Rabu, 09 Oktober 2013

Tiadanya Keadaban Hukum

Tiadanya Keadaban Hukum
Benny Susetyo  ;  Sekretaris Dewan Nasional Setara
MEDIA INDONESIA, 08 Oktober 2013


TIDAK bisa dibantah lagi korupsi dan suap kian kuat mencengkeram kehidupan berbangsa di negara ini. Mereka dengan begitu mudah memorak-porandakan sistem dan seluruh sendi pemerintahan yang memang dibangun di atas fondasi yang rentan. Tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Rabu (2/10) malam, menjadi bukti kesekian kali bahwa gurita korupsi semakin masif dan mengerikan. Persekongkolan jahat itu bahkan sudah mampu menembus MK, yang merupakan pertahanan terakhir dari lembaga penegak hukum yang masih kita percaya.

Kini, sang penjaga tegaknya konstitusi tersebut akhirnya roboh. Lembaga yang selama ini dinilai publik relatif bersih itu ternyata tidak cukup imun dari godaan uang. Dalam sekejap, korupsi telah menghancurkan MK tanpa menyisakan sedikit pun kehormatan dan reputasi baik yang selama ini dibangun. Judul Editorial Media Indonesia memberikan sebuah tamparan yang hebat, wajah hukum telah kehilangan keadabannya.

Sudah begitu lama keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Juga sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini. Keadilan tidak untuk semua, tetapi untuk sebagian (yang bisa `membeli'-nya). Keadilan jadi milik penguasa dan si empunya uang. Kita pun menjawab fakta itu melalui berbagai pengalaman keseharian kita hidup di bumi bangsa ini. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, melainkan juga sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot, dan uang) yang menceraikannya.

Keadilan di negeri ini amat langka diperoleh karena keadilan tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum kita. Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat beroleh pendidikan utama tentang keadilan di negeri ini: itu ialah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum kita tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan yang mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat karena mereka yang bermartabat hanyalah mereka yang berkekuasaan dan berkekayaan.
Hukum sering kali hanya pajangan dan retorika pasalpasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan `orang kuat' hukum tak lagi memiliki taring.
Tumpul akibat banyak macam sebab. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas. Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan di negeri ini. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum Indonesia, dan juga martabat kita sebagai bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa kita. Apa yang kita perdengarkan tentang Indonesia sebagai `negara hukum' sering kali hanya sebagai pemanis mulut.

Apa yang diajarkan kepada anak cucu kita tentang `kedaulatan hukum' ialah deretan kepalsuan demi kepalsuan. Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang. Didamba selalu berdekatan, tapi tak pernah menyatu. Bahkan bertemu sekali pun tak pernah. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis-maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis sebab hukum dan keadilan merupakan (sekadar) hiburan bagi rakyat kecil. Litani jeritan kekecewaan dan kesedihan.

Tipu daya

Hukum ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Hukum juga harus memegang teguh apa yang disebut sebagai kesederajatan (equality) dan menghindarkan diskriminasi. Hukum mengemban misi kemanusiaan dan ingin menciptakan proses yang berperikemanusiaan. Kita semua hidup sedang menuliskan sebuah sejarah. Baik-buruk, benarsalah, dan tegas-plinplannya sebuah catatan sejarah masa mendatang berawal dari semua tindakan kita hari ini. Itu semua masih soal pelajaran bagaimana kita hidup berbangsa dan bernegara.

Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena mereka memiliki jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan berhak sama. Semua kesalahan harus diadili dengan cara seadil-adilnya. Itu cara mengembalikan martabat hukum.

Yang sedang dipertontonkan hari ini ialah bagaimana hukum tumpul menghukum para orang kuat, mantan pejabat dan koruptor, tapi tajam beringas menghukum kelas teri. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati karpet merah. Mantan pejabat dihukum di tempat tidak biasa. Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan sikap arogan kekuasaan dan cara-cara tipu daya. Karena kekuasaan dan uang yang menjadi acuan, kita tak sanggup untuk melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.

Kini kita menyaksikan robohnya sendi hukum ketika MK sebagai banteng terakhir akhirnya kehilangan kepercayaan publik karena skandal suap. Hal itu membuat wajah keadaban hukum menjadi pudar karena nilai­-nilai keadilan tidak lagi menjadi acuan bersama dalam bertindak, bernalar, dan berelasi. Yang dibutuhkan sekarang ialah mengembalikan wajah keadaban hukum. Hakim konstitusi bukan lagi kader politik dan saatnya hakim konstitusi harus diawasi. Untuk itu, perlu mengembalikan Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 005/PUU-IV/2006, memangkas kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi.

Argumentasi pemangkasan kewenangan itu semata-mata karena kedudukan Komisi Yudisial yang bukan primary state institution. Komisi Yudisial hanyalah cabang dari kekuasaan kehakiman yang tidak sederajat dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, revisi UU Mahkamah Konstitusi juga hanya mengakomodasi pengawasan internal dalam bentuk Majelis Kehormatan Hakim yang bersifat ad hoc dan bekerja saat ada peristiwa pelanggaran kode etik.

Desain kelembagaan Mahkamah Konstitusi yang tanpa pengawasan memang salah satu bentuk anomali demokrasi konstitusional yang mensyaratkan adanya ruang kontrol dan keseimbangan (check and balances) antara satu lembaga dan lembaga yang lain. Karena itu, kehadiran Komisi Yudisial dengan kewenangan pengawasan terhadap hakim konstitusi semestinya dipandang sebagai bentuk perwujudan check and balances.

Tidak pernah di-benarkan dalam demokrasi konstitusional hadir lembaga negara yang superbody, lebih supreme dari yang lain dan tanpa kontrol. Penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi, M Akil Mochtar, semestinya menjadi momentum untuk mengembalikan kewenangan Komisi Yudisial untuk mengawasi hakim Mahkamah Konstitusi. Apalagi, perlahan tapi sistematis, Mahkamah Konstitusi sedang mengalami erosi (pengikisan) integritas dan kewibawaan akibat pola rekrutmen hakim yang tidak transparan dan akuntabel serta standar kenegarawanan yang absurd. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar