Senin, 14 Oktober 2013

Senjata Kimia dan Pemerintahan Transisi di Suriah

Senjata Kimia dan Pemerintahan Transisi di Suriah
Tom Saptaatmaja  Pemerhati Masalah Sosial, 
Alumnus STFT Widya Sasana Malang, dan Seminari St Vincent de Paul
KORAN SINDO, 14 Oktober 2013



Syukurlah untuk sementara waktu Amerika Serikat (AS) mengurungkan niatnya untuk menyerang Suriah. AS dan Rusia sepakat mengenai usulan untuk melenyapkan persenjataan kimia Suriah dan mencegah kemungkinan tindakan militer langsung AS ke Suriah. 

Dalam pertemuan APEC di Bali, Senin (7/10), Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan menyatakan puas terkait senjata kimia Suriah. Dua tokoh juga menyebut Presiden Suriah Bashar al-Assad layak mendapat pujian. Seperti ditayangkan banyak media, tim inspeksi perlucutan senjata internasional pada Minggu (6/10) sudah mulai memusnahkan cadangan senjata kimia Suriah. Jumlah seluruhnya diperkirakan mencapai 1.000 ton. 

Tim tersebut bekerja menjelang tenggat 1 November 2013 yang ditetapkan oleh PBB. Memang keberadaan senjata kimia itu yang menjadi argumen utama AS untuk menyerang Suriah. Pertengahan Agustus lalu sekitar 1.300 orang telah tewas akibat bom kimia yang mungkin dijatuhkan rezim Assad meski ini dibantah Assad. 

Setelah mengambil sampel para korban di Ghouta dekat Damaskus, tim PBB memastikan ada bukti digunakan gas sarin dari contoh bukti yang sudah dikumpulkan, sebagaimana diungkapkan seorang investigator PBB dalam laporannya, seperti dikutip al- Jazeera, Selasa (17/9/2013). MenurutStephanieHoppner, penggunaan senjata sebenarnya sudah digunakan sejak lama. Pada era sebelum Masehi, orang Persia sudah membakar bahan aspal dan belerang untuk meracuni legiun Romawi. 

Pada perang Dunia I digunakan sekitar 124.000 ton bahan kimia untuk perang dan menewaskan sekitar 90.000 orang. Sekitar satu juta orang mengalami gangguan kesehatan di antaranya sangat berat. Pada 1925 Protokol Jenewa sudah menuntut larangan penggunaan senjata kimia. Meskipun demikian, pada Perang Dunia II, perang Vietnam, dan perang Teluk I masih dipakai senjata kimia. 

Sekitar 5.000 warga Kurdi, terutama perempuan dan anak, tewas pada 16 Maret 1988 hanya dalam satu serangan gas beracun di Halabja, Irak. Akhirnya, April 1997 diberlakukan perjanjian senjata kimia. Sekitar 188 negara menandatangani kesepakatan ini, kecuali beberapa negara seperti Suriah, Mesir, dan Israel (Deutche Welle, 30 April 2013). Dampak gas sarin yang ditemukan di Suriah memang amat mematikan. 

Menurut Gunnar Jeremias, pemimpin penelitian pengawasan senjata biologi di Universitas Hamburg, manusia bisa lolos dari sarin bila mengenakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya. Maka itu, kita cukup lega atas tercapainya kesepakatan AS dan Rusia yang disusul pemusnahan senjata tersebut. Paling tidak, perang yang lebih dahsyat bisa dihindarkan. Kita gembira pemerintah Assad tampaknya sungguh mematuhi kesepakatan untuk pemusnahan senjata kimia tersebut. 

Namun, senjata kimia hanyalah salah satu sisi buruk dari perang di Suriah. Masih ada sisi buruk lain yang juga amat mencemaskan. Tanpa senjata kimia pun, sejauh ini perang di Suriah sudah membawa banyak sekali malapetaka. Terjadi titik nadir kemanusiaan di Suriah akibat perang saudara. 

Intisari Masalah Suriah 

Sepertidiketahui, sejakMaret 2011 sudah terjadi perang saudara yang sengit. Perang ini dipicu oleh spirit Musim Semi Arab, yang telah menumbangkan rezim represif Zainal Abidin Ben Ali di Tunisia, rezim otoriter Hosni Mubarak, dan diktator Khadafi di Libya. Rezim Bashar al-Assad di Suriah sampai sejauh ini masih mampu bertahan di tengah gempuran para pemberontak. 

Sekadar ”flashback”, Bashar al-Assad diangkat sebagai petinggi Partai Baath dan pimpinan militer Suriah telah berkuasa selama 13 tahun, menggantikan ayahnya, Hafez Assad. Partai Baath sudah memerintah di Suriah selama setengah abad. Partai berideologi sekuler ini dirikan oleh Mikhail Aflaq yang beragama Kristen. Dikenal sebagai penganut Syiah Alawiyin, Bashar memperistri Asma’ al-Akhras (muslimah Sunni) yang lahir dan besar di Inggris. 

Bashar memang pernah menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran di London. Bashar masih mampu bertahan karena didukung oleh dua sekutu dekatnya, Iran dan Rusia. Jika Iran yang mayoritas Syiah punya kedekatan dengan Bashar, Rusia juga sejak berabad- abad dekat dengan Suriah karena faktor Gereja Ortodoks. Rusia mengingatkan Suriah bisa jatuh ke rezim teror jika AS menyerang Suriah. 

Di Damaskus, puluhan orang Kristen Suriah menghadiri kebaktian di Gereja al- Zaytoun, merespons seruan Paus Fransiskus, 7 September lalu untuk berdoa dan berpantang guna mengupayakan damai di Suriah. Bashar juga masih didukung oleh mayoritas penduduk. Populasi Suriah sekitar 21 juta, mayoritas muslim Sunni (sekitar 74%), muslim Syiah (16%), dan 10% Kristen. 

Selama ini sekitar 10 juta umat kristiani di Suriah menikmati perlindungan dari pemerintah. Tidak heran bila dalam ulang tahun Bashar baru-baru ini sebagian umat kristiani di Suriah juga menggelar pawai sekaligus dukungan bagi rezim Suriah. Namun, di mata kaum oposisi Bashar dinilai represif. Kelompok oposisi atau pemberontak Suriah yang punya satu tujuan utama menumbangkan rezim Assad terdiri atas banyak faksi atau kelompok. 

Namun, tidak tepat menyebut perang saudara di Suriah merupakan perang Sunni- Syiah sebagaimana ditulis banyak pengamat di Indonesia. Di pihak pemerintah Suriah terdapat banyak orang Sunni, Syiah, Kristen, sekuler, Alawi, dan sebagainya. Sedangkan di pihak pemberontak terdapat kubu moderat yang tergabung dalam Dewan Nasional Suriah (SNC) yang dipimpin Ahmad Jarba. Sedangkan kubu garis keras di antaranya Wahabi, Salafi, dan Al Nusral yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Mereka dulunya dikirim dari luar Suriah, dilatih CIA, dipersenjatai Arab Saudi, Uni Eropa, dan sebagainya. 

Pemerintahan Transisi 

Kabar terakhir menyebutkan terjadi perpecahan antara kedua kubu. Kubu moderat bersedia berunding dengan Pemerintah Suriah pascakesepakatan AS-Rusia. Sebentar lagi, sesuai kesepakatan AS Suriah, akan digelar konferensi internasional untuk membentuk pemerintahan transisi di Suriah. Kubu garis keras Suriah bersedia untuk ikut karena mereka punya agenda hendak mendirikan negara teokrasi di Suriah. Memang akan seperti apa konferensi internasional itu, kita belum tahu. 

Kita hanya bisa berharap konferensi itu akan menghasilkan sebuah pemerintahan transisi yang diterima semua pihak, setidaknya oleh mayoritas pihak yang bersengketa di Suriah. Semoga pemerintahan transisi akan mengupayakan solusi permanen untuk mengakhiri perang saudara yang membawa banyak dampak buruk. Seperti diketahui, dampak perang di Suriah sejak Maret 2011 amat mengerikan. Sudah 110.000 warga sipil Suriah tewas dan 2 juta orang mengungsi. Kita berharap jalan diplomasi seperti KTT Internasional lebih dikedepankan daripada jalan kekerasan dan perang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar