|
KETIKA menanggapi polemik keluhan banyak
siswa yang stres karena ujian nasional (UN), politikus Jusuf Kalla (JK) dalam
pidato konvensi UN menilai para siswa justru harus dibiasakan belajar
menghadapi stres. Dalam pandangannya, stres bukan hanya perkara ujian, karena
kita sering berhadapan dengan stres dalam keseharian. JK menekankan dua hal,
yaitu UN dipertahankan agar pendidikan Indonesia memiliki standar nasional dan
UN memberi dorongan agar anak terpacu giat belajar.
Secara politis, isi pidato JK penting untuk kepentingan penyelenggara
UN. Sayangnya tidak disertai kajian akademik dan bukti empirik yang kuat.
Melakukan generalisasi bahwa stres itu baik tanpa memahami konteks UN sebagai
jenis highstakes testing akan
menggiring kedangkalan pemahaman yang keliru. Kita perlu mengenali lebih dalam
jenis stres seperti apa yang dikatakan baik. Sejauh mana kadar stres diperlukan
untuk meningkatkan prestasi belajar? Lalu apakah UN memenuhinya?
Jenis stres
Dalam teori stres, tidak semuanya stres berperan baik
meningkatkan tantangan, tapi tidak selamanya stres buruk. Hidup tanpa tantangan
juga dapat memicu hipostres, yaitu `nihil' stres, yang ditandai dengan
kebosanan ekstrem.
Sebetulnya, dalam kadar rendah atau medium yang tidak membahayakan fisik dan
psikologis, stres diperlukan sistem imun tubuh. Jenis stres positif ialah eustress yang dapat merangsang sinyal
pada organ-organ tubuh agar tetap bekerja waspada. Istilah eu, artinya good, berasal
dari bahasa Yunani.
Eustress pertama
kali diperkenalkan Hans Seyle, ahli endokrinologi. Seseorang mengalami eustress
saat merasakan situasi menantang. Dalam jangka pendek, jenis stres itu dapat
memiliki efek positif pada kesehatan dan kinerja individu.
Sebaliknya, distress adalah jenis stres yang berdampak buruk
pada kesehatan fisik dan emosional. Distress
diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu acute
distress, episodic acute distress, dan chronice
distress.
Pertama, acute
distress biasanya datang mendadak, menjadikan individu ketakutan dan
bingung. Itu terjadi saat kita tidak siap, tapi harus siap. Gejala fisik yang
terasa yaitu keringat mengucur deras, sakit kepala, detak jantung tidak
teratur, tekanan darah berlebihan, dan persendian lemas atau dingin.
Gejala emosi yang terasa ialah takut, cemas, atau panik. Kendali terhadap kesadaran menurun drastis dan hilang arah. Acute distress hanya berlangsung singkat, tetapi sering menghasilkan reaksi fight (mengatasi ancaman) atau flight (menghindari ancaman).
Gejala emosi yang terasa ialah takut, cemas, atau panik. Kendali terhadap kesadaran menurun drastis dan hilang arah. Acute distress hanya berlangsung singkat, tetapi sering menghasilkan reaksi fight (mengatasi ancaman) atau flight (menghindari ancaman).
Kedua, episodic acute
distress biasanya timbul cepat, tajam, menyakitkan, dan berulang. Hal itu
ditandai frekuensi seringnya acute
distress datang secara berulang, yang menyebabkan kegelisahan, lekas marah,
terburu-buru, tegang, migrain, hipertensi, dan nyeri dada.
Ketiga, chronice distress adalah jenis stres yang bertahan
sampai jangka waktu lama, bisa hitungan bulan, bahkan tahunan. Chronice distress biasanya berasal dari
keadaan yang tidak dapat dikontrol. Kemiskinan, perasaan terperangkap dalam
beban hidup mengimpit, dan pengalaman trauma masa lalu yang tak selesai menjadi
beberapa contoh peristiwa yang dapat menyebabkan chronice distress. Jika terus menetap sampai tahunan, stres itu
akan berujung pada kondisi fatigue,
yaitu kelelahan mental dan fisik yang amat sangat disertai penurunan sistem
imun. Hal itu bisa berujung pada gangguan fisik seperti serangan jantung dan stroke. Gangguan mental yang dialami
ialah depresi, apatis, atau bunuh diri dalam kasus ekstrem.
Studi eustress vs
distress
Suatu studi menarik tentang peran stres dalam proses
pembelajaran diulas Lipman, mantan wakil redaktur The Wall Street Journal. Ia mengulas sejumlah studi empirik dari
para ahli psikologi pendidikan tentang eustress
yang dapat menantang siswa giat belajar. Studi itu menjelaskan proses belajar
yang sedikit menyakitkan itu perlu. Di bawah tekanan guru yang keras, disiplin
kuat, dan kualitas standar tinggi, siswa tidak hanya berprestasi baik, tetapi
memiliki self-motivation untuk
menghasilkan kinerja optimal. Tidak semua guru killer berdampak positif membangkitkan self-motivation pada siswa. Hanya jenis guru killer yang teguh pada prinsip disertai feedback yang jelas dalam memperbaiki kekuranganlah yang membuat
siswa merasakan keseriusan atensi guru yang tulus. Saat guru menetapkan target
sedikit lebih tinggi di atas kemampuannya, siswa merasa tertantang karena merasa
dipercaya mampu menaklukkan target.
Meski siswa jatuh bangun frustrasi karena gagal, mereka terus diberi ruang
kesempatan mencoba kembali. Saking seringnya siswa tertantang terus mencoba,
siswa tidak menyadari lagi performance
mereka terus meningkat dari waktu ke waktu. Akhirnya yang dikejar bukan lagi skor, melainkan kegairahan untuk terus
meningkatkan personal growth.
Guru berkualitas dalam sistem evaluasi yang menyediakan
ruang kegagalan memberi sinyal kuat pada siswa bahwa kegagalan ialah bagian
dari proses belajar. Itulah bahan bakar eustress
yang menantang siswa untuk terus do the
best dan membangun selfmotivation
dalam jangka panjang. Sebaliknya, UN sebagai jenis high-stakes testing tidak menyediakan ruang kegagalan ketika siswa
tidak lulus. Para ahli pengukuran sebagai sutradara soal hanya menguji output
kriteria standar nasional. Kalau peserta tidak lulus, itu bukan urusan ahli pengukuran,
itu urusan peserta sendiri.
Distress dan UN
Hasil survei pengalaman UN periode 2004-2013 oleh Pusat
Psikologi Terapan UPI menunjukkan UN ternyata tidak dimaknakan para responden
sebagai tantangan untuk meningkatkan motivasi belajar. Jenis tekanan distress
terdeteksi lebih tinggi 60% daripada eustress pada 597 responden yang terjaring
dari 25 provinsi. Enam bulan persiapan dan tiga hari pelaksanaan UN telah
memicu episodic acute distress karena
secara berulang menghasilkan emosi intens, seperti gelisah, tidak percaya diri,
takut, dan cemas. Perasaan cemas sekaligus malu jika tidak lulus UN membuat
responden dihantui putus sekolah.
Serangan episodic
acute distress itu membuat banyak siswa melarikan diri pada ritual
keagamaan sampai ritual yang bersifat klenik demi lulus. Sebanyak 67% responden
memilih apatis dan menya takan UN ialah pengalaman buruk yang mencekam bukan
menggairahkan, apalagi menantang gairah belajar untuk mengembangkan nalar.
Dalam wawancara terpisah, lima responden menyaksikan teman mereka menjadi
korban bunuh diri ketika gagal UN.
Dalam survei, terdeteksi hal yang jauh lebih membahayakan
moral di masa depan. Sebanyak 75% responden menyatakan pengalaman buruk UN
bukan karena takut tidak lulus, melainkan karena mereka memendam stres harus
menyaksikan sekaligus terlibat kecurangan yang sistematis. Rasa bersalah pada
nurani meninggalkan chronice distress
sampai tahunan sebagai bentuk trauma moral yang tak selesai. Mereka kesulitan
memahami relevansi antara nilai-nilai moral kejujuran yang diajarkan di kelas
dan kenyataan bahwa guru, pengawas, kepala sekolah melakukan kecurangan
mengatrol nilai, membocorkan kunci jawaban, dan membiarkan mereka menyontek
massal.
Negara tidak pernah serius menangani kemerosotan moral dan
tekanan psikologis sejauh tidak berkorelasi positif pada kriteria standar
nasional. Hal itu tampak pada 27 rekomendasi hasil Konvensi UN, persoalan
multidimensi UN hanya dituangkan ke masalah teknis dan manajemen UN. Alam
berpikir pemerintah yang merasa berkuasa mengendalikan kelulusan membuat siswa
tidaklah lebih dari sekumpulan objek kategori statistik.
Manfaat siswa bagi negara
hanya dihitung sejauh prestasi UN berkontribusi positif bagi kurva kekuasaan
pendidikan dengan kelulusan 99%. Di luar itu, mimpi, aspirasi, harapan siswa,
atau korban mati dianggap tidak relevan. Selama persoalan moral UN tidak pernah
dipulihkan, dengan sendirinya sudah menghancurkan pendidikan karakter dalam
kurikulum 2013. Moratorium UN harus segera dilakukan, jika tidak, to educate a person in the mind but not in
morals is to educate a menace (Theodore
Roosevelt). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar