|
UJIAN nasional (UN) wujud dari tidak terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia karena walau layanan pendidikan tidak
merata, ujian tetap sama. Selama lebih dari 30 tahun terjun di dunia pendidikan
dan memberikan pelatihan di berbagai wilayah di Indonesia, saya menyaksikan
sendiri fakta yang miris bahwa pertarungan antara keadilan dan diskriminasi
lebih sering berakhir dengan pertimbangan-pertimbangan politis, dan keengganan
untuk menegakkan rasa tanggung jawab memenuhi keadilan yang proporsional bagi
siswa dan guru yang hidup dengan akses geografi dan ekonomi terbatas.
Sebutlah sebuah sekolah di salah satu kecamatan terjauh di
Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan dan tambang yang beberapa kali saya
kunjungi dalam kapasitas sebagai teacher trainer. Kondisi fisik sekolah, sarana
dan prasarana yang minim, serta model pembelajaran di kelas membuat saya makin
merasakan betapa tidak adilnya mengevaluasi siswanya dengan alat ukur yang sama
dengan anak-anak yang menerima layanan yang jauh lebih baik. Proses
belajarmengajar terkesan asal ada karena memang hasil akhir yang utama ialah
nilai UN. Ruang kelas rata-rata sekadar berupa ruangan persegi dengan lantai
kusam dan sarana penerangan yang terbatas. Perpustakaan dan fasilitas umum
lainnya terlihat sangat terbatas. Dalam situasi belajar yang timpang seperti
itu, UN merupakan sebuah kebijakan yang tidak adil bila pemenuhan standar
pendidikan nasional belum terjadi.
Pada 68 tahun silam, para founding fathers kita meyakini mimpi besar bahwa dimensi keadilan
sosial merupakan pilar penting penyangga keutuhan NKRI. Oleh karena itu, dalam
rumusan Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dimasukkan
sebagai sila ke-5 sebagai salah satu dasar negara.
Prestasi belajar?
Sejak 2005 layanan pendidikan kita di sekolah bertumpu
terlalu berat pada UN yang kemudian dianggap sebagai alat meluluskan siswa,
walaupun dalam format terakhir dikompromikan persentase bobotnya menjadi 60%.
UN kemudian serta-merta digunakan sebagai alat untuk menstandarkan siswa di
setiap jenjang pendidikan.
Sebagian besar sekolah terutama yang di bawah kendali
pemerintah menjadi berlomba-lomba untuk menyajikan nilai tinggi dari UN sebagai
wujud keberhasilan sekolah. Keadaan tersebut kemudian secara kumulatif dianggap
sebagai keberhasilan pemerintah kota atau kabupaten dalam membina pendidikan di
wilayahnya. Di tingkat nasional, pihak Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) lalu seolaholah meyakini bahwa UN merupakan potret pendidikan
Indonesia. Benarkah demikian? Tentu saja jawabannya ialah tidak. Kalau dianggap
keberhasilan sekolah, itu hanyalah keberhasilan semu.
Munculnya statistik yang
memuat nilai anak-anak lantas menjadi sah untuk menyebutkan suksesnya pendidik
di daerah-daerah.
Jika hasil nilai UN siswa dianggap sebagai gambaran kompetensi
individu anak didik, itu berbahaya karena sebenarnya angka yang diperolehnya
bukan semata-mata menggambarkan keberhasilan proses belajar-mengajar yang
mereka alami. Dengan adanya UN, proses belajarmengajar yang saya saksikan lebih
pada menggarap anak-anak agar lulus UN. Kurikulum tidak menjadi acuan mengajar.
Bahan ajar dipilih-pilih agar pas dengan soal-soal yang dimunculkan di ulangan
sekolah dan UN. Alasannya sederhana agar nilainya anak-anak bagus. Kisi-kisi UN
menjadi rujukan mengajar, kriteria ketuntasan minimal (KKM) dibuat tinggi agar
nantinya ketika digabung dengan nilai UN, hasil akhirnya tetap bagus.
Akhirnya proses belajar-mengajar menjadi lebih sebagai media mengambil nila siswa dan bukan sarana membelajarkan siswa untuk berpengetahuan, mampu berpikir kritis, berkomunikasi, dan bertingkah laku.
Akhirnya proses belajar-mengajar menjadi lebih sebagai media mengambil nila siswa dan bukan sarana membelajarkan siswa untuk berpengetahuan, mampu berpikir kritis, berkomunikasi, dan bertingkah laku.
Layanan timpang
Dalam kunjungan beberapa kali ke sekolah di salah satu
kecamatan terjauh di Kalimantan Selatan yang dikelilingi hutan rimba dan tambang,
tampak dengan jelas fakta luputnya tanggung jawab negara dalam memenuhi
keadilan layanan pendidikan negara bagi rakyat. Kondisi sarana dan prasarana
yang minim tampak dari kondisi fisik ruang kelas yang ratarata sekadar ruangan
petak dengan lantai kusam dan penerangan temaram yang menyulitkan mata dapat
membaca dengan baik. Perpustakaan seadanya dan fasilitas umum lainnya yang di
bawah standar kesehatan yang layak. Guru-guru yang saya temui masih jauh dari
bermutu, sudah bersedia mengajar dengan model pembelajaran yang ala kadarnya
saja sudah disyukuri.
Betapa tidak adil nya para siswa dan guru yang masih harus
berjuang kepayahan di pedalaman karena tak tersentuh layanan pemerintah, tetapi
di akhir jenjang, siswanya dipaksa distandarkan lewat UN. Keberhasilan mereka
diukur dengan alat ukur yang sama dengan sekolah-sekolah yang sudah lama tersentuh
mutu dan layanan yang memadai terutama di pulau Jawa. Kebijakan UN tidak adil
bagi anak-anak yang secara geografis, budaya, dan ekonomi kurang beruntung sebab
mereka diukur dengan UN yang sama dengan anak-anak yang bersekolah dengan
sarana dan fasilitas yang lebih baik.
Jika layanan pendidikan belum dipenuhi standarnya, UN tentunya tidak bisa
dijadikan alat ukur keberhasilan proses pembelajaran secara nasional yang
valid.
Layanan
pendidikan
Pemerintah memiliki tanggung jawab dalam rangka memenuhi
tercapainya standar dan layanan pendidikan yang diamanatkan dalam UU Sisdiknas.
Layanan pendidikan ialah terpenuhinya sarana dan prasarana belajar bagi siswa
secara memadai, tersedianya pendidik yang berkualitas, materi pembelajaran yang
mudah diakses, fasilitas sekolah, serta kualitas proses pembelajaran itu
sendiri. Dengan tersedianya layanan seperti itu, proses pendidikan akan
memberikan manfaat dan keuntungan bagi siswa agar dapat berperan aktif sesuai
dengan tantangan zaman.
Dalam skema pendidikan yang bermutu, layanan pendidikan
bermutu akan melahirkan proses belajar-mengajar yang berkualitas. Proses
pembelajaran yang berkualitas membuat kegiatan pembelajaran menjadi bermakna
dan menumbuhkan pemahaman, pengertian dan keterampilan, dan perubahan positif
sikap siswa. Kekacauan dalam dunia pendidikan Indonesia terjadi karena evaluasi
menjadi tujuan dari pengajaran dan pembelajaran. Pa dahal seharusnya eva luasi
pembelajaran ditujukan sebagai indikator di dalam mem perbaiki proses belajar
dan mengajar.
Pembelajaran itu akan semakin ber kualitas ketika proses
belajarmengajar itu dilakukan guru yang berkualitas. Artinya, guru mampu
merencanakan dan menyelenggarakan proses pembelajaran dan mengevaluasinya
secara objektif yang mewakili kemampuannya.
Sayangnya, pembelajaran yang seharusnya dapat lebih
berkualitas menjadi pudar ketika kebijakan nasional mensyaratkan nilai UN
menjadi faktor penentu kelulusan siswa. Sekolah tidak dinilai karena
keberhasilan proses belajar-mengajarnya bagi siswanya, tetapi hanya dinilai
karena kuantitas tingginya jumlah kelulusan siswa semata. Perbaikan yang tidak
mengarah ke keberhasilan untuk mencapai nilai UN yang tinggi menjadi
terabaikan.
Padahal, pendidikan sejatinya ialah hasil serangkaian
proses pembelajaran siswa secara menyeluruh dalam aspek kognitif, emosi dan
konatif yang seharusnya mutlak menjadi kewenangan sekolah di dalam memberikan
penilaian.
Pemerintah perlu memacu kinerjanya untuk memenuhi tuntutan
layanan standar minimal seperti yang diwajibkan dalam PP No 32/2013 tentang
Standar Nasional Pendidikan. Standar evaluasi siswa secara nasional lazimnya
diselenggarakan setelah seperangkat standar penyelenggaraan pendidikan di semua
sekolah dipenuhi.
Kebijakan dan peraturan yang menyangkut standar kompetensi
pendidik dan tenaga kependidikan harus diwujudkan melalui sistem evaluasi dan
monitor yang konsisten dari pemerintah. Standar mutu pengawas, kepala sekolah,
dan guru harus terlebih dahulu dipenuhi agar dapat menjalankan peran dan
fungsinya secara profesional. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar