|
TIDAK bisa dibantah lagi korupsi dan suap kian kuat mencengkeram
kehidupan berbangsa di negara ini. Mereka dengan begitu mudah
memorak-porandakan sistem dan seluruh sendi pemerintahan yang memang dibangun
di atas fondasi yang rentan. Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi
Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (2/10) malam, menjadi
bukti kesekian kali bahwa gurita korupsi semakin masif dan mengerikan.
Persekongkolan jahat itu bahkan sudah mampu menembus MK, yang merupakan
pertahanan terakhir dari lembaga penegak hukum yang masih kita percaya.
Kini, sang penjaga tegaknya konstitusi tersebut akhirnya
roboh. Lembaga yang selama ini dinilai publik relatif bersih itu ternyata tidak
cukup imun dari godaan uang. Dalam sekejap, korupsi telah menghancurkan MK
tanpa menyisakan sedikit pun kehormatan dan reputasi baik yang selama ini
dibangun. Judul Editorial Media Indonesia memberikan sebuah tamparan yang
hebat, wajah hukum telah kehilangan keadabannya.
Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah
dipermainkan kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Juga
sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.
Keadilan tidak untuk semua, tetapi untuk sebagian (yang bisa `membeli'-nya). Keadilan
jadi milik penguasa dan si empunya uang. Kita pun menjawab fakta itu melalui
berbagai pengalaman keseharian kita hidup di bumi bangsa ini. Hukum dan
keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan juga sering
seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain
(kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.
Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena
keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan
berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih
mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang
keadilan di negeri ini: itu ialah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa
dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala
kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat
karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan
berkekayaan.
Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasalpasal.
Di depan cengkeraman kekuasaan dan `orang kuat' hukum tak lagi memiliki taring.
Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya
menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah
mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan
martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini
bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita.
Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai `negara hukum' sering kali
hanya sebagai pemanis mulut.
Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang `kedaulatan
hukum' ialah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Hukum dan keadilan bagaikan dua
sisi mata uang. Didamba selalu berdekatan, tapi tak pernah menyatu. Bahkan
bertemu sekali pun tak pernah. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari
realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis-maniskan realitas
kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan keadilan merupakan
(sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan kekecewaan dan kesedihan.
Tipu daya
Hukum ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Hukum
juga harus memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan
diskriminasi. Hukum mengemban misi kemanusiaan dan ingin menciptakan proses
yang berperikemanusiaan. Kita semua hidup sedang menuliskan sebuah sejarah.
Baik-buruk, benarsalah, dan tegas-plinplannya sebuah catatan sejarah masa
mendatang berawal dari semua tindakan kita hari ini. Itu semua masih soal
pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara.
Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat bahwa
seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di
negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua
berkewajiban dan berhak sama. Semua kesalahan harus diadili dengan cara
seadil-adilnya. Itu cara mengembalikan martabat hukum.
Yang sedang dipertontonkan hari ini ialah bagaimana hukum
tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat dan koruptor, tapi tajam
beringas menghukum kelas teri. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal
dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati karpet merah.
Mantan pejabat dihukum di tempat tidak biasa. Kesederajatan dalam hukum mulai
dipunahkan sikap arogan kekuasaan dan cara-cara tipu daya. Karena kekuasaan dan
uang yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani. Karena
kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan
sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.
Kini kita menyaksikan robohnya sendi hukum ketika MK
sebagai banteng terakhir akhirnya kehilangan kepercayaan publik karena skandal
suap. Hal itu membuat wajah keadaban hukum menjadi pudar karena nilai-nilai
keadilan tidak lagi menjadi acuan bersama dalam bertindak, bernalar, dan
berelasi. Yang dibutuhkan sekarang ialah mengembalikan wajah keadaban hukum.
Hakim konstitusi bukan lagi kader politik dan saatnya hakim konstitusi harus
diawasi. Untuk itu, perlu mengembalikan Mahkamah Konstitusi melalui putusan No
005/PUU-IV/2006, memangkas kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim
agung dan hakim konstitusi.
Argumentasi pemangkasan kewenangan itu semata-mata karena
kedudukan Komisi Yudisial yang bukan primary state institution. Komisi Yudisial
hanyalah cabang dari kekuasaan kehakiman yang tidak sederajat dengan Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, revisi UU Mahkamah Konstitusi juga
hanya mengakomodasi pengawasan internal dalam bentuk Majelis Kehormatan Hakim
yang bersifat ad hoc dan bekerja saat ada peristiwa pelanggaran kode etik.
Desain kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang tanpa
pengawasan memang salah satu bentuk anomali demokrasi konstitusional yang
mensyaratkan adanya ruang kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara satu lembaga dan lembaga yang lain. Karena
itu, kehadiran Komisi Yudisial dengan kewenangan pengawasan terhadap hakim
konstitusi semestinya dipandang sebagai bentuk perwujudan check and balances.
Tidak pernah di-benarkan dalam
demokrasi konstitusional hadir lembaga negara yang superbody, lebih supreme dari yang lain dan tanpa kontrol.
Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, M Akil Mochtar, semestinya menjadi
momentum untuk mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim
Mahkamah Konstitusi. Apalagi, perlahan tapi sistematis, Mahkamah Konstitusi
sedang mengalami erosi (pengikisan) integritas dan kewibawaan akibat pola
rekrutmen hakim yang tidak transparan dan akuntabel serta standar kenegarawanan
yang absurd. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar