Rabu, 02 Oktober 2013

Tafsir Kesaktian Pancasila

Tafsir Kesaktian Pancasila
Andy Suryadi  ;  Dosen Sejarah FIS Universitas Negeri Semarang (Unnes)
SUARA MERDEKA, 01 Oktober 2013


SUASANA haru, khidmat, dan keramat yang biasa kita rasakan menjelang atau saat peringatan Hari Kesaktian Pancasila tiap 1 Oktober, lambat laun memudar.

Setelah keruntuhan rezim Orde Baru, kesakralan yang biasa mengiringi peringatan itu bergeser menjadi keraguan dan ketidakpercayaan terhadap apa yang sesungguhnya terjadi.

Sejarah memang dahsyat, ia bukan hanya mampu memberikan fungsi edukatif, inspiratif, dan rekreatif melainkan juga bisa memberikan fungsi manipulatif. Benar apa yang dikatakan Peter Ustinov, sejarawan Rusia, bahwa barang siapa dapat menguasai ingatan seseorang maka ia akan menguasai kehidupan mereka.
Faktanya, jutaan orang tergiring ingatan dan keyakinan akan kebenaran kisah yang dijejalkan penguasa Orde Baru, bahkan selama puluhan tahun, kendati terindikasi sarat kepentingan politis dan rekayasa. Ketika rezim itu runtuh maka runtuh pulalah segenap keyakinan masyarakat atas apa yang pernah dijejalkan.

Bukan berarti harus menafikan realitas pahit gugurnya 7 perwira militer, bukan pula berarti membenarkan tindakan pelaku yang menghabisi mereka. Siapa pun pelaku dan apa pun motifnya, kita harus menentang tindakan keji mereka terhadap perwira militer itu karena bertentangan dengan hukum dan nilai-nilai kemanusiaan.

Namun mengutuk tindakan keji itu dengan memperingati Hari Kesaktian Pancasila adalah sesuatu yang jelas berbeda. Memperingati berarti sudah memastikan bahwa pelaku, aktor intelektual, dan motif mereka adalah mendongkel dasar negara Pancasila.

Padahal realitasnya, aktor intelektual gerakan itu masih belum bisa dipastikan. Siaran pers mereka di RRI saat bisa menguasai Ibu Kota tidak ada kaitannya dengan pendongkelan dasar negara. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila sama juga dengan memastikan bahwa apa yang dilakukan Orde Baru dulu adalah tindakan untuk menyelamatkan Pancasila semata, bukan ambisi berkuasa yang dibungkus justifikasi penyelamatan Pancasila.

Fakta menarik lain terkait Hari Kesaktian Pancasila sebagaimana dilansir sejarawan Robert Cribb yang mengatakan selama Orde Baru ada proses sistematis menutup-nutupi realitas pembantaian dan penyiksaan terhadap ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan orang, yang diduga anggota PKI atau onderbouw-nya tanpa proses pengadilan yang fair.

Hermawan Sulistiyo, penulis buku Palu Arit di Ladang Tebu dalam wawancara dengan majalah Tempo edisi khusus 1-7 Oktober 2012 bertajuk ”Pengakuan Para Algojo” mengatakan pembantaian di beberapa lokasi di Jatim baru merebak seiring dengan pergerakan tentara dan Komite Aksi Pengganyangan yang direstui penguasa.

Artinya ada unsur dosa negara dalam peristiwa tersebut. Karenanya, menjadi ironis bila suatu hari diperingati karena gugurnya 7 jenderal tapi di sisi lain membenarkan atau minimal mengabaikan pembantaian terhadap ratusan ribu nyawa orang yang belum tentu bersalah, tanpa proses pengadilan yang memadai.

Slogan nasionalisme yang acap kita dengar adalah right or wrong is my country, tapi tampaknya kita harus mulai berani mengikis slogan tersebut. Pemerintah Belanda bahkan mengajari kita untuk mengatakan hitam adalah hitam dan putih adalah putih.

Melalui pernyataan maaf dan pemberian ganti rugi kepada korban pembantaian Rawagede dan korban kekejaman Westerlin, mereka seolah-olah ingin mengajarkan kebenaran dan kesalahan dapat bersanding dengan siapa pun, termasuk negara sendiri. Karena itu, tak ada salahnya kita berefleksi dan memilah yang benar dan yang salah.

Bangsa Sendiri

Pembantaian terhadap 7 perwira militer adalah suatu kesalahan, namun pembantaian terhadap ratusan ribu orang tanpa jelas dinyatakan bersalah juga tidak boleh ditutup-tutupi dan dibenarkan.

Jika pemerintah Belanda terhadap bangsa lain mau mengakui kesalahannya, kenapa bangsa kita tidak mau melakukannya terhadap sesama anak bangsa sendiri. Pernyataan resmi negara untuk membuka tabir yang puluhan tahun ditutup-tutupi dan pernyataan maaf secara resmi krusial dilakukan saat ini.

Jika itu dilakukan maka ada beragam hikmah. Pertama; menunjukkan bahwa negara via pemerintah, diisi manusia lengkap dengan segala sifat kemanusiaannya. Artinya bisa benar dan bisa juga salah. Karena itu, tak boleh ada taklid buta terhadap semua kebijakan. Kedua; mengajarkan semangat taat hukum, karenanya tiap kesalahan tidak boleh lagi dieksekusi tanpa proses hukum yang memadai.

Ketiga; menghilangkan alat legitimasi bagi berbagai pihak yang selama ini mendiskreditkan pihak lain karena stigma keterlibatan dalam G30S. Keempat; menghilangkan beban psikologis bagi orang yang dianggap anggota PKI dan keturunannya yang selama puluhan tahun ditempatkan sebagai sampah masyarakat, walaupun mungkin mereka belum pernah diadili.


Kelima; menjadi pembelajaran yang baik bagi seluruh anak bangsa akan pentingnya sikap kesatria dan mengutamakan rekonsiliasi demi kemajuan bangsa pada masa mendatang. Pertanyaan penting, dalam waktu yang tinggal setahun lagi memerintah mau dan mampukah SBYmelakukan?  ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar