Jumat, 18 Oktober 2013

Mencari Keteladanan Pemimpin

Mencari Keteladanan Pemimpin
Arifah Suryaningsih  ;  Pendidik, Alumnus Manajemen Kepengawasan Pendidikan
di MM UGM
SUARA KARYA, 17 Oktober 2013


Mencari sosok pemimpin dan tokoh publik yang bersih, jujur dan konsisten, kini bagaikan mencari jarum di dalam tumpukan jerami. Sekian ratus guru ditemukan memalsukan ijazah, sekian dosen melakukan tindak plagiasi, sekian polisi, anggota dewan terhormat dilaporkan dalam sebuah survei terbukti melakukan tindak korupsi. Dilanjutkan dengan keterpurukan yang terparah, yaitu kepala lembaga peradilan tertinggi di negeri ini pun tak luput dari tindak amoral yang bukan saja meruntuhkan lembaga peradilan di mata rakyat Indonesia, namun juga di mata internasional.

Ironisnya, orang-orang tersebut bahkan berasal dari golongan manusia yang berilmu tinggi. Yang, sepatutnya memberikan teladan, menjadi cermin dan memberikan manfaat besar bagi manusia lain. Ragam ilmu yang mereka miliki seharusnya dapat membantunya (dan juga orang lain) mengarungi kehidupan dengan lebih ringan. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya.

Maka, menjadi wajar jika generasi muda kita kini banyak mengalami degradasi moral, karena mereka mengenyam pendidikan tanpa keteladanan. Kasus kenakalan remaja makin merebak, tawuran antarsekolah sering terjadi, kekerasan dan tindak bullying ada di mana-mana, menggejalanya video seks yang diperankan oknum siswa, dan sekian kasus krisis karakter ini terus terjadi.

Padahal, melalui pendidikan keterpurukan ini bisa mengalami perbaikan. Karena itu, pendidikan sebagai benih harapan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan dasar. Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, dan kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak punya keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter. Pepatah Inggris mengatakan, When character is lost, everything is lost.

Sedemikian pentingnya pembentukan karakter, seperti yang dituliskan oleh Yudhi Latif (Kompas, 8 Mei 2013), bahwa pendidikan sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan karakter sebagai tumpuan dasar. Harus dihindari pengajaran yang terlalu mengutamakan aspek kognitif dan lahiriah. Pertama-tama harus ditekankan pembangunan aspek kejiwaan.

Pengaruh jejak-jejak kolonialisme atas masa penjajahan yang berlangsung cukup lama di Indonesia, telah melahirkan mental pesuruh dan mental pegawai bagi kebanyakan bangsa Indonesia. Kebijakan pendidikan nasional yang hanya diabdikan untuk melaksanakan roda pemerintahan kolonial telah memberikan ciri utama pendidikan sebagai upaya untuk memperoleh ijazah sebagai legitimasi untuk naik pada jenjang sosial masyarakat kolonial. Inilah yang disebut the diploma disease.

Sehingga, pengaruh itu kini masih dirasakan, ketika pola pendidikan kita terlalu memuja hasil daripada proses. Siswa-siswa kita menjadi pemburu nilai tinggi demi perolehan ijazah yang sempurna, demi masa depan dan status sosial yang lebih tinggi. Didukung dengan penghormatan masyarakat yang sedemikian tingginya terhadap orang-orang yang mempunyai jabatan atau kedudukan tinggi. 'Anak emas' terhadap perolehan nilai akademis pun akhirnya meminggirkan perolehan value, yang berupa nilai-nilai kebajikan, sikap, perilaku dan etika.

Rhenald Kasali dalam bukunya, Cracking Values (2012) mengatakan, betapa penting tata nilai dalam kehidupan berbangsa. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang juga memiliki tata nilai yang kuat. Singapura menjadi salah satu negara yang diperhitungkan dunia, salah satunya karena tata nilai yang ia kembangkan. Beberapa core values Singapura di antaranya: kepentingan masyarakat diutamakan, keluarga adalah bangunan utama bangsa, menghormati hak-hak individu dan mendorong komunitas untuk menolong orang-orang yang tidak beruntung, pemecahan masalah berdasarkan kesepakatan bersama, dan hubungan yang harmonis. Selain itu, China dan Jepang juga merupakan contoh bangsa maju yang mengedepankan tata nilai. China dengan ajaran Konfusius-nya, dan Jepang dengan semangat Bushido-nya.

Maka, sudah sepatutnya pendidikan kita kembali kepada khittoh-nya. Pendidikan karakter jarus digenjot sehingga aspek-aspek akademik dapat tercapai secara seimbang diiringi aspek afektif dan psikomotorik. Sesuai dengan amanah UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Ketika pendidikan ini miskin keteladanan, kita jangan sampai berhenti berharap untuk perubahan di negeri ini. Tanpa keteladaan yang riil, semua itu akan menjadi sia-sia. Jika selepasnya mereka dari sekolah, anak-anak justru melihat para pemimpin atau bahkan gurunya menjadi tontonan di layar-layar televisi karena kasus-kasus korupsi dan tindak pelanggaran hukum lain yang menjeratnya.

Maka, seorang guru haruslah tetap merawat harapan bagi setiap muridnya, bahwa masih banyak orang-orang yang bisa dijadikan teladan. Meminjam istilah Emha Ainun Najib bahwa sejatinya orang-orang yang hidupnya konsisten kepada kebaikan, itulah yang disebut pemimpin sejati.

Itulah cara pandang yang perlu diubah, sehingga kita tidak perlu menunggu keteladanan bagi para pemimpin yang tidak konsisten, karena sejatinya pemimpin itu ada di sekitar kita, yaitu pada orang-orang yang selalu merawat kebaikan. Ketika pendidikan harus menekankan kepada perolehan perubahan perilaku, maka kehadiran para 'pemimpin', yaitu orang-orang yang mampu memberikan teladan, akan memberikan lentera harapan kepada anak-anak didik kita. Bahwa masih ada orang-orang di dekat mereka yang bisa dijadikan panutan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar