Selasa, 01 Oktober 2013

Agree in Disagreement

Agree in Disagreement
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 30 September 2013


KONVENSI ujian nasional (UN) yang berakhir minggu lalu menyisakan banyak pertanyaan. Saya menyatakan setuju untuk tidak setuju (agree in disagreement) terhadap keputusan konvensi, yang tetap menetapkan negara sebagai penentu kelulusan UN. Pertanyaan lainnya, benarkah konvensi telah berhasil memberikan solusi bagi karutmarut kondisi pendidikan di Tanah Air? Atau malah memperuncing perbedaan bagi yang pro dan kontra? Konvensi, jika isinya kebanyakan ialah para pengambil kebijakan, sudah barang tentu ada niat untuk menggiring opini publik seakan-akan UN tetap diperlukan seluruh siswa, guru, dan para pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan. Apalagi yang diundang sebagai pembicara ialah tokoh sekaliber Jusuf Kalla (JK), saudagar yang hanya bisa menghitung untung-rugi, tanpa perlu memperhatikan aspek teknis proses belajar-mengajar yang berlangsung di kelas-kelas.

Siapa pun akan setuju dengan pendapat JK bahwa UN tetap diperlukan. Namun, ada logika yang tak ditangkap secara baik oleh seorang JK bahwa UN menjadi gaduh karena bak godam maut merenggut hak wilayah guru dan sekolah yang sejatinya memiliki kewenangan dalam menentukan kelulusan siswa. Semua praktisi pendidikan yang kontra dengan UN ialah efek mematikan kreativitas mengajar karena negara yang harus menentukan kewenangan kelulusan siswa. Saya berani bertaruh, jika konvensi diubah menjadi jajak pendapat kepada semua siswa dan guru di seluruh Indonesia, pasti hasilnya tak akan ada yang setuju dengan UN yang sangat zalim itu.

Saya berkeliling lebih dari 14 provinsi dalam lima bulan terakhir, dalam rangka memperkenalkan kurikulum 2013. Dengan orientasi yang lebih memperhatikan aspek sikap (attitude) ketimbang kognitif siswa, justru pertanyaan banyak guru di sekolah ialah apakah kurikulum 2013 harus diujikan dengan skenario UN yang menggunakan penilaian kognitif tingkat rendah bagi siswa? Bagaimana dengan bentuk portfolio yang katanya akan diperkenalkan melalui kurikulum 2013? Bagaimana dengan authentic assessment berbasis saintifik yang akan menjadi dasar bentuk-bentuk penilaian siswa? Saya tak menemukan bukti konkret bagaimana hal-hal ini akan dilakukan oleh sekolah.

Dibunuh UN

Yang terjadi malah sebaliknya, sekolah kebanyakan akan mengambil jalan pintas untuk menguji siswa dengan model pengujian UN, dengan authentic assessment tak terjadi karena merasa percuma mempraktikkan proses belajar-mengajar yang kreatif, tetapi anak-anak tetap akan dibunuh dengan UN yang menyengsarakan. Jelas sekali Kemendikbud melalui konvensi mereka telah salah kaprah dalam menerjemahkan hasrat untuk menjadikan pendidikan lebih berkualitas. UN tetap akan salah arah karena tetap menentukan kelulusan siswa dan karenanya bertentangan dengan naluri teori belajar yang seharusnya mendominasi kebijakan bidang pendidikan yang bermutu sebagaimana diidealkan dalam kurikulum 2013.

Pada 2012 ada banyak pe mikir dan praktisi pendidikan yang mengeluarkan petisi soal UN. Mereka secara terus terang menyatakan ‘Petisi untuk Perbaikan Mutu Pendidikan Nasional ini ditujukan sebagai penyikapan terhadap semakin buruknya dampak UN bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Belenggu UN telah secara signifikan mereduksi pendidikan nasional menjadi sekadar pabrik pencetak generasi pekerja yang nirnalar dan beriman pragmatis’.

Benarkah UN sudah menjadi pabrik pekerja yang nirnalar dan beriman pragmatis? Apa implikasi nirnalar dan beriman pragmatis dalam konteks kehidupan secara luas di masyarakat kita? Ini dua pertanyaan yang harus terus diuji siapa pun yang mencintai pendidikan di Tanah Air. Jika memang terbukti bahwa proses pendidikan kita menjadikan anak-anak hanya mencintai ijazah dan kelulusan semata, tanda-tanda kebangkrutan sosial sudah di depan mata. Namun, jika pendidikan masih mempertimbangkan aspek moralitas, etika, dan kohesi sosial yang kuat, prosesnya tentu saja harus diubah sedemikian rupa sehingga ketakutan untuk tidak lulus dan gagal bisa minimal dan anak-anak dapat lebih percaya diri dengan kegagalan mereka.

Dalam rumusan petisi tersebut, UN dianggap sebagai jenis ‘ujian kelulusan berisiko tinggi bagi siswa, guru, sekolah dan dinas pendidikan daerah telah menyepelekan proses pendidikan dasar dan menengah menjadi hanya berfokus pada kelulusan UN semata. Berbagai permasalahan dan perilaku negatif yang timbul sebagai konsekuensi logis penempatan UN ini antara lain: penyempitan kurikulum, pengastaan mata pelajaran, pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang bersifat hafalan, dan perilaku jalan pintas’.

Tentu saja tak sembarangan jika para pakar dan praktisi pendidikan yang mendeklarasikan petisi itu memiliki anggapan negatif tentang UN. Penyempitan kurikulum jelas sangat terlihat nyata jika faktanya ialah kemampuan guru dalam membuat rencana pembelajaran. Dalam bahasa Fenwick W English (2002), kemampuan guru untuk melihat secara komprehensif dan luas keterpautan antara dokumen tertulis (written curriculum) dengan cara mengajarkannya (taught) dan mengujinya (tested) sangatlah rendah untuk tidak mengatakannya terbiasa menyontek SKKD yang bak barang suci dan tidak bisa diubah sebagai basisnya. Di sinilah terlihat bentuk penyempitan kurikulum terjadi.

Pengastaan mata ajar juga terjadi karena kasatmata antara jumlah mata ajar yang dipelajari di sekolah dan mata ajar yang akan diujikan secara nasional dan memengaruhi kelulusan siswa sangat mencolok. SMP dan SMA belajar kurang lebih 13-14 mata pelajaran, yang diujikan secara nasional hanya 4-5. Belum lagi pengastaan secara rumpun, yang terkadang baik guru maupun orangtua memberikan status berbeda antara anak yang cenderung ke ilmu sosial dan ilmu pengetahuan alam. Bahasa kebijakan pendidikan kita jelas tidak memberikan pemahaman yang benar bahwa semua mata ajar sesungguhnya berhubungan satu sama lain dan tugas gurulah untuk mengintegrasikannya ke dalam skema belajar-mengajar secara baik.

Mengapa kita tak berani memberikan dan membiarkan sekolah dengan segala macam pernak-perniknya menjadi penanggung jawab tunggal kelulusan siswa-siswa mereka, sambil tak lupa terus memberi pengayaan perspektif manajemen sekolah yang efektif dan dicintai masyarakat sekitarnya? Jika kita berkeyakinan bahwa UN sebagai alat ukur kualitas pendidikan nasional, yang harus diperhatikan ialah unit atau satuan sekolah atau lembaga pendidikannya, bukan mengorbankan anak-anak dengan hukuman lulus dan tidak lulus. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar