|
BARU-baru ini, saya
berkesempatan mengunjungi Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat. Tujuan utama
saya adalah kulinernya, yang terserak di warung-warung sudut jalan, di dalam
gang, bahkan di emperan.
“Sungguh mati, kuliner Pontianak
mengajak orang bersilat lidah secara positif,” kata EZ Halim, pengusaha dan
penulis budaya asal Pontianak dengan nama samaran Zulky Ponti. Ponti adalah
sebutan akrab Pontianak. Dari provokasinya, saya bermuhibah ke sana.
Pontianak memang memiliki budaya
kuliner warung yang khas. Di Jalan KS Tubun ada es krim yang disajikan di batok
kelapa muda sehingga ketika es krim disendok, daging kelapa muda otomatis
terkerok. Di Jembatan Tiga dan beberapa tempat lain terdapat warung sate sapi
yang dimakan bersama lontong, disiram bumbu kacang dan kuah kaldu. Maknyus....
Di Jalan Tamar ada caiku
eatau cuepan legendaris. Di Jalan Pahlawan ada nasi campur Akwang yang
sudah berbilang tahun dielu-elukan.
Seperti halnya mi kepiting atau cehuntiao di Jalan Tanjungpura atau
kopi Asiang di Gang Merapi yang selalu selalu ramai dan hangat. Disebut kopi
Asiang karena memang Asiang pemilik warungnya. Dari subuh sampai sore, Asiang
selalu bertelanjang dada melayani pembeli. Asiang, yang anaknya hampir menjadi
dokter, berargumentasi, ”Buka baju itu lambang keterbukaan, semangat, dan
ketulusan.”
Warung kebangsaan
Buat saya, kenikmatan makanan
adalah yang terpenting. Namun, bagi masyarakat Pontianak, yang terpokok
ternyata bukan itu. Kebanggaan pemilik warung adalah kehadiran para tokoh
masyarakat Pontianak atau asal Pontianak. ”Dan itu terbicarakan oleh warga
seluruh kota,” kata Eddy Susanto, pengusaha dan pekerja sosial di Pontianak.
Lalu, terbilanglah nama-nama
seperti Oesman Sapta dan Ari Chandra, tokoh Kamar Dagang dan Industri
Indonesia. Vania Larissa, Miss Indonesia yang menempati posisi terbaik ke-7 di
ajang Miss World tempo hari. Termasuk tentu Akil Mochtar, anggota DPR daerah
pemilihan Pontianak, yang lalu menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Warung adalah rumah komunitas
yang mendekatkan hubungan orang kebanyakan dengan para tokohnya. Di
warung-warung itulah sejumlah tokoh dipuja dan diidolakan, didiskusikan dan
dijadikan cerita-kota. Bagi para pemilik, tokoh-tokoh itu adalah figur promosi
yang membanggakan. Itu sebabnya, Pak Haji penjual sate kuah atau Asiang
penyeduh kopi akan fasih bercerita di sudut mana sang tokoh biasanya duduk, apa
yang mereka bicarakan, hingga menu favoritnya.
Warung-warung itu, termasuk
ratusan warung lain di pelosok Pontianak, diam-diam mengharap ikon-ikon
istimewa tersebut terus mempertahankan nama harumnya. Sebaliknya, komunitas
pengunjung warung yang berjumlah puluhan ribu bermimpi menjadi tokoh-tokoh
idola baru. Warung pun menjadi komunitas demokrasi yang seru.
Namun, sejak awal Oktober 2013,
gempa besar mengguncang warung-warung Pontianak. Akil Mochtar ditangkap Komisi
Pemberantasan Korupsi karena menerima suap sengketa pemilu kepala daerah. Bagi
para pemilik warung dan komunitas warung Pontianak, ini adalah khianat.
Akil dianggap telah mencurangi
kepercayaan masyarakat Pontianak. Akil adalah ”raja tega” yang menghancurkan
kesukacitaan warga yang tulus membanggakannya. Akil disebut sebagai tikus
celurut yang menerobos masuk ke berbagai warung, bergaya he-he-ho-ho dengan menyamar sebagai
hakim Bao.
Hukuman sosial
Lalu, suasana batin warung di
Pontianak berubah total. Terjadilah penghukuman sosial. Akil pun disebut Buto
Akil, pelesetan dari Buto Cakil, hasil celetukan orang Jawa pelanggan warung.
Cakil adalah buto (raksasa) buruk sifat yang selalu muncul dalam
lakon wayang Mahabharata. Matanya bulat tajam dan selalu jelalatan. Mulut
bagian bawahnya lebih maju dibandingkan dengan bagian atasnya. Sebuah profil
yang melambangkan sikap ingin menadah apa saja, dengan keserakahan yang tak ada
malunya.
Cakil berumah di hutan gelap.
Namun, ia selalu siap menerima order perang dari sang raja. Tugas Cakil adalah
menghalangi setiap perjalanan para kesatria yang ingin menunaikan tugas
kebenaran. Cakil lincah dalam berperang, bisa salto, melompat, berjingkat,
tetapi tak memiliki kesaktian. Oleh karena itu, setiap berkelahi, ia selalu
kalah dan mati. Namun, pada episode lain, ia muncul lagi.
Ketika tubuhnya berulah,
mulutnya selalu berbicara meski asal-asalan bunyinya. Misalnya, akan memotong
jari tangan para maling, akan menggantung koruptor di tiang gedung MK, dan akan
memotong leher sendiri kalau berbuat salah. Cakil punya beberapa prajurit
andalan, yakni Buto Rambut Geni, Buto Rambut Gimbal, dan Buto Terong.
Obrolan kemudian membuat
komunitas warung paham, tokoh Buto Cakil sesungguhnya tidak ada dalam Mahabharata asli
yang diturunkan dari India. Tokoh Buto Cakil diciptakan pada 1552 tahun Saka
atau 1630 Masehi pada masa kerajaan Sultan Agung. Jadi, tokoh absurd itu memang benar-benar hanya
milik Indonesia.
Drama Buto Akil tampaknya juga hanya
ada di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar