standar nasional dan UN memberi dorongan agar anak terpacu giat belajar.

Secara politis, isi pidato JK penting untuk kepentingan penyelenggara UN. Sayangnya tidak disertai kajian akademik dan bukti empirik yang kuat.
Melakukan generalisasi bahwa stres itu baik tanpa memahami konteks UN sebagai jenis highstakes testing akan menggiring kedangkalan pemahaman yang keliru. Kita perlu mengenali lebih dalam jenis stres seperti apa yang dikatakan baik. Sejauh mana kadar stres diperlukan untuk meningkatkan prestasi belajar? Lalu apakah UN memenuhinya?

Jenis stres

Dalam teori stres, tidak semuanya stres berperan baik meningkatkan tantangan, tapi tidak selamanya stres buruk. Hidup tanpa tantangan juga dapat memicu hipostres, yaitu `nihil' stres, yang ditandai dengan kebosanan ekstrem.
Sebetulnya, dalam kadar rendah atau medium yang tidak membahayakan fisik dan psikologis, stres diperlukan sistem imun tubuh. Jenis stres positif ialah eustress yang dapat merangsang sinyal pada organ-organ tubuh agar tetap bekerja waspada. Istilah eu, artinya good, berasal dari bahasa Yunani. 

Eustress pertama kali diperkenalkan Hans Seyle, ahli endokrinologi. Seseorang mengalami eustress saat merasakan situasi menantang. Dalam jangka pendek, jenis stres itu dapat memiliki efek positif pada kesehatan dan kinerja individu.

Sebaliknya, distress adalah jenis stres yang berdampak buruk pada kesehatan fisik dan emosional. Distress diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu acute distress, episodic acute distress, dan chronice distress.

Pertama, acute distress biasanya datang mendadak, menjadikan individu ketakutan dan bingung. Itu terjadi saat kita tidak siap, tapi harus siap. Gejala fisik yang terasa yaitu keringat mengucur deras, sakit kepala, detak jantung tidak teratur, tekanan darah berlebihan, dan persendian lemas atau dingin.
Gejala emosi yang terasa ialah takut, cemas, atau panik. Kendali terhadap kesadaran menurun drastis dan hilang arah. Acute distress hanya berlangsung singkat, tetapi sering menghasilkan reaksi fight (mengatasi ancaman) atau flight (menghindari ancaman).

Kedua, episodic acute distress biasanya timbul cepat, tajam, menyakitkan, dan berulang. Hal itu ditandai frekuensi seringnya acute distress datang secara berulang, yang menyebabkan kegelisahan, lekas marah, terburu-buru, tegang, migrain, hipertensi, dan nyeri dada.

Ketiga, chronice distress adalah jenis stres yang bertahan sampai jangka waktu lama, bisa hitungan bulan, bahkan tahunan. Chronice distress biasanya berasal dari keadaan yang tidak dapat dikontrol. Kemiskinan, perasaan terperangkap dalam beban hidup mengimpit, dan pengalaman trauma masa lalu yang tak selesai menjadi beberapa contoh peristiwa yang dapat menyebabkan chronice distress. Jika terus menetap sampai tahunan, stres itu akan berujung pada kondisi fatigue, yaitu kelelahan mental dan fisik yang amat sangat disertai penurunan sistem imun. Hal itu bisa berujung pada gangguan fisik seperti serangan jantung dan stroke. Gangguan mental yang dialami ialah depresi, apatis, atau bunuh diri dalam kasus ekstrem.

Studi eustress vs distress

Suatu studi menarik tentang peran stres dalam proses pembelajaran diulas Lipman, mantan wakil redaktur The Wall Street Journal. Ia mengulas sejumlah studi empirik dari para ahli psikologi pendidikan tentang eustress yang dapat menantang siswa giat belajar. Studi itu menjelaskan proses belajar yang sedikit menyakitkan itu perlu. Di bawah tekanan guru yang keras, disiplin kuat, dan kualitas standar tinggi, siswa tidak hanya berprestasi baik, tetapi memiliki self-motivation untuk menghasilkan kinerja optimal. Tidak semua guru killer berdampak positif membangkitkan self-motivation pada siswa. Hanya jenis guru killer yang teguh pada prinsip disertai feedback yang jelas dalam memperbaiki kekuranganlah yang membuat siswa merasakan keseriusan atensi guru yang tulus. Saat guru menetapkan target sedikit lebih tinggi di atas kemampuannya, siswa merasa tertantang karena merasa dipercaya mampu menaklukkan target.
Meski siswa jatuh bangun frustrasi karena gagal, mereka terus diberi ruang kesempatan mencoba kembali. Saking seringnya siswa tertantang terus mencoba, siswa tidak menyadari lagi performance mereka terus meningkat dari waktu ke waktu. Akhirnya yang dikejar bukan lagi skor, melainkan kegairahan untuk terus meningkatkan personal growth.

Guru berkualitas dalam sistem evaluasi yang menyediakan ruang kegagalan memberi sinyal kuat pada siswa bahwa kegagalan ialah bagian dari proses belajar. Itulah bahan bakar eustress yang menantang siswa untuk terus do the best dan membangun selfmotivation dalam jangka panjang. Sebaliknya, UN sebagai jenis high-stakes testing tidak menyediakan ruang kegagalan ketika siswa tidak lulus. Para ahli pengukuran sebagai sutradara soal hanya menguji output kriteria standar nasional. Kalau peserta tidak lulus, itu bukan urusan ahli pengukuran, itu urusan peserta sendiri.

Distress dan UN

Hasil survei pengalaman UN periode 2004-2013 oleh Pusat Psikologi Terapan UPI menunjukkan UN ternyata tidak dimaknakan para responden sebagai tantangan untuk meningkatkan motivasi belajar. Jenis tekanan distress terdeteksi lebih tinggi 60% daripada eustress pada 597 responden yang terjaring dari 25 provinsi. Enam bulan persiapan dan tiga hari pelaksanaan UN telah memicu episodic acute distress karena secara berulang menghasilkan emosi intens, seperti gelisah, tidak percaya diri, takut, dan cemas. Perasaan cemas sekaligus malu jika tidak lulus UN membuat responden dihantui putus sekolah.

Serangan episodic acute distress itu membuat banyak siswa melarikan diri pada ritual keagamaan sampai ritual yang bersifat klenik demi lulus. Sebanyak 67% responden memilih apatis dan menya takan UN ialah pengalaman buruk yang mencekam bukan menggairahkan, apalagi menantang gairah belajar untuk mengembangkan nalar. Dalam wawancara terpisah, lima responden menyaksikan teman mereka menjadi korban bunuh diri ketika gagal UN.

Dalam survei, terdeteksi hal yang jauh lebih membahayakan moral di masa depan. Sebanyak 75% responden menyatakan pengalaman buruk UN bukan karena takut tidak lulus, melainkan karena mereka memendam stres harus menyaksikan sekaligus terlibat kecurangan yang sistematis. Rasa bersalah pada nurani meninggalkan chronice distress sampai tahunan sebagai bentuk trauma moral yang tak selesai. Mereka kesulitan memahami relevansi antara nilai-nilai moral kejujuran yang diajarkan di kelas dan kenyataan bahwa guru, pengawas, kepala sekolah melakukan kecurangan mengatrol nilai, membocorkan kunci jawaban, dan membiarkan mereka menyontek massal.

Negara tidak pernah serius menangani kemerosotan moral dan tekanan psikologis sejauh tidak berkorelasi positif pada kriteria standar nasional. Hal itu tampak pada 27 rekomendasi hasil Konvensi UN, persoalan multidimensi UN hanya dituangkan ke masalah teknis dan manajemen UN. Alam berpikir pemerintah yang merasa berkuasa mengendalikan kelulusan membuat siswa tidaklah lebih dari sekumpulan objek kategori statistik.


Manfaat siswa bagi negara hanya dihitung sejauh prestasi UN berkontribusi positif bagi kurva kekuasaan pendidikan dengan kelulusan 99%. Di luar itu, mimpi, aspirasi, harapan siswa, atau korban mati dianggap tidak relevan. Selama persoalan moral UN tidak pernah dipulihkan, dengan sendirinya sudah menghancurkan pendidikan karakter dalam kurikulum 2013. Moratorium UN harus segera dilakukan, jika tidak, to educate a person in the mind but not in morals is to educate a menace (Theodore Roosevelt). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar