|
Pekan lalu
masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan Ketua Mahkamah
Konstitusi, Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akil diduga
menerima suap untuk kasus sengketa hasil pilkada. Bersama Akil, ditangkap juga
beberapa orang lain, termasuk seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
seorang pengusaha.
Pengusaha
itu adalah Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota
Tangerang Selatan), adik dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.
Wardana,
atau biasa disebut Wawan, diduga terkait kasus sengketa hasil pilkada di
Kabupaten Lebak, Banten. Penangkapan Wawan disusul pencegahan bepergian ke luar
negeri terhadap Ratu Atut. Kasus suap Wawan dan status pencegahan Ratu Atut
jelas berhubungan dengan dinasti politik yang menguasai Banten.
Politik
lokal di Banten, provinsi pertama yang didirikan di era Reformasi, didominasi
keluarga besar Alm Tubagus Chasan Sochib yang berhasil menempati posisi
strategis di tingkat provinsi maupun hampir semua kabupaten/kota di Banten.
Terdapat pula anggota DPR dan DPD yang mewakili Banten berasal dari keluarga
ini.
Keberhasilan
dinasti politik ini boleh jadi disebabkan antara lain kharisma Alm Sochib yang
biasa dipanggil “Abah”. Ia adalah jawara terpandang, seorang tokoh yang
membidani lahirnya Provinsi Banten, dan termasuk figur yang disegani di Partai
Golkar.
Di
samping itu, Alm Sochib juga seorang pengusaha. Posisi unik ini membuat politik
menjadi salah satu arena unjuk kekuatan Abah dan anak-anaknya. Ratu Atut
sekarang menjabat Gubernur untuk periode kedua.
Selain
ketokohan Abah, dominasi kekuasaan keluarga ini juga tidak lepas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN). Penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang umum
dilakukan para penguasa di Provinsi Banten.
Sejumlah
kasus besar, termasuk Dana Perumahan senilai Rp 14 miliar bagi anggota DPRD
tahun 2004, telah melibatkan banyak elite politik di eksekutif maupun
legislatif. Sejauh ini, aparat hukum tidak menemukan bukti kuat atas dugaan
keterlibatan anggota dinasti politik Banten, sehingga mereka dapat terus
berkuasa.
Korupsi
Politik
Benarkah
dinasti politik Banten terlibat dalam praktik korupsi politik? Ketika melakukan
penelitian tentang good governance di
Banten untuk studi doktoral tahun 2007, saya mendapatkan banyak informasi
menarik soal itu.
Semua
responden saya sepakat Banten berada pada situasi bahaya akibat korupsi tidak
terkontrol. Situasi ini muncul sebagai imbas dari kombinasi kekuatan politik,
sumber daya ekonomi, dan politik kekerasan yang dimiliki elite lokal, terutama
anggota dinasti politik.
Banten
dapat dikatakan darurat korupsi politik. Inge Amundsen (2006) mendefinisikan
korupsi politik sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi,
bisa berupa akumulasi kekayaan dan atau pelestarian kekuasaan.
Sumber
utama sebagian besar kasus korupsi politik di Banten, menurut seorang
responden, adalah
gabungan dari infrastruktur yang buruk, mental korup para
pejabat, dan intervensi kelompok informal tertentu terhadap pemegang kekuasaan.
Intervensi inilah yang, meminjam argumen Syarif Hidayat (2007), melahirkan shadow state, negara bayangan, di
Banten.
Kelompok
informal tertentu itu relatif tidak tersentuh, karena pada saat yang sama ia
berlaku bak Robin Hood.
Kelompok
ini memberikan banyak sumbangan untuk pembangunan masyarakat, misalnya
pembangunan masjid, atau pengembangan pondok pesantren dan yayasan yatim piatu.
Sumbangan ini berasal dari keuntungan bisnis yang sebagian besar dipercaya
didapat melalui korupsi, termasuk aktivitas “premanisme proyek”.
Responden-responden
saya mengatakan, Wawan adalah seorang figur penting dalam kelompok informal
itu. Ia bahkan disebut-sebut menjadi pemimpin kelompok setelah Abah meninggal
akhir Juni 2011.
Sekalipun
bukan bagian dari birokrasi, Wawan telah memosisikan dirinya sebagai seorang
pembuat keputusan utama di Banten. Sebagai pengusaha, Wawan juga disebut
memahami bagaimana harus “bermain” dalam tender proyek, berikut konsekuensi
hukumnya. Wawan jugalah yang berperan besar dalam kemenangan Atut dalam
pemilihan gubernur tahun 2011.
Hubungan
patron-klien yang mencirikan korupsi politik dapat dilihat secara jelas di
Banten. Kelompok informal yang kuat itu terus mengembangkan pendekatan “wortel
dan tongkat” (hadiah dan hukuman) untuk mendominasi politik Banten. Penangkapan
Wawan semakin jelas menunjukkan hubungan simbiosis mutualis antara kekuatan
politik dan kekuatan uang, ditambah kekerasan yang terwujud dalam dinasti
politik di provinsi ini.
Masa
Depan Banten
Berita
penangkapan Wawan ditanggapi hampir seragam oleh berbagai elemen masyarakat
Banten. Mulai dari kelompok mahasiswa, pegiat antikorupsi, hingga lawan Atut
dalam pemilihan gubernur tahun 2011, semuanya menyambut baik langkah KPK.
Ketua
KPK mengatakan, lembaga yang ia pimpin akan memeriksa Ratu Atut bila ada
indikasi ia terlibat dalam kasus Wawan. Ini dipandang banyak pihak sebagai
langkah awal mengenyahkan dinasti politik yang berkuasa di Banten.
Kasus
ini telah melahirkan beberapa pertanyaan penting. Benarkah kasus Wawan akan
membuka “kotak Pandora” yang berisi kasus besar korupsi yang melibatkan dinasti
politik yang berkuasa? Benarkah kasus ini akan menggoyang posisi Ratu Atut?
Dapatkah kasus ini menjadi awal dari serangkaian upaya sistematis yang harus
dilakukan untuk membuat sistem politik Banten menjadi bebas dari kepentingan
korupsi?
Kita
memang harus mengapresiasi langkah KPK dan janjinya untuk mengusut tuntas kasus
korupsi di Banten. Banyak elemen masyarakat Banten yang percaya provinsi ini
seharusnya bisa lebih maju jika aparat hukum merespons serius kasus KKN.
Meski
demikian, korupsi politik di Banten telah berakar sangat dalam dan menjalar ke
mana-mana, sehingga upaya mengatasinya tidak akan mudah. Dibutuhkan kerja keras
dan koordinasi berbagai pihak untuk bersama-sama menjalankan tugas ini agar
tidak menjadi harapan kosong begitu saja.
Semangat
memberantas korupsi memang harus didukung, ditambah dengan sikap waspada.
Pengalaman kita dengan rezim Orde Baru menunjukkan perlunya kewaspadaan
tersebut
Rezim
yang sangat korup itu dapat ditumbangkan, tetapi korupsi tetap saja
berlangsung. Banyak anggota rezim itu berhasil beradaptasi dengan ide
reformasi, tetapi juga tidak melepaskan kesempatan untuk korupsi. Kecenderungan
inilah yang menyebabkan korupsi politik tetap berlangsung dan dinasti politik
dapat tetap bertahan.
Dinasti
politik di Banten, dengan dukungan kelompok informal yang kuat, telah berkuasa
lebih dari sepuluh tahun. Kasus Wawan tak pelak lagi merupakan pukulan sangat
kuat bagi mereka. Harapan banyak pihak agar kasus ini akan mengakhiri
keberadaan dinasti politik di Banten tidaklah salah.
Kita
harus memperkuat harapan itu dengan langkah pencegahan dan pemberantasan
korupsi, serta pendidikan dan partisipasi politik secara nyata. Kita juga harus
bersikap penuh kewaspadaan untuk menjaga agar siapa pun tidak dapat
memanfaatkan sistem politik demi kepentingan sendiri atau kelompok. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar