|
Berita yang dimuat di media onlineKompas.com
sungguh menggelitik. Ditulis bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang
penggunaan media sosial sebagai sarana kampanye sejak 16 Maret hingga 5 April
2014.
Kenapa dilarang? Kutipan aslinya; “(Media sosial) termasuk dalam media massa online. Undang-Undang (Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif) dan PKPU (Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu Legislatif) sudah mengatur, kampanye dalam bentuk rapat umum dan kampanye melalui media masa cetak, online, dan elektronik.
Hanya bisa dilakukan 21 hari sebelum dimulainya masa tenang,” tegas Komisioner KPU Arif Budiman saat ditemui di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (8/10/2013). Pernyataan itu tentu merespons pesatnya penggunaan berbagai medium komunikasi termasuk media sosial oleh calon pemilu legislatif mencari celah-celah kampanye kepada konstituennya. Beberapa parpol dan caleg sudah mulai mencuri start melakukan kampanye melalui media sosial.
Di laman Twitter dan Facebook ditemukan beberapa akun milik parpol dan caleg yang membubuhkan nama parpol pengusung, nomor urut, dan daerah pemilihan (dapil) pencalonan. Sepintas memang pernyataan komisioner KPU itu normatif sekali untuk mengungkapkan berbagai aturan tata cara kampanye bagi calon legislatif agar berlaku fair dan taat hukum. Namun, pernyataan Arif Budiman itu, jika diperhatikan menganggap media social itu sebentuk dan sebangun dengan media massa, jelas sebagai pernyataan terlalu naif dari komisioner KPU.
Proses komunikasi politik yang dilakukan KPU sepertinya dilakukan secara serampangan, naif terhadap konsep media massa, mengerdilkan profesi jurnalis, dan menyederhanakan persoalan metode penyampaian informasi bagi kepentingan masyarakat. Berbagai literatur jurnalistik menyebutkan bahwa media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak,
sedangkan pengertian media massa sendiri alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. Media massa adalah sarana komunikasi massa di mana proses penyampaian pesan, gagasan, atau informasi kepada orang banyak (publik) secara serentak. Media massa yang diyakini punya kekuatan yang mahadahsyat untuk memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat sudah banyak diketahui.
Media massa bahkan bisa menentukan perkembangan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk, mengarahkan, membimbing, dan memengaruhi kehidupan pada masa kini dan masa datang. Kajian komunikasi menyebutkan media massa yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari umumnya surat kabar, radio, televisi, film bioskop, media berbasis online, yang beroperasi dalam bidang informasi, edukasi, dan rekreasi, atau dalam istilah lain penerangan, pendidikan, dan hiburan.
Sementara kajian media sosial memang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan media massa yang menggunakan platform jaringan internet yakni media online. Media sosial atau social media awalnya digunakan untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Media sosial dianggap mampu menghapus batasan-batasan manusia untuk bersosialisasi, batasan ruang maupun waktu.
Dengan media sosial ini, manusia dimungkinkan untuk berkomunikasi satu sama lain di mana pun mereka berada dan kapan pun, tidak peduli seberapa jauh jarak mereka, dan tidak peduli siang ataupun malam. Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial mengakibatkan terjadi fenomena besar terhadap arus informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia.
Karena kecepatannya media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan beritaberita. Kelebihan medium baru ini sering digunakan untuk kepentingan penyebaran informasi, pemasaran, dagang, mencari koneksi, atau memperluas pertemanan. Jika untuk memiliki media tradisional seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, lain halnya dengan media sosial.
Semua orang bisa memiliki media sosial. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses menggunakan media sosial dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal, dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Sebagai pengguna media sosial, siapa pun dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lain. Tapi, apakah mereka itu produk jurnalistik yang diproduksi media massa?
Beda Jauh
Komisioner Arif Budiman yang mengutip UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif sebagai landasan berpikirnya saya rasa tidak sepenuhnya memahami isi UU tersebut. Saya khawatir ini blunder kedua yang dilakukan KPU setelah mengeluarkan Peraturan KPU No 1 Tahun 2013, yang salah satu pasalnya ternyata “boleh” membredel pers. Jika KPU merujuk kepada UU No 8 Tahun 2012 itu, tidak ditemukan sepatah kata pun yang mengatur dan menyebutkan batasan atau konsep media sosial.
Dalam Pasal 91 ayat 4 justru kata media massa yang disebutkan secara jelas. Perbedaan mencolok lainnya, media massa dalam menyampaikan informasi kepada publik adalah produk dari proses jurnalistik. Sebagai produk jurnalistik, ia terikat dengan UU Pokok Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan P3 SPS (untuk media penyiaran).
UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999, Pasal 6 menyebutkan peran pers untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap ihwal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Tuntunan klasik itu tentu berbeda dengan standar etika pengelola media sosial yang belakangan ini marak digunakan oleh sebagian pengelolanya untuk menyebarkan fitnah, prasangka, stigma, memojokkan, memutarbalikkan fakta, menghina orang atau kelompok lain. Pengelola media sosial yang tak terstruktur dalam organisasi atau lembaga resmi memudahkan pengelola media sosial memanipulasi data dan sah menggunakan nama samaran (akun anonime @TrioMacan2000, @antimafia, dan sebagainya).
Sumber anonim, fakta yang lemah, tanpa proses check and recheck. Platform media yang digunakan media massa online dan media sosial yakni jaringan internet mungkin sama. Tapi, cara, karakter, dan metode penyampaian informasi berbeda jauh. Sebagai jurnalis media massa, kami tak mau konsep agung media massa disamaratakan oleh KPU dengan “media sosial” yang tak terikat kode etik dan tak punya dasar hukum.
Media massa hakikatnya menulis dan menyebarkan berita sesuai dengan fakta-fakta demi kepentingan publik yang lebih luas. Media massa tidak menghina, memojokkan, mengagung-agungkan seseorang, dan menyebarkan fitnah. Karena itu, jurnalis yang bekerja di media massa menggunakan nama jelas dalam setiap penulisan atau produk beritanya. Sekali lagi, media massa tidak sebentuk dan sebangun dengan media sosial. ●
Kenapa dilarang? Kutipan aslinya; “(Media sosial) termasuk dalam media massa online. Undang-Undang (Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif) dan PKPU (Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pemilu Legislatif) sudah mengatur, kampanye dalam bentuk rapat umum dan kampanye melalui media masa cetak, online, dan elektronik.
Hanya bisa dilakukan 21 hari sebelum dimulainya masa tenang,” tegas Komisioner KPU Arif Budiman saat ditemui di Gedung KPU, Jakarta, Selasa (8/10/2013). Pernyataan itu tentu merespons pesatnya penggunaan berbagai medium komunikasi termasuk media sosial oleh calon pemilu legislatif mencari celah-celah kampanye kepada konstituennya. Beberapa parpol dan caleg sudah mulai mencuri start melakukan kampanye melalui media sosial.
Di laman Twitter dan Facebook ditemukan beberapa akun milik parpol dan caleg yang membubuhkan nama parpol pengusung, nomor urut, dan daerah pemilihan (dapil) pencalonan. Sepintas memang pernyataan komisioner KPU itu normatif sekali untuk mengungkapkan berbagai aturan tata cara kampanye bagi calon legislatif agar berlaku fair dan taat hukum. Namun, pernyataan Arif Budiman itu, jika diperhatikan menganggap media social itu sebentuk dan sebangun dengan media massa, jelas sebagai pernyataan terlalu naif dari komisioner KPU.
Proses komunikasi politik yang dilakukan KPU sepertinya dilakukan secara serampangan, naif terhadap konsep media massa, mengerdilkan profesi jurnalis, dan menyederhanakan persoalan metode penyampaian informasi bagi kepentingan masyarakat. Berbagai literatur jurnalistik menyebutkan bahwa media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak,
sedangkan pengertian media massa sendiri alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber kepada khalayak dengan menggunakan alat-alat komunikasi seperti surat kabar, film, radio, dan televisi. Media massa adalah sarana komunikasi massa di mana proses penyampaian pesan, gagasan, atau informasi kepada orang banyak (publik) secara serentak. Media massa yang diyakini punya kekuatan yang mahadahsyat untuk memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat sudah banyak diketahui.
Media massa bahkan bisa menentukan perkembangan masyarakat seperti apa yang akan dibentuk, mengarahkan, membimbing, dan memengaruhi kehidupan pada masa kini dan masa datang. Kajian komunikasi menyebutkan media massa yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari umumnya surat kabar, radio, televisi, film bioskop, media berbasis online, yang beroperasi dalam bidang informasi, edukasi, dan rekreasi, atau dalam istilah lain penerangan, pendidikan, dan hiburan.
Sementara kajian media sosial memang memiliki ciri-ciri yang hampir sama dengan media massa yang menggunakan platform jaringan internet yakni media online. Media sosial atau social media awalnya digunakan untuk bersosialisasi satu sama lain dan dilakukan secara online yang memungkinkan manusia untuk saling berinteraksi tanpa dibatasi ruang dan waktu. Media sosial dianggap mampu menghapus batasan-batasan manusia untuk bersosialisasi, batasan ruang maupun waktu.
Dengan media sosial ini, manusia dimungkinkan untuk berkomunikasi satu sama lain di mana pun mereka berada dan kapan pun, tidak peduli seberapa jauh jarak mereka, dan tidak peduli siang ataupun malam. Demikian cepatnya orang bisa mengakses media sosial mengakibatkan terjadi fenomena besar terhadap arus informasi tidak hanya di negara-negara maju, tetapi juga di Indonesia.
Karena kecepatannya media sosial juga mulai tampak menggantikan peranan media massa konvensional dalam menyebarkan beritaberita. Kelebihan medium baru ini sering digunakan untuk kepentingan penyebaran informasi, pemasaran, dagang, mencari koneksi, atau memperluas pertemanan. Jika untuk memiliki media tradisional seperti televisi, radio, atau koran dibutuhkan modal yang besar dan tenaga kerja yang banyak, lain halnya dengan media sosial.
Semua orang bisa memiliki media sosial. Seorang pengguna media sosial bisa mengakses menggunakan media sosial dengan jaringan internet bahkan yang aksesnya lambat sekalipun, tanpa biaya besar, tanpa alat mahal, dan dilakukan sendiri tanpa karyawan. Sebagai pengguna media sosial, siapa pun dengan bebas bisa mengedit, menambahkan, memodifikasi baik tulisan, gambar, video, grafis, dan berbagai model konten lain. Tapi, apakah mereka itu produk jurnalistik yang diproduksi media massa?
Beda Jauh
Komisioner Arif Budiman yang mengutip UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif sebagai landasan berpikirnya saya rasa tidak sepenuhnya memahami isi UU tersebut. Saya khawatir ini blunder kedua yang dilakukan KPU setelah mengeluarkan Peraturan KPU No 1 Tahun 2013, yang salah satu pasalnya ternyata “boleh” membredel pers. Jika KPU merujuk kepada UU No 8 Tahun 2012 itu, tidak ditemukan sepatah kata pun yang mengatur dan menyebutkan batasan atau konsep media sosial.
Dalam Pasal 91 ayat 4 justru kata media massa yang disebutkan secara jelas. Perbedaan mencolok lainnya, media massa dalam menyampaikan informasi kepada publik adalah produk dari proses jurnalistik. Sebagai produk jurnalistik, ia terikat dengan UU Pokok Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan P3 SPS (untuk media penyiaran).
UU Pokok Pers No 40 Tahun 1999, Pasal 6 menyebutkan peran pers untuk mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap ihwal yang berkaitan dengan kepentingan umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Tuntunan klasik itu tentu berbeda dengan standar etika pengelola media sosial yang belakangan ini marak digunakan oleh sebagian pengelolanya untuk menyebarkan fitnah, prasangka, stigma, memojokkan, memutarbalikkan fakta, menghina orang atau kelompok lain. Pengelola media sosial yang tak terstruktur dalam organisasi atau lembaga resmi memudahkan pengelola media sosial memanipulasi data dan sah menggunakan nama samaran (akun anonime @TrioMacan2000, @antimafia, dan sebagainya).
Sumber anonim, fakta yang lemah, tanpa proses check and recheck. Platform media yang digunakan media massa online dan media sosial yakni jaringan internet mungkin sama. Tapi, cara, karakter, dan metode penyampaian informasi berbeda jauh. Sebagai jurnalis media massa, kami tak mau konsep agung media massa disamaratakan oleh KPU dengan “media sosial” yang tak terikat kode etik dan tak punya dasar hukum.
Media massa hakikatnya menulis dan menyebarkan berita sesuai dengan fakta-fakta demi kepentingan publik yang lebih luas. Media massa tidak menghina, memojokkan, mengagung-agungkan seseorang, dan menyebarkan fitnah. Karena itu, jurnalis yang bekerja di media massa menggunakan nama jelas dalam setiap penulisan atau produk beritanya. Sekali lagi, media massa tidak sebentuk dan sebangun dengan media sosial. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar