|
KTT Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) baru saja
selesai dan meninggalkan momentum berharga bagi pembangunan Indonesia. KTT APEC
tahun 2013 yang mengusung tema "Resilient Asia Pacific, Engine of Global
Growth" setidaknya membahas tiga prioritas attaining the Bogor goals,
sustainable growth with equity, dan promoting connectivity.
Indonesia juga berhasil mengusung 20 usulan strategis pada putaran KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, tersebut. Usulan tersebut di antaranya upaya mendorong perdagangan dan investasi yang terbuka di kawasan, memastikan pertumbuhan berkelanjutan yang setara bagi seluruh masyarakat. Di luar itu, ada juga upaya mempromosikan inisiatif konektivitas, pembangunan dan investasi infrastruktur.
Selain itu, memastikan pasar internasional terus terbuka untuk ekspor Indonesia, memajukan peran perempuan, usaha kecil menengah, nelayan dan petani dalam pembangunan ekonomi. Kemudian, meningkatkan hubungan antarmanusia melalui pendidikan lintas batas serta kesiaptanggapan bencana di kawasan.
Salah satu isu strategis yang bisa dimanfaatkan oleh perekonomian Indonesia dari KTT APEC ini mendorong pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM). Momentum APEC seyogianya dapat ditransformasikan bagi kemajuan ekonomi nasional. Caranya, dengan mendorong dan mempercepat pengembangan industri kecil dan menengah. Bahkan, banyak negara anggota APEC juga berkepentingan terhadap industri UKM karena dinilai tangguh dan terhindar dari badai krisis ekonomi global.
Bagi Indonesia sendiri, ada empat agenda khusus terkait UKM, meliputi womenpreneur, akses permodalan dan perbankan, distribusi produk, serta pemasaran bersama yang terkait dengan Asean Economy Community. Potensi dan peluang pengembangan industri UKM sangat besar karena melimpahnya sumber daya alam dan perubahan tatanan ekonomi dunia sehingga memberi ruang meningkatkan ekspor, mutu, dan produk.
Jumlah pelaku usaha kecil dan menengah yang berhasil ekspor produk sekitar 7.300–7.600 UKM. Angka tersebut terhitung masih sangat minim karena total UMKM sekitar 56,5 juta. Kontribusi sektor UKM terhadap ekspor nasional sejak 1998 hingga 2012 rata-rata masih di bawah 20 persen. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik, dari seluruh pelaku usaha di Indonesia, sektor UKM sangat mendominasi (99,99 persen).
Bandingkan dengan Singapura, UKM-nya, rata rata memiliki penjualan tahunan 100 juta dollar Singapura dengan karyawan 200. Di Singapura, UKM melahirkan 99 persen pengusaha, menyumbang lebih dari 50 persen produk, dan menyerap 70 persen pekerja.
Integrasi Ekonomi
Indonesia juga bisa menarik manfaat dari integrasi ekonomi di kawasan sebagai cara mempromosikan daya tahan dan pertumbuhan ekonomi sekaligus beradaptasi dengan perkembangan pada tataran global. Integrasi ekonomi regional diharapkan mampu menjadi solusi pemulihan ekonomi, stabilitas pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas keuangan.
Pemerintah juga mengejar target perdagangan dan investasi bebas barang dan jasa. Pemerintah juga meningkatkan konektivitas dan penyediaan infrastruktur serta pasar keuangan yang terintegrasi. Tiap anggota APEC akan memperoleh manfaat akan peningkatan perdagangan dan investasi.
Total perdagangan Indonesia pada 1989 ke seluruh anggota APEC sebesar 29,9 miliar dollar AS, sekitar 78 persen dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Pada 2011, Ekspor Indonesia ke seluruh ekonomi anggota APEC mencapai 289,3 miliar dollar, sekitar 75 persen dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia.
Negara yang berkonektivitas rendah dengan investasi dan perdagangan juga akan memperoleh manfaat kurang optimal. Hal ini ditunjukkan oleh data yang dirilis World Investment Report (2013) yang menyebutkan, pada 2012 Indonesia baru berhasil menarik 1,5 persen dari total investasi asing (foreign direct investment/FDI).
Sebaliknya, dengan kebijakan liberalisasi untuk komoditas pangan justru berdampak buruk pada akses rakyat terhadap pangan. Indonesia adalah contoh nyata dari negara yang terkena dampak liberalisasi pangan karena kebijakan tersebut justru mendorong kenaikan harga dan pasokan pangan.
Bukan itu saja, akses pelaku ekonomi kecil terhadap meningkatnya lalu lintas perdagangan global juga tidak optimal. Pelaku UKM justru cenderung marginal karena kalah di pasar global dan terdesak produk impor. Maka, komitmen APEC dalam memberdayakan usaha kecil sangat diperlukan dengan mendukung permodalan dan alih teknologi.
Di tengah keterbatasan UKM atas permodalan, komitmen pertemuan KTT APEC jelas menjadi angin segar, tak sekadar soal dukungan modal, tetapi juga relasi baru bisnis. Apalagi ada dukungan dalam meningkatkan konektivitas antarnegara APEC sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan bisnis dan warga dalam perdagangan secara efektif.
Dari sisi kepentingan domestik, Indonesia harus banyak mengambil manfaat keberadaan APEC yang bisa mendorong kepentingan ekonomi domestik dan pelaku ekonomi kecil. Akses usaha kecil, selain masih minim dalam meraih pasar global, aksesnya terhadap lembaga keuangan juga masih rendah. Hal inilah yang menyebabkan pelaku usaha kecil belum mampu memperoleh manfaat APEC.
Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan peran usaha kecil. Harus ada kesempatan sama bagi seluruh masyarakat mulai dari pebisnis besar hingga petani, nelayan, kaum perempuan, dan UKM. Selama 2011-2012 UKM tumbuh dari 55,2 juta lebih menjadi 56,5 juta unit. UKM menyumbang kesempatan kerja dari 101,7 juta pekerja pada 2011 menjadi 107,6 pekerja pada 2012. Kontribusi UKM untuk ekspor nasional 187 triliun rupiah terutama dari kerajinan (30 persen), fashion and accessories (29 persen), dan furnitur (27 persen).
UKM harus benar-benar diperhatikan karena tidak banyak bergantung komponen impor, utang luar negeri. Mereka memiliki muatan lokal tinggi. Banyak menyerap tenaga informal yang tak tertampung di bursa kerja. UKM cukup efisien dalam kegiatan usaha seperti subcontracting. Di Jepang, AS, dan Eropa, industri besar maju berkat usaha subcontracting.
Dalam menghadapi percepatan liberalisasi dan persaingan global, perekonomian nasional seharusnya tidak hanya mengandalkan usaha besar, tetapi juga UKM. ●
Indonesia juga berhasil mengusung 20 usulan strategis pada putaran KTT APEC 2013, di Nusa Dua, Bali, tersebut. Usulan tersebut di antaranya upaya mendorong perdagangan dan investasi yang terbuka di kawasan, memastikan pertumbuhan berkelanjutan yang setara bagi seluruh masyarakat. Di luar itu, ada juga upaya mempromosikan inisiatif konektivitas, pembangunan dan investasi infrastruktur.
Selain itu, memastikan pasar internasional terus terbuka untuk ekspor Indonesia, memajukan peran perempuan, usaha kecil menengah, nelayan dan petani dalam pembangunan ekonomi. Kemudian, meningkatkan hubungan antarmanusia melalui pendidikan lintas batas serta kesiaptanggapan bencana di kawasan.
Salah satu isu strategis yang bisa dimanfaatkan oleh perekonomian Indonesia dari KTT APEC ini mendorong pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM). Momentum APEC seyogianya dapat ditransformasikan bagi kemajuan ekonomi nasional. Caranya, dengan mendorong dan mempercepat pengembangan industri kecil dan menengah. Bahkan, banyak negara anggota APEC juga berkepentingan terhadap industri UKM karena dinilai tangguh dan terhindar dari badai krisis ekonomi global.
Bagi Indonesia sendiri, ada empat agenda khusus terkait UKM, meliputi womenpreneur, akses permodalan dan perbankan, distribusi produk, serta pemasaran bersama yang terkait dengan Asean Economy Community. Potensi dan peluang pengembangan industri UKM sangat besar karena melimpahnya sumber daya alam dan perubahan tatanan ekonomi dunia sehingga memberi ruang meningkatkan ekspor, mutu, dan produk.
Jumlah pelaku usaha kecil dan menengah yang berhasil ekspor produk sekitar 7.300–7.600 UKM. Angka tersebut terhitung masih sangat minim karena total UMKM sekitar 56,5 juta. Kontribusi sektor UKM terhadap ekspor nasional sejak 1998 hingga 2012 rata-rata masih di bawah 20 persen. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik, dari seluruh pelaku usaha di Indonesia, sektor UKM sangat mendominasi (99,99 persen).
Bandingkan dengan Singapura, UKM-nya, rata rata memiliki penjualan tahunan 100 juta dollar Singapura dengan karyawan 200. Di Singapura, UKM melahirkan 99 persen pengusaha, menyumbang lebih dari 50 persen produk, dan menyerap 70 persen pekerja.
Integrasi Ekonomi
Indonesia juga bisa menarik manfaat dari integrasi ekonomi di kawasan sebagai cara mempromosikan daya tahan dan pertumbuhan ekonomi sekaligus beradaptasi dengan perkembangan pada tataran global. Integrasi ekonomi regional diharapkan mampu menjadi solusi pemulihan ekonomi, stabilitas pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas keuangan.
Pemerintah juga mengejar target perdagangan dan investasi bebas barang dan jasa. Pemerintah juga meningkatkan konektivitas dan penyediaan infrastruktur serta pasar keuangan yang terintegrasi. Tiap anggota APEC akan memperoleh manfaat akan peningkatan perdagangan dan investasi.
Total perdagangan Indonesia pada 1989 ke seluruh anggota APEC sebesar 29,9 miliar dollar AS, sekitar 78 persen dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia. Pada 2011, Ekspor Indonesia ke seluruh ekonomi anggota APEC mencapai 289,3 miliar dollar, sekitar 75 persen dari total ekspor Indonesia ke seluruh dunia.
Negara yang berkonektivitas rendah dengan investasi dan perdagangan juga akan memperoleh manfaat kurang optimal. Hal ini ditunjukkan oleh data yang dirilis World Investment Report (2013) yang menyebutkan, pada 2012 Indonesia baru berhasil menarik 1,5 persen dari total investasi asing (foreign direct investment/FDI).
Sebaliknya, dengan kebijakan liberalisasi untuk komoditas pangan justru berdampak buruk pada akses rakyat terhadap pangan. Indonesia adalah contoh nyata dari negara yang terkena dampak liberalisasi pangan karena kebijakan tersebut justru mendorong kenaikan harga dan pasokan pangan.
Bukan itu saja, akses pelaku ekonomi kecil terhadap meningkatnya lalu lintas perdagangan global juga tidak optimal. Pelaku UKM justru cenderung marginal karena kalah di pasar global dan terdesak produk impor. Maka, komitmen APEC dalam memberdayakan usaha kecil sangat diperlukan dengan mendukung permodalan dan alih teknologi.
Di tengah keterbatasan UKM atas permodalan, komitmen pertemuan KTT APEC jelas menjadi angin segar, tak sekadar soal dukungan modal, tetapi juga relasi baru bisnis. Apalagi ada dukungan dalam meningkatkan konektivitas antarnegara APEC sehingga diharapkan dapat mengintegrasikan bisnis dan warga dalam perdagangan secara efektif.
Dari sisi kepentingan domestik, Indonesia harus banyak mengambil manfaat keberadaan APEC yang bisa mendorong kepentingan ekonomi domestik dan pelaku ekonomi kecil. Akses usaha kecil, selain masih minim dalam meraih pasar global, aksesnya terhadap lembaga keuangan juga masih rendah. Hal inilah yang menyebabkan pelaku usaha kecil belum mampu memperoleh manfaat APEC.
Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan peran usaha kecil. Harus ada kesempatan sama bagi seluruh masyarakat mulai dari pebisnis besar hingga petani, nelayan, kaum perempuan, dan UKM. Selama 2011-2012 UKM tumbuh dari 55,2 juta lebih menjadi 56,5 juta unit. UKM menyumbang kesempatan kerja dari 101,7 juta pekerja pada 2011 menjadi 107,6 pekerja pada 2012. Kontribusi UKM untuk ekspor nasional 187 triliun rupiah terutama dari kerajinan (30 persen), fashion and accessories (29 persen), dan furnitur (27 persen).
UKM harus benar-benar diperhatikan karena tidak banyak bergantung komponen impor, utang luar negeri. Mereka memiliki muatan lokal tinggi. Banyak menyerap tenaga informal yang tak tertampung di bursa kerja. UKM cukup efisien dalam kegiatan usaha seperti subcontracting. Di Jepang, AS, dan Eropa, industri besar maju berkat usaha subcontracting.
Dalam menghadapi percepatan liberalisasi dan persaingan global, perekonomian nasional seharusnya tidak hanya mengandalkan usaha besar, tetapi juga UKM. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar