Rabu, 09 Oktober 2013

APEC dan Daya Saing Indonesia

APEC dan Daya Saing Indonesia
Ninasapti Triaswati  ;  Staf pengajar FEUI, Anggota Komite Ekonomi Nasional
MEDIA INDONESIA, 08 Oktober 2013


MENJADI tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk mempromosikan berbagai potensi negara ini kepada dunia. Pemerintah, pengusaha, dan rakyat harus bersinergi mendukung perhelatan akbar ini.

Tujuan pendirian APEC 1989 terutama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di kawasan dan untuk memperkuat masyarakat Asia-Pasifik. Sejak pendiriannya, APEC telah melaksanakan bagian utama agendanya untuk memperluas perdagangan bebas, antara lain melalui penurunan tarif dan berbagai hambatan perdagangan di kawasan Asia-Pasifik.

Pada pertemuan APEC 2013 terdapat tiga agenda utama, yaitu mewujudkan Bogor Goals, mencapai pertumbuhan berkelanjutan yang merata, dan mempromosikan konektivitas. Indonesia tentu saja seharusnya tidak sekadar menjadi tuan rumah yang baik, tapi juga mampu menjadi pusat kekuatan ekonomi terkemuka di kawasan Asia-Pasifik dengan memanfaatkan forum tersebut. Oleh karena itu, pemetaan permasalahan, peluang, dan kesempatan bagi tiga agenda utama APEC 2013 menjadi sangat penting agar Indonesia mampu memiliki daya saing baik dalam pasar domestik maupun internasional.

Tantangan bagi Indonesia

Namun, sejauh ini posisi Indonesia dalam peta persaingan perdagangan internasional masih terbilang rentan. Analisis terhadap struktur perekonomian Indonesia menunjukkan perlunya penguatan berbagai faktor fundamental agar Indonesia mampu menahan dampak berbagai faktor eksternal.

Pertama, ketergantungan energi di Indonesia khususnya terhadap konsumsi minyak bumi telah menyebabkan neraca perdagangan sepanjang 2013 mengalami tekanan defisit dari Januari-Juli yang lalu. Penyebab utama defisit neraca perdagangan ialah tingginya ketergantungan terhadap impor migas dan masih rendahnya ekspor migas, walaupun terjadi surplus neraca perdagangan pada Agustus 2013 sebesar US$0,13 miliar karena ekspor sebesar US$13,16 miliar dan impor US$13,03 miliar. Namun, hal itu terutama disebabkan penurunan defisit neraca migas menjadi US$0,9 miliar karena masih besarnya stok Pertamina untuk migas yang berasal dari impor Juli lalu. Masih rendahnya ekspor migas karena masih rendahnya kemampuan produksi dalam negeri akibat proses investasi migas yang lambat.

Ketergantungan Indonesia terhadap energi yang tidak terbarukan (nonrenewable energy) tersebut seperti minyak bumi perlu disesuaikan dengan agenda APEC 2013 yang mempromosikan energi yang bersih, terbarukan, dan berkelanjutan di kawasan APEC.

Kedua, masih rapuhnya struktur ekspor nonmigas Indonesia yang terutama bergantung pada komoditas primer. Untuk Agustus 2013 tersebut terjadi penurunan ekspor nonmigas yang lebih kecil daripada penurunan impor nonmigas sehingga neraca nonmigas masih surplus sebesar US$1,03 miliar. Penurunan ekspor nonmigas terutama terjadi karena masih rendahnya harga komoditas primer yang menjadi andalan ekspor nonmigas Indonesia sampai saat ini, antara lain batu bara, karet mentah, minyak, dan lemak nabati. Di samping itu terjadi pula penurunan ekspor produk manufaktur, antara lain mesin alat transportasi dan produk kimia. Adapun penurunan impor nonmigas terutama terjadi karena penurunan impor barang modal, antara lain alat angkutan untuk industri.

Keadaan ekspor nonmigas yang rapuh tersebut tentu menyulitkan Indonesia untuk mewujudkan agenda kedua APEC 2013, yaitu pertumbuhanan berkelanjutan yang merata. Komoditas primer yang menjadi andalan Indonesia tersebut merupakan tulang punggung perekonomian berbasis pertanian yang juga menghidupi sebagian besar rakyat Indonesia yang bekerja di sektor tersebut. Gejolak harga komoditas akan menurunkan daya beli pekerja di
sektor tersebut.

Ketiga, neraca jasa sampai saat ini masih menunjukkan defisit akibat rendahnya kemampuan berbagai sektor jasa, antara lain 1) rendahnya daya saing pekerja Indonesia baik dalam perdagangan jasa dalam negeri maupun luar negeri, 2) jasa TKI versus ekspatriat, 3) jasa bunga, profit, dan sewa masih lebih besar jumlah yang dibayarkan ke luar negeri daripada aliran masuk ke dalam negeri.

Jelas bahwa tantangan untuk memperbaiki perdagangan jasa (trade on services) yang beru pakan bagian dari didikan yang bersifat jangka menengah dan panjang haruslah dikembangkan agar Indonesia mampu bersaing di sektor jasa.

Adapun yang keempat ialah kecenderungan melemahnya mata uang rupiah mencerminkan rentannya Indonesia terhadap arus dana asing akibat gejolak eksternal perekonomian dunia. Dampak dari pelemahan rupiah tentu saja meningkatkan harga barang impor yang bersifat kebutuhan pokok, khususnya pangan dan energi. Hal itu dapat memengaruhi daya beli masyarakat keseluruhan dan merupakan hambatan bagi penanggulangan kemiskinan dan penurunan kesenjangan pendapatan yang merupakan bagian dari agenda pertama APEC, yakni Bogor Goals. Indonesia perlu meninjau ulang kebijakan pasar uang khususnya untuk menjaga cadangan devisa agar mampu menjaga gejolak mata uang rupiah tersebut.

Kelima, infrastruktur tampak masih merupakan titik lemah bagi daya tarik perekonomian Indonesia. Kerja sama antara pemerintah dan swasta serta masyarakat menjadi tantangan utama keberhasilan pembangan infrastruktur. Walaupun Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) telah memberikan peta bagi pembangunan infrastruktur, realisasinya masih perlu dipercepat. Permasalahan klasik dalam hal pertanahan masih merupakan hambatan utama pembangunan infrastruktur di Indonesia.

Peluang bagi Indonesia

Pertemuan pemimpin ekonomi dunia dari kawasan Asia Pasifik tentu membuka peluang emas bagi pengembangan perekonomian Indonesia.

Pertama, peluang peningkatan investasi baik melalui kelompok usaha besar maupun UMKM dapat diwujudkan oleh Indonesia dengan berbagai kebijakan yang mendukung kemudahan berusaha. Diperkirakan lebih dari 1.000 pemimpin ekonomi dunia akan datang dalam pertemuan APEC sehingga pemerintah dan juga swasta dapat menjalin kerja sama ekonomi yang berkelanjutan. ABAC, misalnya, telah mendorong agenda pengembangan usaha kecil dan menengah sehingga dapat mewujudkan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh lapisan masyarakat. 

Kedua, kerja sama strategis antarnegara juga telah diwujudkan dalam rangka agenda APEC 2013, misalnya perjanjian ekonomi antarnegara secara luas termasuk bilateral swap antara Indonesia dan China.

Ketiga, kerja sama sektoral dalam berbagai isu strategis, misalnya konektivitas antarnegara sehingga memudahkan arus mobilitas penduduk, yang dapat mendukung pengembangan sektor pariwisata. Tentu saja peluang tersebut harus direalisasikan pada tingkat mikro, misalnya pengembangan industri jasa perdagangan, hotel, dan transportasi.

Akhirnya, segala upaya memosisikan Indonesia di kawasan Asia-Pasifik sangat tergantung kemampuan bangsa Indonesia bersinergi dengan harmonis untuk membangun Indonesia sebagai negara terkemuka baik secara ekonomi maupun sosial dan politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar