Selasa, 08 Oktober 2013

Dinasti Politik dan Korupsi di Banten

Dinasti Politik dan Korupsi di Banten
Nur Rachmat Y  ;  Dosen FISIPOL Universitas Gadjah Mada
SINAR HARAPAN, 07 Oktober 2013


Pekan lalu masyarakat Indonesia dikejutkan dengan berita penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akil diduga menerima suap untuk kasus sengketa hasil pilkada. Bersama Akil, ditangkap juga beberapa orang lain, termasuk seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan seorang pengusaha.

Pengusaha itu adalah Tubagus Chaery Wardana (suami Airin Rachmi Diany, Wali Kota Tangerang Selatan), adik dari Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah.

Wardana, atau biasa disebut Wawan, diduga terkait kasus sengketa hasil pilkada di Kabupaten Lebak, Banten. Penangkapan Wawan disusul pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap Ratu Atut. Kasus suap Wawan dan status pencegahan Ratu Atut jelas berhubungan dengan dinasti politik yang menguasai Banten.

Politik lokal di Banten, provinsi pertama yang didirikan di era Reformasi, didominasi keluarga besar Alm Tubagus Chasan Sochib yang berhasil menempati posisi strategis di tingkat provinsi maupun hampir semua kabupaten/kota di Banten. Terdapat pula anggota DPR dan DPD yang mewakili Banten berasal dari keluarga ini.

Keberhasilan dinasti politik ini boleh jadi disebabkan antara lain kharisma Alm Sochib yang biasa dipanggil “Abah”. Ia adalah jawara terpandang, seorang tokoh yang membidani lahirnya Provinsi Banten, dan termasuk figur yang disegani di Partai Golkar.

Di samping itu, Alm Sochib juga seorang pengusaha. Posisi unik ini membuat politik menjadi salah satu arena unjuk kekuatan Abah dan anak-anaknya. Ratu Atut sekarang menjabat Gubernur untuk periode kedua.

Selain ketokohan Abah, dominasi kekuasaan keluarga ini juga tidak lepas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang umum dilakukan para penguasa di Provinsi Banten.

Sejumlah kasus besar, termasuk Dana Perumahan senilai Rp 14 miliar bagi anggota DPRD tahun 2004, telah melibatkan banyak elite politik di eksekutif maupun legislatif. Sejauh ini, aparat hukum tidak menemukan bukti kuat atas dugaan keterlibatan anggota dinasti politik Banten, sehingga mereka dapat terus berkuasa.

Korupsi Politik

Benarkah dinasti politik Banten terlibat dalam praktik korupsi politik? Ketika melakukan penelitian tentang good governance di Banten untuk studi doktoral tahun 2007, saya mendapatkan banyak informasi menarik soal itu.

Semua responden saya sepakat Banten berada pada situasi bahaya akibat korupsi tidak terkontrol. Situasi ini muncul sebagai imbas dari kombinasi kekuatan politik, sumber daya ekonomi, dan politik kekerasan yang dimiliki elite lokal, terutama anggota dinasti politik.

Banten dapat dikatakan darurat korupsi politik. Inge Amundsen (2006) mendefinisikan korupsi politik sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, bisa berupa akumulasi kekayaan dan atau pelestarian kekuasaan.

Sumber utama sebagian besar kasus korupsi politik di Banten, menurut seorang responden, adalah 
gabungan dari infrastruktur yang buruk, mental korup para pejabat, dan intervensi kelompok informal tertentu terhadap pemegang kekuasaan. Intervensi inilah yang, meminjam argumen Syarif Hidayat (2007), melahirkan shadow state, negara bayangan, di Banten.

Kelompok informal tertentu itu relatif tidak tersentuh, karena pada saat yang sama ia berlaku bak Robin Hood.

Kelompok ini memberikan banyak sumbangan untuk pembangunan masyarakat, misalnya pembangunan masjid, atau pengembangan pondok pesantren dan yayasan yatim piatu. Sumbangan ini berasal dari keuntungan bisnis yang sebagian besar dipercaya didapat melalui korupsi, termasuk aktivitas “premanisme proyek”.

Responden-responden saya mengatakan, Wawan adalah seorang figur penting dalam kelompok informal itu. Ia bahkan disebut-sebut menjadi pemimpin kelompok setelah Abah meninggal akhir Juni 2011.
Sekalipun bukan bagian dari birokrasi, Wawan telah memosisikan dirinya sebagai seorang pembuat keputusan utama di Banten. Sebagai pengusaha, Wawan juga disebut memahami bagaimana harus “bermain” dalam tender proyek, berikut konsekuensi hukumnya. Wawan jugalah yang berperan besar dalam kemenangan Atut dalam pemilihan gubernur tahun 2011.

Hubungan patron-klien yang mencirikan korupsi politik dapat dilihat secara jelas di Banten. Kelompok informal yang kuat itu terus mengembangkan pendekatan “wortel dan tongkat” (hadiah dan hukuman) untuk mendominasi politik Banten. Penangkapan Wawan semakin jelas menunjukkan hubungan simbiosis mutualis antara kekuatan politik dan kekuatan uang, ditambah kekerasan yang terwujud dalam dinasti politik di provinsi ini.

Masa Depan Banten

Berita penangkapan Wawan ditanggapi hampir seragam oleh berbagai elemen masyarakat Banten. Mulai dari kelompok mahasiswa, pegiat antikorupsi, hingga lawan Atut dalam pemilihan gubernur tahun 2011, semuanya menyambut baik langkah KPK.

Ketua KPK mengatakan, lembaga yang ia pimpin akan memeriksa Ratu Atut bila ada indikasi ia terlibat dalam kasus Wawan. Ini dipandang banyak pihak sebagai langkah awal mengenyahkan dinasti politik yang berkuasa di Banten.

Kasus ini telah melahirkan beberapa pertanyaan penting. Benarkah kasus Wawan akan membuka “kotak Pandora” yang berisi kasus besar korupsi yang melibatkan dinasti politik yang berkuasa? Benarkah kasus ini akan menggoyang posisi Ratu Atut? Dapatkah kasus ini menjadi awal dari serangkaian upaya sistematis yang harus dilakukan untuk membuat sistem politik Banten menjadi bebas dari kepentingan korupsi?

Kita memang harus mengapresiasi langkah KPK dan janjinya untuk mengusut tuntas kasus korupsi di Banten. Banyak elemen masyarakat Banten yang percaya provinsi ini seharusnya bisa lebih maju jika aparat hukum merespons serius kasus KKN.

Meski demikian, korupsi politik di Banten telah berakar sangat dalam dan menjalar ke mana-mana, sehingga upaya mengatasinya tidak akan mudah. Dibutuhkan kerja keras dan koordinasi berbagai pihak untuk bersama-sama menjalankan tugas ini agar tidak menjadi harapan kosong begitu saja.
Semangat memberantas korupsi memang harus didukung, ditambah dengan sikap waspada. Pengalaman kita dengan rezim Orde Baru menunjukkan perlunya kewaspadaan tersebut

Rezim yang sangat korup itu dapat ditumbangkan, tetapi korupsi tetap saja berlangsung. Banyak anggota rezim itu berhasil beradaptasi dengan ide reformasi, tetapi juga tidak melepaskan kesempatan untuk korupsi. Kecenderungan inilah yang menyebabkan korupsi politik tetap berlangsung dan dinasti politik dapat tetap bertahan.

Dinasti politik di Banten, dengan dukungan kelompok informal yang kuat, telah berkuasa lebih dari sepuluh tahun. Kasus Wawan tak pelak lagi merupakan pukulan sangat kuat bagi mereka. Harapan banyak pihak agar kasus ini akan mengakhiri keberadaan dinasti politik di Banten tidaklah salah.


Kita harus memperkuat harapan itu dengan langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi, serta pendidikan dan partisipasi politik secara nyata. Kita juga harus bersikap penuh kewaspadaan untuk menjaga agar siapa pun tidak dapat memanfaatkan sistem politik demi kepentingan sendiri atau kelompok. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar