|
MENJADI tuan rumah Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific
Economic Cooperation (APEC) merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk
mempromosikan berbagai potensi negara ini kepada dunia. Pemerintah, pengusaha,
dan rakyat harus bersinergi mendukung perhelatan akbar ini.
Tujuan pendirian APEC 1989 terutama untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di kawasan dan untuk memperkuat
masyarakat Asia-Pasifik. Sejak pendiriannya, APEC telah melaksanakan bagian
utama agendanya untuk memperluas perdagangan bebas, antara lain melalui
penurunan tarif dan berbagai hambatan perdagangan di kawasan Asia-Pasifik.
Pada pertemuan APEC 2013 terdapat tiga agenda utama, yaitu
mewujudkan Bogor Goals, mencapai
pertumbuhan berkelanjutan yang merata, dan mempromosikan konektivitas.
Indonesia tentu saja seharusnya tidak sekadar menjadi tuan rumah yang baik,
tapi juga mampu menjadi pusat kekuatan ekonomi terkemuka di kawasan
Asia-Pasifik dengan memanfaatkan forum tersebut. Oleh karena itu, pemetaan
permasalahan, peluang, dan kesempatan bagi tiga agenda utama APEC 2013 menjadi
sangat penting agar Indonesia mampu memiliki daya saing baik dalam pasar
domestik maupun internasional.
Tantangan bagi
Indonesia
Namun, sejauh ini posisi Indonesia dalam peta persaingan
perdagangan internasional masih terbilang rentan. Analisis terhadap struktur
perekonomian Indonesia menunjukkan perlunya penguatan berbagai faktor
fundamental agar Indonesia mampu menahan dampak berbagai faktor eksternal.
Pertama, ketergantungan energi di Indonesia khususnya
terhadap konsumsi minyak bumi telah menyebabkan neraca perdagangan sepanjang
2013 mengalami tekanan defisit dari Januari-Juli yang lalu. Penyebab utama
defisit neraca perdagangan ialah tingginya ketergantungan terhadap impor migas
dan masih rendahnya ekspor migas, walaupun terjadi surplus neraca perdagangan
pada Agustus 2013 sebesar US$0,13 miliar karena ekspor sebesar US$13,16 miliar
dan impor US$13,03 miliar. Namun, hal itu terutama disebabkan penurunan defisit
neraca migas menjadi US$0,9 miliar karena masih besarnya stok Pertamina untuk
migas yang berasal dari impor Juli lalu. Masih rendahnya ekspor migas karena
masih rendahnya kemampuan produksi dalam negeri akibat proses investasi migas
yang lambat.
Ketergantungan Indonesia terhadap energi yang tidak
terbarukan (nonrenewable energy)
tersebut seperti minyak bumi perlu disesuaikan dengan agenda APEC 2013 yang
mempromosikan energi yang bersih, terbarukan, dan berkelanjutan di kawasan
APEC.
Kedua, masih rapuhnya struktur ekspor nonmigas Indonesia
yang terutama bergantung pada komoditas primer. Untuk Agustus 2013 tersebut
terjadi penurunan ekspor nonmigas yang lebih kecil daripada penurunan impor
nonmigas sehingga neraca nonmigas masih surplus sebesar US$1,03 miliar.
Penurunan ekspor nonmigas terutama terjadi karena masih rendahnya harga
komoditas primer yang menjadi andalan ekspor nonmigas Indonesia sampai saat
ini, antara lain batu bara, karet mentah, minyak, dan lemak nabati. Di samping
itu terjadi pula penurunan ekspor produk manufaktur, antara lain mesin alat
transportasi dan produk kimia. Adapun penurunan impor nonmigas terutama terjadi
karena penurunan impor barang modal, antara lain alat angkutan untuk industri.
Keadaan
ekspor nonmigas yang rapuh tersebut tentu menyulitkan Indonesia untuk mewujudkan
agenda kedua APEC 2013, yaitu pertumbuhanan
berkelanjutan yang merata. Komoditas primer yang menjadi andalan Indonesia
tersebut merupakan tulang punggung perekonomian berbasis pertanian yang juga
menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia yang bekerja di sektor tersebut.
Gejolak harga komoditas akan menurunkan daya beli pekerja di
sektor
tersebut.
Ketiga,
neraca jasa sampai saat ini masih menunjukkan defisit
akibat rendahnya kemampuan berbagai sektor jasa, antara lain 1) rendahnya daya
saing pekerja Indonesia baik dalam perdagangan jasa dalam negeri maupun luar
negeri, 2) jasa TKI versus ekspatriat, 3) jasa bunga, profit, dan sewa masih
lebih besar jumlah yang dibayarkan ke luar negeri daripada aliran masuk ke dalam
negeri.
Jelas bahwa tantangan untuk memperbaiki perdagangan jasa (trade on services) yang beru pakan
bagian dari didikan yang bersifat jangka menengah dan panjang haruslah
dikembangkan agar Indonesia mampu bersaing di sektor jasa.
Adapun yang keempat ialah kecenderungan melemahnya mata
uang rupiah mencerminkan rentannya Indonesia terhadap arus dana asing akibat
gejolak eksternal perekonomian dunia. Dampak dari pelemahan rupiah tentu saja
meningkatkan harga barang impor yang bersifat kebutuhan pokok, khususnya pangan
dan energi. Hal itu dapat memengaruhi daya beli masyarakat keseluruhan dan
merupakan hambatan bagi penanggulangan kemiskinan dan penurunan kesenjangan
pendapatan yang merupakan bagian dari agenda pertama APEC, yakni Bogor Goals. Indonesia perlu meninjau
ulang kebijakan pasar uang khususnya untuk menjaga cadangan devisa agar mampu
menjaga gejolak mata uang rupiah tersebut.
Kelima, infrastruktur tampak masih merupakan titik lemah
bagi daya tarik perekonomian Indonesia. Kerja sama antara pemerintah dan swasta
serta masyarakat menjadi tantangan utama keberhasilan pembangan infrastruktur.
Walaupun Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI)
telah memberikan peta bagi pembangunan infrastruktur, realisasinya masih perlu
dipercepat. Permasalahan klasik dalam hal pertanahan masih merupakan hambatan
utama pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Peluang bagi
Indonesia
Pertemuan pemimpin ekonomi dunia dari kawasan Asia Pasifik
tentu membuka peluang emas bagi pengembangan perekonomian Indonesia.
Pertama, peluang peningkatan investasi baik melalui
kelompok usaha besar maupun UMKM dapat diwujudkan oleh Indonesia dengan
berbagai kebijakan yang mendukung kemudahan berusaha. Diperkirakan lebih dari
1.000 pemimpin ekonomi dunia akan datang dalam pertemuan APEC sehingga
pemerintah dan juga swasta dapat menjalin kerja sama ekonomi yang
berkelanjutan. ABAC, misalnya, telah mendorong agenda pengembangan usaha kecil
dan menengah sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh
lapisan masyarakat.
Kedua, kerja sama strategis antarnegara juga telah
diwujudkan dalam rangka agenda APEC 2013, misalnya perjanjian ekonomi
antarnegara secara luas termasuk bilateral
swap antara Indonesia dan China.
Ketiga, kerja sama sektoral dalam berbagai isu strategis,
misalnya konektivitas antarnegara sehingga memudahkan arus mobilitas penduduk,
yang dapat mendukung pengembangan sektor pariwisata. Tentu saja peluang
tersebut harus direalisasikan pada tingkat mikro, misalnya pengembangan
industri jasa perdagangan, hotel, dan transportasi.
Akhirnya, segala upaya memosisikan Indonesia di kawasan
Asia-Pasifik sangat tergantung kemampuan bangsa Indonesia bersinergi dengan
harmonis untuk membangun Indonesia sebagai negara terkemuka baik secara ekonomi
maupun sosial dan politik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar