Rabu, 02 Oktober 2013

Melawan Perilaku Intoleran

Melawan Perilaku Intoleran
Rakhmat Hidayat  ;  Dosen Jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ),  Kandidat PhD Sosiologi Pendidikan Universite Lumiere Lyon 2, Prancis
MEDIA INDONESIA, 01 Oktober 2013


SIKAP penolakan sebagian masyarakat Lenteng Agung terha dap posisi Lurah Susan terus mencuat. Untuk kesekian kalinya, mereka yang menolak kembali berdemonstrasi di depan Kantor Kelurahan Lenteng Agung. Sekelompok masyarakat tetap menolak Susan karena dianggap berbeda keyakinan dengan mayoritas masyarakat Lenteng Agung. Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tetap menolak penggantian Lurah Susan dari jabatannya.

Kedua pemimpin tersebut berkukuh bahwa penggantian pejabat harus berdasarkan kinerja, bukan pertimbangan agama atau ras. Mereka juga berpikir konstitusi harus ditegakkan dalam prinsip penempatan pejabat dan tidak berdasarkan latar belakang etnik dan agama. Di media sosial, muncul gerakan untuk mendukung posisi Lurah Susan dengan mengusung hashtag #Save Susan. Dukungan publik itu bukan semata persoalan personal, me lainkan bermuara pada prinsip dan etika publik yang harus dibangun di masyarakat, yaitu menghargai perbedaan yang berkembang.

Jika dibaca secara lebih jauh, munculnya dukungan publik itu berdasarkan pemikiran yang sama, untuk merawat kebinekaan sekaligus merawat Indonesia. Polemik ini juga mengundang debat antara Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok, dengan Mendagri, Gamawan Fauzi. Gamawan mengatakan kebijakan penempatan Lurah Susan agar ditinjau ulang. Tentu saja Ahok menolak keras saran itu dan menganggap Gamawan tidak paham konstitusi. Polemik berkembang menjadi perang terbuka di media massa, khususnya media sosial.

Melihat kelompok masyarakat yang menolak Lurah Susan membuat kita prihatin dengan kesadaran masyarakat dalam menghadapi perbedaan. Dalam konteks kebinekaan Indonesia, sikap itu sangat membahayakan karena bisa mencederai ikatan kebangsaan yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat Indonesia. Jika sikap terus dipelihara, kita akan itu menghadapi gelombang yang sama di berbagai daerah.

Kemunduran sikap

Secara historis, Indonesia memiliki pengalaman panjang sebagai bangsa yang multikultural. Pengalaman kolektif sejarah tersebut mengantarkan kepentingan yang sama untuk membangun Indonesia sebagai negara yang maju dan modern, tentu dengan menerima dan menghargai berbagai perbedaan. Pancasila diyakini sebagai sebuah jembatan (bridging) dari masyarakat multikultural Indonesia yang sangat beragam. Itulah kapital kultural bangsa yang harus diikat Pancasila.

Sejarah juga menunjukkan pengalaman berharga dengan adanya perdebatan antara kelompok Islam dan nasionalis tentang dasar negara. Kelompok Islam diwakili Mohammad Natsir, sementara kelompok nasionalis diwakili Soepomo.
Perdebatan terjadi karena perbedaan cara pandang dalam menempatkan Islam sebagai dasar negara Indonesia. Ketika itu, kelompok Islam sepakat dengan dihapuskannya tujuh kata `dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' di belakang sila ketuhanan dalam Piagam Jakarta.

Sikap Natsir ialah sikap terbaik dalam menerima perbedaan dalam konteks Indonesia. Tokoh seperti Natsir berjiwa terbuka dalam menerima perbedaan. Justru dengan sikap sekelompok masyarakat di Lenteng Agung mencerminkan kemunduran berpikir dalam menghadapi perbedaan. Sikap itu menjadi contoh buruk dalam merayakan perbedaan yang ada di Indonesia.

Pengalaman Eropa

Sikap intoleran kelompok masyarakat Lenteng Agung sejatinya bukan pertama kali di Indonesia. Kasus-kasus lain banyak terjadi di berbagai daerah. Ironisnya, kerap disertai praktik-praktik kekerasan yang meneteskan darah. Tak sedikit nyawa juga menjadi korban sikap intoleran. Sikap intoleran selalu terjadi dalam masyarakat yang plural atau multikultural dan mengarah kepada kelompok minoritas. Lemahnya kohesi sosial dan integrasi yang muncul di masyarakat menunjukkan tumbuh suburnya prasangka (prejudice) yang berakumulasi dalam sikap diskriminasi.

Perilaku intoleran juga sering terjadi di negara-negara yang dikenal sebagai negara maju dengan tingkat pendidikan dan peradaban tinggi. Sebuah publikasi yang diterbitkan Friedrich-Ebert-Stiftung pada 2011 berjudul Intolerance, Prejudice and Discrimination; A European Report menjelaskan sikap intoleran sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas seperti orang kulit hitam, masyarakat Yahudi, umat Islam, kalangan perempuan, dan homoseksual. Kelompok-kelompok tersebut menjadi bulan-bulanan dari propaganda kelompok populis sayap kanan.

Salah satu temuan menarik dalam publikasi tersebut ialah survei tentang komparasi komposisi sosial di delapan negara Eropa, yaitu Prancis, Jerman, Inggris, Hongaria, Italia, Belanda, Polandia, dan Portugal. Dari berbagai kelompok minoritas yang sering menjadi korban intoleran, masyarakat Islam ialah kelompok yang populasinya cukup besar.

Komposisi masyarakat Islam terbesar di Eropa berada di Prancis, yaitu mencapai 10% dari total penduduk Prancis. Setelah Prancis, disusul Jerman (7%), Inggris (6%), dan Belanda (6%). Masyarakat imigran terbesar berada di Jerman dengan angka 12,3% dari total penduduk. Menyusul berikutnya Prancis sebesar 10,4% dan Belanda sebesar 10,1%.

Menariknya, pascakonsolidasi Uni Eropa, sikap intoleran justru berkembang lebih banyak. Dari berbagai kasus intoleran di Eropa, sikap prasangka terhadap keterikatan personal menjadi faktor utama. Masyarakat Eropa masih terjebak dalam mendefinisikan kelompok sosial di luar diri mereka. Mereka sering menganggap kelompok minoritas sebagai kelompok yang disebut foreign, strange, atau other. Konstruksi sosial itu perlahan-perlahan terus berkembang dan terlembagakan dalam struktur kognitif masyarakat asli.

Pada akhirnya muncul sikap intoleran terhadap warga minoritas karena mereka dianggap berbeda, aneh, dan marginal dengan realitas sosial budaya masyarakat Eropa. Eropa akan mengalami tantangan berat dalam merawat multikulturalisme pascaterbentuknya Uni Eropa. Tantangan itu menjadi masalah berat dan agenda signifikan pemimpin Uni Eropa dalam menyelesaikan masalah sosial yang kompleks ini.


Tidak adanya batas-batas geografis dan sosial-budaya di Eropa sangat memungkinkan terjadinya konflik sosial di antara negara-negara di Eropa, khususnya negara-negara di Eropa Timur dengan Eropa Barat atau antara warga pendatang/keturunan dengan warga asli Eropa. Melihat kasus kelompok masyarakat Lenteng Agung dan juga kasus-kasus lainnya pun membuat kita kembali berpikir panjang tentang ikatan kebangsaan yang sudah tertanam kuat dalam realitas sosial historis kita. Itulah tantangan kebangsaan kita yang bisa mengikis fondasi kebangsaaan. Tak ada pilihan lain bagi kita untuk merawat Indonesia dengan melawan apa pun bentuk dan perilaku intoleran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar