|
KONVENSI ujian nasional (UN) yang berakhir minggu lalu menyisakan
banyak pertanyaan. Saya menyatakan setuju untuk tidak setuju (agree in disagreement) terhadap
keputusan konvensi, yang tetap menetapkan negara sebagai penentu kelulusan UN. Pertanyaan
lainnya, benarkah konvensi telah berhasil memberikan solusi bagi karutmarut
kondisi pendidikan di Tanah Air? Atau malah memperuncing perbedaan bagi yang
pro dan kontra? Konvensi, jika isinya kebanyakan ialah para pengambil
kebijakan, sudah barang tentu ada niat untuk menggiring opini publik
seakan-akan UN tetap diperlukan seluruh siswa, guru, dan para pemangku
kepentingan (stakeholder) pendidikan.
Apalagi yang diundang sebagai pembicara ialah tokoh sekaliber Jusuf Kalla (JK),
saudagar yang hanya bisa menghitung untung-rugi, tanpa perlu memperhatikan
aspek teknis proses belajar-mengajar yang berlangsung di kelas-kelas.
Siapa pun akan setuju dengan pendapat JK bahwa UN tetap
diperlukan. Namun, ada logika yang tak ditangkap secara baik oleh seorang JK
bahwa UN menjadi gaduh karena bak godam maut merenggut hak wilayah guru dan
sekolah yang sejatinya memiliki kewenangan dalam menentukan kelulusan siswa.
Semua praktisi pendidikan yang kontra dengan UN ialah efek mematikan
kreativitas mengajar karena negara yang harus menentukan kewenangan kelulusan
siswa. Saya berani bertaruh, jika konvensi diubah menjadi jajak pendapat kepada
semua siswa dan guru di seluruh Indonesia, pasti hasilnya tak akan ada yang
setuju dengan UN yang sangat zalim itu.
Saya berkeliling lebih dari 14 provinsi dalam lima bulan
terakhir, dalam rangka memperkenalkan kurikulum 2013. Dengan orientasi yang
lebih memperhatikan aspek sikap (attitude) ketimbang kognitif siswa, justru
pertanyaan banyak guru di sekolah ialah apakah kurikulum 2013 harus diujikan
dengan skenario UN yang menggunakan penilaian kognitif tingkat rendah bagi
siswa? Bagaimana dengan bentuk portfolio yang katanya akan diperkenalkan
melalui kurikulum 2013? Bagaimana dengan authentic assessment berbasis
saintifik yang akan menjadi dasar bentuk-bentuk penilaian siswa? Saya tak
menemukan bukti konkret bagaimana hal-hal ini akan dilakukan oleh sekolah.
Dibunuh UN
Yang terjadi malah sebaliknya, sekolah kebanyakan akan
mengambil jalan pintas untuk menguji siswa dengan model pengujian UN, dengan
authentic assessment tak terjadi karena merasa percuma mempraktikkan proses
belajar-mengajar yang kreatif, tetapi anak-anak tetap akan dibunuh dengan UN
yang menyengsarakan. Jelas sekali Kemendikbud melalui konvensi mereka telah
salah kaprah dalam menerjemahkan hasrat untuk menjadikan pendidikan lebih
berkualitas. UN tetap akan salah arah karena tetap menentukan kelulusan siswa
dan karenanya bertentangan dengan naluri teori belajar yang seharusnya
mendominasi kebijakan bidang pendidikan yang bermutu sebagaimana diidealkan dalam
kurikulum 2013.
Pada 2012 ada banyak pe mikir dan praktisi pendidikan yang
mengeluarkan petisi soal UN. Mereka secara terus terang menyatakan ‘Petisi untuk Perbaikan Mutu Pendidikan
Nasional ini ditujukan sebagai penyikapan terhadap semakin buruknya dampak UN
bagi upaya pencerdasan kehidupan bangsa. Belenggu UN telah secara signifikan
mereduksi pendidikan nasional menjadi sekadar pabrik pencetak generasi pekerja
yang nirnalar dan beriman pragmatis’.
Benarkah UN sudah menjadi pabrik pekerja yang nirnalar dan
beriman pragmatis? Apa implikasi nirnalar dan beriman pragmatis dalam konteks
kehidupan secara luas di masyarakat kita? Ini dua pertanyaan yang harus terus
diuji siapa pun yang mencintai pendidikan di Tanah Air. Jika memang terbukti
bahwa proses pendidikan kita menjadikan anak-anak hanya mencintai ijazah dan
kelulusan semata, tanda-tanda kebangkrutan sosial sudah di depan mata. Namun,
jika pendidikan masih mempertimbangkan aspek moralitas, etika, dan kohesi
sosial yang kuat, prosesnya tentu saja harus diubah sedemikian rupa sehingga
ketakutan untuk tidak lulus dan gagal bisa minimal dan anak-anak dapat lebih
percaya diri dengan kegagalan mereka.
Dalam rumusan petisi tersebut, UN dianggap sebagai jenis ‘ujian kelulusan berisiko tinggi bagi siswa,
guru, sekolah dan dinas pendidikan daerah telah menyepelekan proses pendidikan
dasar dan menengah menjadi hanya berfokus pada kelulusan UN semata. Berbagai
permasalahan dan perilaku negatif yang timbul sebagai konsekuensi logis
penempatan UN ini antara lain: penyempitan kurikulum, pengastaan mata
pelajaran, pengajaran berbasis soal ujian, pembelajaran yang bersifat hafalan,
dan perilaku jalan pintas’.
Tentu saja tak sembarangan jika para pakar dan praktisi
pendidikan yang mendeklarasikan petisi itu memiliki anggapan negatif tentang
UN. Penyempitan kurikulum jelas sangat terlihat nyata jika faktanya ialah
kemampuan guru dalam membuat rencana pembelajaran. Dalam bahasa Fenwick W
English (2002), kemampuan guru untuk melihat secara komprehensif dan luas
keterpautan antara dokumen tertulis (written
curriculum) dengan cara mengajarkannya (taught)
dan mengujinya (tested) sangatlah
rendah untuk tidak mengatakannya terbiasa menyontek SKKD yang bak barang suci
dan tidak bisa diubah sebagai basisnya. Di sinilah terlihat bentuk penyempitan
kurikulum terjadi.
Pengastaan mata ajar juga terjadi karena kasatmata antara
jumlah mata ajar yang dipelajari di sekolah dan mata ajar yang akan diujikan
secara nasional dan memengaruhi kelulusan siswa sangat mencolok. SMP dan SMA
belajar kurang lebih 13-14 mata pelajaran, yang diujikan secara nasional hanya
4-5. Belum lagi pengastaan secara rumpun, yang terkadang baik guru maupun
orangtua memberikan status berbeda antara anak yang cenderung ke ilmu sosial
dan ilmu pengetahuan alam. Bahasa kebijakan pendidikan kita jelas tidak
memberikan pemahaman yang benar bahwa semua mata ajar sesungguhnya berhubungan
satu sama lain dan tugas gurulah untuk mengintegrasikannya ke dalam skema
belajar-mengajar secara baik.
Mengapa kita tak berani memberikan dan membiarkan sekolah
dengan segala macam pernak-perniknya menjadi penanggung jawab tunggal kelulusan
siswa-siswa mereka, sambil tak lupa terus memberi pengayaan perspektif
manajemen sekolah yang efektif dan dicintai masyarakat sekitarnya? Jika kita
berkeyakinan bahwa UN sebagai alat ukur kualitas pendidikan nasional, yang
harus diperhatikan ialah unit atau satuan sekolah atau lembaga pendidikannya,
bukan mengorbankan anak-anak dengan hukuman lulus dan tidak lulus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar