|
SUASANA haru, khidmat, dan keramat yang biasa kita rasakan
menjelang atau saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober, lambat
laun memudar.
Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, kesakralan yang biasa
mengiringi peringatan itu bergeser menjadi keraguan dan ketidakpercayaan
terhadap apa yang sesungguhnya terjadi.
Sejarah memang dahsyat, ia bukan hanya mampu memberikan
fungsi edukatif, inspiratif, dan rekreatif melainkan juga bisa memberikan
fungsi manipulatif. Benar apa yang dikatakan Peter Ustinov, sejarawan Rusia,
bahwa barang siapa dapat menguasai ingatan seseorang maka ia akan menguasai
kehidupan mereka.
Faktanya, jutaan orang tergiring ingatan dan keyakinan akan
kebenaran kisah yang dijejalkan penguasa Orde Baru, bahkan selama puluhan
tahun, kendati terindikasi sarat kepentingan politis dan rekayasa. Ketika rezim
itu runtuh maka runtuh pulalah segenap keyakinan masyarakat atas apa yang
pernah dijejalkan.
Bukan berarti harus menafikan realitas pahit gugurnya 7
perwira militer, bukan pula berarti membenarkan tindakan pelaku yang menghabisi
mereka. Siapa pun pelaku dan apa pun motifnya, kita harus menentang tindakan
keji mereka terhadap perwira militer itu karena bertentangan dengan hukum dan
nilai-nilai kemanusiaan.
Namun mengutuk tindakan keji itu dengan memperingati Hari
Kesaktian Pancasila adalah sesuatu yang jelas berbeda. Memperingati berarti
sudah memastikan bahwa pelaku, aktor intelektual, dan motif mereka adalah
mendongkel dasar negara Pancasila.
Padahal realitasnya, aktor intelektual gerakan itu masih
belum bisa dipastikan. Siaran pers mereka di RRI saat bisa menguasai Ibu Kota
tidak ada kaitannya dengan pendongkelan dasar negara. Peringatan Hari Kesaktian
Pancasila sama juga dengan memastikan bahwa apa yang dilakukan Orde Baru dulu
adalah tindakan untuk menyelamatkan Pancasila semata, bukan ambisi berkuasa
yang dibungkus justifikasi penyelamatan Pancasila.
Fakta menarik lain terkait Hari Kesaktian Pancasila
sebagaimana dilansir sejarawan Robert Cribb yang mengatakan selama Orde Baru
ada proses sistematis menutup-nutupi realitas pembantaian dan penyiksaan
terhadap ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang, yang diduga anggota PKI
atau onderbouw-nya tanpa proses
pengadilan yang fair.
Hermawan Sulistiyo, penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu dalam wawancara dengan majalah Tempo edisi
khusus 1-7 Oktober 2012 bertajuk ”Pengakuan Para Algojo” mengatakan pembantaian
di beberapa lokasi di Jatim baru merebak seiring dengan pergerakan tentara dan
Komite Aksi Pengganyangan yang direstui penguasa.
Artinya ada unsur dosa negara dalam peristiwa tersebut. Karenanya,
menjadi ironis bila suatu hari diperingati karena gugurnya 7 jenderal tapi di
sisi lain membenarkan atau minimal mengabaikan pembantaian terhadap ratusan
ribu nyawa orang yang belum tentu bersalah, tanpa proses pengadilan yang
memadai.
Slogan nasionalisme yang acap kita dengar adalah right or wrong is my country, tapi
tampaknya kita harus mulai berani mengikis slogan tersebut. Pemerintah Belanda
bahkan mengajari kita untuk mengatakan hitam adalah hitam dan putih adalah
putih.
Melalui pernyataan maaf dan pemberian ganti rugi kepada
korban pembantaian Rawagede dan korban kekejaman Westerlin, mereka seolah-olah
ingin mengajarkan kebenaran dan kesalahan dapat bersanding dengan siapa pun,
termasuk negara sendiri. Karena itu, tak ada salahnya kita berefleksi dan
memilah yang benar dan yang salah.
Bangsa Sendiri
Pembantaian terhadap 7 perwira militer adalah suatu
kesalahan, namun pembantaian terhadap ratusan ribu orang tanpa jelas dinyatakan
bersalah juga tidak boleh ditutup-tutupi dan dibenarkan.
Jika pemerintah Belanda terhadap bangsa lain mau mengakui
kesalahannya, kenapa bangsa kita tidak mau melakukannya terhadap sesama anak
bangsa sendiri. Pernyataan resmi negara untuk membuka tabir yang puluhan tahun
ditutup-tutupi dan pernyataan maaf secara resmi krusial dilakukan saat ini.
Jika itu dilakukan maka ada beragam hikmah. Pertama;
menunjukkan bahwa negara via pemerintah, diisi manusia lengkap dengan segala
sifat kemanusiaannya. Artinya bisa benar dan bisa juga salah. Karena itu, tak
boleh ada taklid buta terhadap semua kebijakan. Kedua; mengajarkan semangat
taat hukum, karenanya tiap kesalahan tidak boleh lagi dieksekusi tanpa proses
hukum yang memadai.
Ketiga; menghilangkan alat legitimasi bagi berbagai pihak
yang selama ini mendiskreditkan pihak lain karena stigma keterlibatan dalam
G30S. Keempat; menghilangkan beban psikologis bagi orang yang dianggap anggota
PKI dan keturunannya yang selama puluhan tahun ditempatkan sebagai sampah
masyarakat, walaupun mungkin mereka belum pernah diadili.
Kelima; menjadi pembelajaran yang baik bagi seluruh anak
bangsa akan pentingnya sikap kesatria dan mengutamakan rekonsiliasi demi
kemajuan bangsa pada masa mendatang. Pertanyaan penting, dalam waktu yang
tinggal setahun lagi memerintah mau dan mampukah SBYmelakukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar