|
Tanggal
9 April 2014 tak terasa. Kurang enam bulan lagi rakyat yang memiliki hak pilih
akan menggunakan haknya di tempat pemungutan suara. Upaya untuk melayani
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya terus disempurnakan Komisi Pemilihan
Umum. Usaha yang tak mudah. Tapi terus menjadi perhatian serius dan
sungguh-sungguh.
Perubahan pandangan politis dengan beragam motif pemilih berkelindan dengan arus besar yang terus mengemuka di negeri ini. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang memakai sistem pemilu dengan kekhasan yang tak dimiliki negara lain. Saat ini, di KPU RI, daftar pemilih yang berjumlah hampir 200 juta dirangkum dalam Sistem Data Pemilih (Sidalih). Cara ini belum pernah digunakan negara lain, sampai hari ini.
Jelang penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) secara nasional pada tanggal 23 Oktober 2013, ketidaksempurnaan angka-angka itu mungkin masih ada. Sinkronisasi angka kependudukan yang menjadi domain pemerintah pun masih perlu dibenahi. Tapi di luar hal teknis tersebut, hal lain yang tak boleh luput yakni, apakah kesadaran memilih tumbuh bersama dengan kuantitas angka pemilih.
Saat ini kita terus berharap agar pemilih makin rasional dalam menentukan pilihannya. Menurut pendekatan rational choice, yang menentukan dalam pemilu bukan semata adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, dan hegemoni komunitas melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang cakap. Tudingan V.O. Key tahun enam puluhan sepertinya relevan dengan keadaan hari ini. Janji-janji manis politik tidak lain sebuah kondisi yang merendahkan rasionalitas manusia.
Secara introspeksi, pemilih sejatinya menetapkan pilihannya karena menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan, atau mereka yang duduk pada periode legislatif terakhir sudah membaik. Atau justru sebaliknya. Bila pemilih tetap saja menafikan realitas bahwa yang mereka pilih tak lagi memiliki urusan dengan orang yang memilih, kiamatlah harapan-harapan itu. Sebab bukan berarti bahwa mereka yang rasional memilih, hanya mementingkan dirinya sendiri.
Untuk itu, pemilih harus memiliki informasi para calon wakil rakyat. Sayangnya, di baliho dan spanduk yang ada sejauh ini hanya selalu ramai dengan tagline, janji dan kicauan. Penulis belum pernah melihat ada spanduk kandidat yang merentang secara terbuka riwayat hidupnya. Padahal ini diperlukan untuk mempelajari rekam jejak dan reputasi calon wakil rakyat. Ini penting bagi pemilih.
Rentang enam bulan ke depan, bukanlah waktu yang panjang sesungguhnya. Masih banyak kesempatan bagi kita untuk mengetahui daftar calon wakil rakyat. Karena suara terbanyak, kita juga akan menjadi penonton atas duel keterpilihan baik antarparpol, maupun sesama wakil rakyat dalam daftar kolom surat suara yang saling menyundul kesempatan itu.
Suara yang Bernilai
Prospek suara yang kita miliki, sekali lagi hanya ada satu, dan bernilai satu untuk setiap orang. Pada kesadaran ini sesungguhnya, setiap pemilih mesti diajak untuk mampu memaknai satu suara itu. Bukan apa-apa, tetapi suara yang satu-satunya itu ibarat sebutir pasir yang mengokohkan sebuah gedung pencakar langit. Atau satu suara itu, ibarat pasak kecil yang menguatkan bahtera. Atau suara itu sekisi udara di alam raya.
Kita juga berharap agar pemilih makin cakap. Kecakapan itu ditandai dengan banyaknya informasi yang dimiliki pemilih atas calon wakil rakyat, atau partai politik yang didukungnya. Ketidaktahuan pemilih akan menyeretnya sebagai pemilih yang biasa-biasa saja. Yang tidak memiliki daya tawar, atau kehilangan orientasi. Akan sangat sayang bila tingkat partisipasi tinggi, tetapi pemilih kurang informasi pada apa yang akan dicoblosnya.
Tapi lagi-lagi kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah keadaan. Mengubah dunia yang lebih baik. Anggaplah kondisi yang berkembang hari ini sebagai fase pendahuluan, yang selanjutnya akan makin meyakinkan pemilih pada apa yang dikehendakinya. Suara untuk pemilu yang makin berkualitas harus terus berdengung. Dalam situasi apapun, kuantitas partisipasi mutlak berbanding lurus dengan kualitas keterpilihan.
Saban waktu penulis makin banyak bertemu pemilih di semua level umur, pendidikan dan status sosial. Ekspektasi lahirnya wakil rakyat terbaik yang mampu mengendali kontrol pemerintahan, sesuatu yang tak bisa ditawar. Meski kerap rakyat pemilih selalu terjebak pada pilihan sumir. Namun, penulis yakin momentum untuk terus mendidik pemilih agar kian cerdas memilih, belum selesai. Waktu dan tanggal mainnya terus berjalan.
Langkah untuk mencari luaran Pemilu 2014 yang bernas, tidaklah di lorong gelap, atau labirin. Tanggung jawab ini bukan semata konsentrasi KPU, tetapi juga semua pihak. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, posisi KPU di liga Pemilu ini adalah sebagai Panitia Penyelenggara. Di gelanggang ini ada wasit, ada hakim garis, ada penonton, ada pengamat, ada sponsor dan juga penggembira.
Bila ingin melihat duel wakil rakyat di Pemilu 2014 yang asyik dinikmati, jadilah wasit yang jujur. Jadilah pengamat yang bijak, jadilah penonton yang menyenangkan, jadilah hakim garis yang adil. Atau bertindaklah sebagai sponsor, dan penggembira yang membuat stadion tetap hiruk-pikuk tanpa tawuran. Dalam pada itu, KPU tentu wajib menjadi penyelenggara yang bertanggung jawab.
Atas nama Pemilu 2014 yang lebih baik, berkualitas dan sehat. Jagalah suara itu sebaik-baiknya. Sebab bila di luar Pemilu kita ternyata tak mampu menyentil keadaan, jadikanlah Pemilu nanti sebagai kesempatan untuk mengubah dunia ini. Yakin kita bisa melakukannya. ●
Perubahan pandangan politis dengan beragam motif pemilih berkelindan dengan arus besar yang terus mengemuka di negeri ini. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi yang memakai sistem pemilu dengan kekhasan yang tak dimiliki negara lain. Saat ini, di KPU RI, daftar pemilih yang berjumlah hampir 200 juta dirangkum dalam Sistem Data Pemilih (Sidalih). Cara ini belum pernah digunakan negara lain, sampai hari ini.
Jelang penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) secara nasional pada tanggal 23 Oktober 2013, ketidaksempurnaan angka-angka itu mungkin masih ada. Sinkronisasi angka kependudukan yang menjadi domain pemerintah pun masih perlu dibenahi. Tapi di luar hal teknis tersebut, hal lain yang tak boleh luput yakni, apakah kesadaran memilih tumbuh bersama dengan kuantitas angka pemilih.
Saat ini kita terus berharap agar pemilih makin rasional dalam menentukan pilihannya. Menurut pendekatan rational choice, yang menentukan dalam pemilu bukan semata adanya ketergantungan terhadap ikatan sosial struktural atau ikatan partai yang kuat, dan hegemoni komunitas melainkan hasil penilaian rasional dari warga yang cakap. Tudingan V.O. Key tahun enam puluhan sepertinya relevan dengan keadaan hari ini. Janji-janji manis politik tidak lain sebuah kondisi yang merendahkan rasionalitas manusia.
Secara introspeksi, pemilih sejatinya menetapkan pilihannya karena menilai apakah kinerja partai yang menjalankan pemerintahan, atau mereka yang duduk pada periode legislatif terakhir sudah membaik. Atau justru sebaliknya. Bila pemilih tetap saja menafikan realitas bahwa yang mereka pilih tak lagi memiliki urusan dengan orang yang memilih, kiamatlah harapan-harapan itu. Sebab bukan berarti bahwa mereka yang rasional memilih, hanya mementingkan dirinya sendiri.
Untuk itu, pemilih harus memiliki informasi para calon wakil rakyat. Sayangnya, di baliho dan spanduk yang ada sejauh ini hanya selalu ramai dengan tagline, janji dan kicauan. Penulis belum pernah melihat ada spanduk kandidat yang merentang secara terbuka riwayat hidupnya. Padahal ini diperlukan untuk mempelajari rekam jejak dan reputasi calon wakil rakyat. Ini penting bagi pemilih.
Rentang enam bulan ke depan, bukanlah waktu yang panjang sesungguhnya. Masih banyak kesempatan bagi kita untuk mengetahui daftar calon wakil rakyat. Karena suara terbanyak, kita juga akan menjadi penonton atas duel keterpilihan baik antarparpol, maupun sesama wakil rakyat dalam daftar kolom surat suara yang saling menyundul kesempatan itu.
Suara yang Bernilai
Prospek suara yang kita miliki, sekali lagi hanya ada satu, dan bernilai satu untuk setiap orang. Pada kesadaran ini sesungguhnya, setiap pemilih mesti diajak untuk mampu memaknai satu suara itu. Bukan apa-apa, tetapi suara yang satu-satunya itu ibarat sebutir pasir yang mengokohkan sebuah gedung pencakar langit. Atau satu suara itu, ibarat pasak kecil yang menguatkan bahtera. Atau suara itu sekisi udara di alam raya.
Kita juga berharap agar pemilih makin cakap. Kecakapan itu ditandai dengan banyaknya informasi yang dimiliki pemilih atas calon wakil rakyat, atau partai politik yang didukungnya. Ketidaktahuan pemilih akan menyeretnya sebagai pemilih yang biasa-biasa saja. Yang tidak memiliki daya tawar, atau kehilangan orientasi. Akan sangat sayang bila tingkat partisipasi tinggi, tetapi pemilih kurang informasi pada apa yang akan dicoblosnya.
Tapi lagi-lagi kita masih memiliki kesempatan untuk mengubah keadaan. Mengubah dunia yang lebih baik. Anggaplah kondisi yang berkembang hari ini sebagai fase pendahuluan, yang selanjutnya akan makin meyakinkan pemilih pada apa yang dikehendakinya. Suara untuk pemilu yang makin berkualitas harus terus berdengung. Dalam situasi apapun, kuantitas partisipasi mutlak berbanding lurus dengan kualitas keterpilihan.
Saban waktu penulis makin banyak bertemu pemilih di semua level umur, pendidikan dan status sosial. Ekspektasi lahirnya wakil rakyat terbaik yang mampu mengendali kontrol pemerintahan, sesuatu yang tak bisa ditawar. Meski kerap rakyat pemilih selalu terjebak pada pilihan sumir. Namun, penulis yakin momentum untuk terus mendidik pemilih agar kian cerdas memilih, belum selesai. Waktu dan tanggal mainnya terus berjalan.
Langkah untuk mencari luaran Pemilu 2014 yang bernas, tidaklah di lorong gelap, atau labirin. Tanggung jawab ini bukan semata konsentrasi KPU, tetapi juga semua pihak. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, posisi KPU di liga Pemilu ini adalah sebagai Panitia Penyelenggara. Di gelanggang ini ada wasit, ada hakim garis, ada penonton, ada pengamat, ada sponsor dan juga penggembira.
Bila ingin melihat duel wakil rakyat di Pemilu 2014 yang asyik dinikmati, jadilah wasit yang jujur. Jadilah pengamat yang bijak, jadilah penonton yang menyenangkan, jadilah hakim garis yang adil. Atau bertindaklah sebagai sponsor, dan penggembira yang membuat stadion tetap hiruk-pikuk tanpa tawuran. Dalam pada itu, KPU tentu wajib menjadi penyelenggara yang bertanggung jawab.
Atas nama Pemilu 2014 yang lebih baik, berkualitas dan sehat. Jagalah suara itu sebaik-baiknya. Sebab bila di luar Pemilu kita ternyata tak mampu menyentil keadaan, jadikanlah Pemilu nanti sebagai kesempatan untuk mengubah dunia ini. Yakin kita bisa melakukannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar