|
Mencari sosok pemimpin dan tokoh publik yang bersih, jujur
dan konsisten, kini bagaikan mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Sekian
ratus guru ditemukan memalsukan ijazah, sekian dosen melakukan tindak plagiasi,
sekian polisi, anggota dewan terhormat dilaporkan dalam sebuah survei terbukti
melakukan tindak korupsi. Dilanjutkan dengan keterpurukan yang terparah, yaitu
kepala lembaga peradilan tertinggi di negeri ini pun tak luput dari tindak
amoral yang bukan saja meruntuhkan lembaga peradilan di mata rakyat Indonesia,
namun juga di mata internasional.
Ironisnya, orang-orang tersebut bahkan berasal dari
golongan manusia yang berilmu tinggi. Yang, sepatutnya memberikan teladan,
menjadi cermin dan memberikan manfaat besar bagi manusia lain. Ragam ilmu yang
mereka miliki seharusnya dapat membantunya (dan juga orang lain) mengarungi
kehidupan dengan lebih ringan. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.
Maka, menjadi wajar jika generasi muda kita kini banyak
mengalami degradasi moral, karena mereka mengenyam pendidikan tanpa
keteladanan. Kasus kenakalan remaja makin merebak, tawuran antarsekolah sering
terjadi, kekerasan dan tindak bullying ada di mana-mana, menggejalanya video
seks yang diperankan oknum siswa, dan sekian kasus krisis karakter ini terus
terjadi.
Padahal, melalui pendidikan keterpurukan ini bisa mengalami
perbaikan. Karena itu, pendidikan sebagai benih harapan harus menjadikan
karakter sebagai tumpuan dasar. Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran,
keturunan, keelokan, dan kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak
bisa lagi dipercaya dan tak punya keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan
karakter. Pepatah Inggris mengatakan, When
character is lost, everything is lost.
Sedemikian pentingnya pembentukan karakter, seperti yang
dituliskan oleh Yudhi Latif (Kompas, 8
Mei 2013), bahwa pendidikan sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan
kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai tumpuan dasar. Harus dihindari
pengajaran yang terlalu mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah. Pertama-tama
harus ditekankan pembangunan aspek kejiwaan.
Pengaruh jejak-jejak kolonialisme atas masa penjajahan yang
berlangsung cukup lama di Indonesia, telah melahirkan mental pesuruh dan mental
pegawai bagi kebanyakan bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan nasional yang
hanya diabdikan untuk melaksanakan roda pemerintahan kolonial telah memberikan
ciri utama pendidikan sebagai upaya untuk memperoleh ijazah sebagai legitimasi
untuk naik pada jenjang sosial masyarakat kolonial. Inilah yang disebut the diploma disease.
Sehingga, pengaruh itu kini masih dirasakan, ketika pola
pendidikan kita terlalu memuja hasil daripada proses. Siswa-siswa kita menjadi
pemburu nilai tinggi demi perolehan ijazah yang sempurna, demi masa depan dan
status sosial yang lebih tinggi. Didukung dengan penghormatan masyarakat yang
sedemikian tingginya terhadap orang-orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan
tinggi. 'Anak emas' terhadap perolehan nilai akademis pun akhirnya meminggirkan
perolehan value, yang berupa nilai-nilai kebajikan, sikap, perilaku dan etika.
Rhenald Kasali dalam bukunya, Cracking Values (2012) mengatakan, betapa penting tata nilai dalam
kehidupan berbangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang juga memiliki tata
nilai yang kuat. Singapura menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dunia,
salah satunya karena tata nilai yang ia kembangkan. Beberapa core values Singapura di antaranya:
kepentingan masyarakat diutamakan, keluarga adalah bangunan utama bangsa,
menghormati hak-hak individu dan mendorong komunitas untuk menolong orang-orang
yang tidak beruntung, pemecahan masalah berdasarkan kesepakatan bersama, dan
hubungan yang harmonis. Selain itu, China dan Jepang juga merupakan contoh
bangsa maju yang mengedepankan tata nilai. China dengan ajaran Konfusius-nya,
dan Jepang dengan semangat Bushido-nya.
Maka, sudah sepatutnya pendidikan kita kembali kepada
khittoh-nya. Pendidikan karakter jarus digenjot sehingga aspek-aspek akademik
dapat tercapai secara seimbang diiringi aspek afektif dan psikomotorik. Sesuai
dengan amanah UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Ketika pendidikan ini miskin keteladanan, kita jangan
sampai berhenti berharap untuk perubahan di negeri ini. Tanpa keteladaan yang
riil, semua itu akan menjadi sia-sia. Jika selepasnya mereka dari sekolah,
anak-anak justru melihat para pemimpin atau bahkan gurunya menjadi tontonan di
layar-layar televisi karena kasus-kasus korupsi dan tindak pelanggaran hukum
lain yang menjeratnya.
Maka, seorang guru haruslah tetap merawat harapan bagi
setiap muridnya, bahwa masih banyak orang-orang yang bisa dijadikan teladan.
Meminjam istilah Emha Ainun Najib bahwa sejatinya orang-orang yang hidupnya
konsisten kepada kebaikan, itulah yang disebut pemimpin sejati.
Itulah
cara pandang yang perlu diubah, sehingga kita tidak perlu menunggu keteladanan
bagi para pemimpin yang tidak konsisten, karena sejatinya pemimpin itu ada di
sekitar kita, yaitu pada orang-orang yang selalu merawat kebaikan. Ketika
pendidikan harus menekankan kepada perolehan perubahan perilaku, maka kehadiran
para 'pemimpin', yaitu orang-orang yang mampu memberikan teladan, akan
memberikan lentera harapan kepada anak-anak didik kita. Bahwa masih ada
orang-orang di dekat mereka yang bisa dijadikan panutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar