|
Pembahasan mengenai Bantuan Langsung Sementara Masyarakat
(BLSM) membangkitkan alam bawa sadar yang memutar kembali memori semasa kecil
lebih dari 50 tahun lalu. Ketika itu, kehidupan sebagian besar masyarakat di
sebuah desa 'terpencil' yang terletak di belahan timur Kabupaten Kupang, NTT
hidup dalam belaian 'kemiskinan'.
Makanan sehari-hari adalah pisang, ubi kayu atau jagung.
Nasi hanya bisa dinikmati di waktu panen sampai beberapa bulan kemudian, itu
pun sangat terbatas. Selain areal sawah masih sempit, seratus persen bergantung
alam alias sawah tadah hujan. Itu pun hasil panennya, kurang dari 500 kilogram
padi kering panen setiap hektarnya. Dan, hanya satu kali panen dalam satu
tahun.
Tapi, bagi masyarakat di era sebelum tahun 1970-an, hal itu
sudah dianggap biasa. Mungkin karena teknologi informasi belum secanggih sekarang.
Radio kecil (satu band) sudah menjadi barang mewah, apalagi pesawat televisi.
Bahkan, sepeda kayuh pun tergolong barang mewah.
Bersekolah dengan sepasang baju dan celana sampai
benar-benar sobek baru diganti dan tanpa alas kaki, merupakan hal biasa. Ayah
(bapak) melukiskan kondisi itu sebagai perjuangan yang belum selesai walau
Indonesia sudah merdeka. Terngiang pesan Ayah, "Suatu saat nanti, hidup akan lebih baik dan kalianlah yang akan
menikmatinya."
Memori masa kecil itu terbang seketika saat seorang
pengamat di salah satu RRI di daratan Papua dengan suara lantang mengatakan,
kebijakan memberikan kompensasi penaikan harga BBM kepada masyarakat miskin
berupa BLSM merupakan 'bencana kebijakan'. Bahkan, pada hari-hari berikutnya,
ada yang memberikan julukan BLSM sebagai "Bantuan Langsung Selalu
Masalah". Ada juga ejekan, seperti "Bantuan Langsung Selama
Miskin".
Secara umum, para pengamat dan para partisipan acara
Aspirasi Merah Putih, RRI yang menamakan diri "Parlemen Udara" bisa
menerima kebijakan pemberian BLSM kepada masyarakat miskin. Karena, walau hanya
empat bulan, BLSM tersebut paling tidak bisa meredam kegaualan masyarakat
akibat penaikan harga BBM yang diikuti kenaikan harga bahan pangan yang sampai
saat ini masih berlangsung.
Masalahnya, tercatat dua masalah penting yang perlu
dicermati. Pertama, data Rumah Tangga Sasaran (RTS) atau Rumah Tangga Miskin
(RTM) dinilai sebagai data yang asal-asalan, kalau tidak mau dikategorikan
sebagai amburadul. Kedua, bagaimana nasib RTS atau RTM yang tidak menerima
BLSM. Dibiarkan begitu saja?
Pembayaran BLSM salah sasaran pun selalu muncul. Di
Kabupaten Kepulauan Yapen di Papua Barat, misalnya, tercatat lebih dari 12.000
RTS atau RTM. Tapi, yang menerima BLSM hanya 9.295 RTS, sisanya sekitar 3.000
RTS tidak menerima. Banyak RTS/RTM yang tidak menerima BLSM tersebut, terjadi
hampir di semua daerah.
Hampir di semua kabupaten/kota dipastikan ada RTS atau RTM
yang tidak menerima BLSM. Akibatnya, masyarakat yang tidak menerima pun protes
sehingga tidak sedikit aparat desa/kelurahan yang 'ngumpat' (sembunyi) agar
tida 'digebuki' ibu-ibu atau masyarakat yang protes. Untuk meredam protes
tersebut, ada aparat desa/kelurahan yang nekad melakukan pungutan yang kemudian
dibagikan kepada RTS/RTM yang tidak menerima BLSM. Tindakan ini jelas
pelanggaran, tapi hanya itu yang bisa dilakukan.
Di sisi lain, untuk meredam protes tersebut, Kementerian
Dalam Negeri melalui Instruksi Menteri Dalam Negeri No 541/3130/JS/2013
memberikan kewenangan kepada bupati/walikota sampai ke tingkat kepala
desa/kepala kelurahan, bahkan sampai tingkat RT/RW, membentuk Posko Pengaduan
untuk kemudian dilakukan musyawarah dengan melibatkan berbagai elemen
masyarakat.
Hanya saja, musyawarah tersebut sebatas membahas bagaimana
'menarik kembali' atau 'membatalkan' RTS/RTM yang 'tidak pantas' menerima tapi
menerima BLSM untuk kemudian dialihkan kepada RTS/RTM yang seharusnya menerima
BLSM. RTS atau RTM mana yang menerima 'pelimpahan' BLSM itulah yang dibahas dan
diputuskan dalam musyawarah desa/kelurahan yang melibatkan berbagai elemen
masyarakat tadi.
Itulah tugas pokok Posko Pengaduan dan Musyawarah
Desa/Kelurahan yang diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri No 541
tersebut. Bahkan, dalam instruksi itu ditegaskan bahwa Pemda Kabupaten/Kota
sampai tingkat paling bawah tidak memiliki kewenangan untuk mencetak Kartu
Jaminan Sosial (KJS) baru yang merupakan "Kartu Pengenal" penerima
BLSM yang disalurkan melalui PT Pos Indonesia.
Hal inilah yang mendorong seorang pengamat di daratan Papua
mengklaim BLSM sebagai 'bencana kebijakan'. Alasannya, Instruksi Mendagri
melarang pengadaan KJS baru oleh daerah. Berarti dana BLSM yang disediakan
hanya sebatas RTS/RTM pemegang KJS (Kartu Jaminan Sosial). Sebagaimana
diketahui, pemerintah memutuskan untuk memberikan BLSM kepada 15,5 juta RTS/RTM
dengan dana Rp 9,3 triliun, yakni Rp 150.000/RTS/RTM setiap bulan selama 4
bulan. Atau, Rp 600.000/RTS/RTM.
Pertanyaannya, bagaimana nasib RTS/RTM yang tidak menerima
BLSM. Adakah harapan mereka diakomodasi pemerintah dalam pembayaran BLSM
periode berikutnya?
Dikhawatiran, bila RTS/RTM yang tidak menerima BLSM
berdasarkan KJS ter-sebut tidak mendapat perhatian pemerintah alias dibiarkan
begitu saja, kemungkinan akan memicu 'konflik sosial tertutup' merupakan suatu
keniscayaan. Indikasinya mulai muncul dengan ejekan pemerintah 'pilih kasih'
dalam membantu masyarakat miskin melalui BLSM. Bahkan, muncul pula perasaan
sebagai 'warga yang dipinggirkan' atau 'bukan lagi warga negara' akibat tidak
mendapat BLSM.
Kecemburuan sosial tertutup tersebut tak berbeda dengan
'api dalam sekam' atau 'bom waktu' yang akan menebar bahaya suatu saat. Karena
itu, pemerintah seyogianya memperhatikan tata cara pendataan yang tepat dengan
melibatkan aparat terbawah yang tahu persis kondisi kehidupan masyarakatnya
sehari-hari.
Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar